Sampai Jumpa Lagi Piala Dunia!
Begitu banyak yang bisa diambil Indonesia selama menjadi tuan rumah Piala Dunia. Tinggal bagaimana membuat pelajaran itu jadi berguna.
Sepuluh hari penyelenggaraan Piala Dunia FIBA 2023 di Stadion Indonesia Arena, ditutup dengan sempurna, Minggu (3/9/2023). Drama perebutan dua tiket perempat final masih terjadi hingga hari terakhir, antara dua tim unggulan Kanada dan Spanyol, serta tim ”kuda hitam” Brasil dan Latvia.
Berakhirnya babak kedua sekaligus menandai tugas Indonesia sebagai tuan rumah pendamping sudah selesai. Seluruh laga babak gugur, mulai perempat final hingga partai puncak, akan berlangsung di Stadion Mall of Asia Arena, Manila, Filipina. Filipina merupakan tuan rumah utama Piala Dunia kali ini.
Selama 10 hari beruntun, 25 Agustus-3 September, Indonesia Arena telah menjadi episentrum dunia. Stadion baru kebanggaan Tanah Air itu menyajikan dua laga kelas dunia setiap hari, tanpa libur. Dari juara bertahan Spanyol sampai debutan Latvia, mampu mengundang decak kagum dan memberi pelajaran.
Baca juga: Piala Dunia FIBA 2023, Hiburan bagi Semua Kalangan
Banyak teori tentang bola basket di dalam negeri terpatahkan. Misalnya, alasan postur tubuh yang selalu mengiringi nyaris di setiap kekalahan tim nasional. Postur ternyata bukan segalanya di basket modern dan level permainan tertinggi dunia. Guard mungil Brasil, Yago Santos (24), adalah bukti paling konkret.
Santos menjadi idola publik dan salah satu penampil terbaik meskipun tinggi tubuhnya hanya 1,78 meter. Tinggi itu sama dengan mayoritas guard lokal Indonesia. Dia justru bisa menari-nari di antara kepungan pemain dengan tinggi rata-rata 2 meter. Santos memang kalah tinggi, tetapi tidak soal kecepatan, kecerdikan, dan kekuatan.
Santos seolah mengajarkan, tinggi badan itu seperti warisan dari orangtua dalam konteks kehidupan. Warisan itu bisa membuat sukses, tetapi semua bergantung pada pribadi masing-masing. Tidak punya warisan, dia memilih untuk bekerja keras mengeksploitasi semua kelebihan dalam dirinya. Bukan menangisi keadaan.
Latvia juga memberi inspirasi. Mereka kehilangan bintang NBA yang bermain di Boston Celtics, Kristaps Porzingis, hanya 10 hari jelang laga pertama. Alih-alih pasrah akibat pemain setinggi 2,21 meter itu absen, pelatih Luca Banchi memutuskan bermain tanpa center atau ”bola kecil”. Pemain tertinggi dalam tim starter adalah Rolands Smits (2,08 meter).
Baca juga: Standar Terbalik ”Dunia” Yago Santos
Latvia, tim peringkat ke-29 dunia, memanfaatkan skuad yang lebih kecil untuk bermain supercepat dengan mengandalkan tembakan jauh. Hasilnya, dua tim raksasa yang punya center tradisional, Perancis dan Spanyol, bertekuk lutut. Banchi mengatakan semua tentang adaptasi dan memanfaatkan talenta yang tersedia.
Mayoritas pemain yang datang ke Jakarta berasal dari liga-liga Eropa dan NBA. Pemain Eropa cenderung pintar, cepat, dan sangat kolektif. Mereka sudah tahu harus bergerak ke mana, di situasi apa pun. Adapun pemain NBA sangat dominan dalam kemampuan individu, bisa menciptakan situasi seorang diri.
Banyak teori tentang bola basket di dalam negeri terpatahkan. Misalnya, alasan postur tubuh yang selalu mengiringi nyaris di setiap kekalahan tim nasional.
Banyak dari pemain, pelatih, dan petinggi basket Tanah Air yang datang. Semoga mereka bisa melihat perbedaan kualitas yang timpang itu, lalu terlecut dan ingin mengatasi ketertinggalan. Indonesia masih tertinggal jauh dalam pengetahuan dasar, ekosistem pembinaan, hingga kompetisi berjenjang.
Kilau industri
Indonesia Arena telah menjadi simbol kebanggaan baru Indonesia. Stadion yang dibangun khusus untuk penyelenggaraan Piala Dunia itu dipuji tim peserta. Pelatih Spanyol Sergio Scariolo, misalnya, mengatakan stadion berkapasitas 16.000 penonton tersebut sangat megah. Sudah seperti stadion-stadion di Eropa.
Stadion dalam ruangan terbesar di Indonesia itu bisa mencerminkan euforia industri basket nasional. Tiket di setiap laga antara tim-tim besar hampir selalu terjual habis. Stadion selalu diisi ribuan orang, di akhir pekan maupun hari biasa. Bintang NBA di tim Kanada, Dillon Brooks, sampai terpukau dengan atmosfer berapi-api itu.
Hanya ada setitik celah dalam hal penyelenggaraan. Pada hari pertama, banyak penonton tidak puas karena alur keluar stadion yang tersendat dan ketiadaan air mineral. Persoalan itu dibenahi dan tidak terjadi lagi hingga akhir. Namun, tetap saja, hanya butuh satu pengalaman buruk untuk membuat penonton kapok ke stadion.
Piala Dunia diharapkan bukan ajang basket pertama dan terakhir di Indonesia Arena. Harus ada ajang basket lokal atau internasional lain yang digelar secara reguler di stadion berstandar FIBA tersebut. Di stadion itu, asa tim nasional Indonesia selangkah lebih dekat ke Piala Dunia. Setidaknya dari sisi fasilitas dan infrastruktur.
Baca juga: Memperkenalkan Indonesia ke Bintang NBA
Setelah menanti sejak 1950, Indonesia akhirnya terlibat di Piala Dunia FIBA. Ternyata benar, pelajaran dan manfaat yang didapat begitu banyak, walaupun hanya ikut serta sebagai tuan rumah. Entah kapan Indonesia bisa menjadi tuan rumah lagi, atau justru berlaga di ajang empat tahunan itu. Hingga saat itu tiba, sampai jumpa lagi Piala Dunia!