Ganda putri Indonesia, Apriyani Rahayu/Siti Fadia S Ramadhanti, kalah pada final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023. Meski demikian, performa mereka selama ajang ini bisa menjadi bekal untuk tantangan yang lebih besar.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
KOPENHAGEN, MINGGU - Ganda putri bulu tangkis Indonesia, Apriyani Rahayu dan Siti Fadia Silva Ramadhanti, menjalani final pertama pada tahun ini di arena Kejuaraan Dunia. Meskipun kalah, performa mereka selama sepekan terakhir di Kopenhagen, Denmark, bisa menjadi titik balik untuk bangkit pada masa kualifikasi Olimpiade Paris 2024.
Setelah memenangi empat babak, termasuk menyingkirkan tiga wakil dengan posisi unggulan lebih tinggi, Apriyani/Rahayu akhirnya harus mengakui keunggulan lawan pada laga puncak. Di Royal Arena, Kopenhagen, Minggu (27/8/2023), Apriyani/Rahayu kalah dengan skor 16-21, 12-21, dari ganda putri nomor satu dunia asal China, Chen Qing Chen/Jia Yi Fan.
Kemenangan itu menempatkan Chen/Jia di daftar pebulu tangkis dengan empat gelar juara dunia bersama para senior, seperti Gao Ling, Fu Haifeng/Cai Yun, Liliyana Natsir, dan Hendra Setiawan. Chen/Jia juga menjadi ganda putri pertama yang menjadi juara dunia dalam tiga edisi beruntun, yaitu pada 2021-2023. Gelar lainnya mereka dapatkan pada 2017.
China pun mempertahankan dominasinya sebagai kekuatan utama ganda putri dunia. Dari 28 kali Kejuaraan Dunia sejak pertama kali digelar pada 1977, China mengoleksi 25 gelar dari ganda putri, termasuk dalam 14 penyelenggaraan beruntun pada 1997-2017.
Sebaliknya, Indonesia belum pernah menempatkan ganda putrinya sebagai juara dunia. Seperti Apriyani/Fadia, dua senior mereka yang mencapai final akhirnya kalah. Mereka adalah Lily Tampi/Finarsih pada Kejuaraan Dunia 1995 dan Verawaty Fajrin/Imelda Wigoeno pada 1980.
Apriyani/Fadia kalah dengan strategi Chen/Jia yang selalu berusaha meraih poin dengan cepat. Reli terpanjang dalam meraih satu poin di laga ini hanya berlangsung 33 pukulan. Padahal, permainan ganda putri biasanya berlangsung dengan adu pukulan yang lama.
Meski demikian, performa mereka di Denmark patut diapresiasi. Ganda putri peringkat ke-12 dunia itu mencapai final pada partisipasi pertama sebagai pasangan di Kejuaraan Dunia. Gillian Clark, komentator BWF dan mantan pemain Inggris, memuji penampilan Apriyani/Fadia. ”Ganda putri Indonesia, khususnya Apriyani/Fadia, berada di jalur yang benar untuk menuju Olimpiade Paris 2024,” ujar Clark.
Meski baru berpasangan sejak Juni 2022, Apriyani/Fadia langsung menjadi andalan utama ganda putri Indonesia untuk lolos ke Paris 2024 yang masa kualifikasinya berlangsung pada 1 Mei 2023-28 April 2024. Mereka memberi kejutan pada pasangan-pasangan top dunia dengan meraih dua gelar juara dari tiga final pada enam bulan terakhir tahun 2022.
Meski hasilnya belum juara, ini adalah pembelajaran bagi saya. Semoga kami bisa lebih baik lagi ke depannya. (Siti Fadia Silva Ramadhanti)
Tahun ini, Apriyani/Fadia merasakan fase berbeda. Ketika pemain-pemain lainnya sudah terbiasa dengan pola permainan mereka yang agresif, langkah Apriyani/Fadia tersendat. Hasil terbaik mereka dari sepuluh turnamen tahun ini adalah semifinal Malaysia Terbuka dan Swiss Terbuka. Pada lima turnamen terakhir sebelum Kejuaraan Dunia, mereka bahkan empat kali tersingkir pada babak pertama atau kedua.
Merasakan tekanan
Penurunan performa itu memunculkan perasaan berbeda pada kedua atlet. Fadia mulai merasakan tekanan sebagai ganda putri nomor satu Indonesia. Sementara Apriyani, yang lebih berpengalaman, harus belajar menuntun partnernya itu untuk bangkit.
”Saya harus langsung berhadapan dengan pemain-pemain top dunia. Pada awalnya, itu tak berpengaruh apa-apa karena saya bermain nothing to lose. Baru sekarang terasa bahwa kami diandalkan. Akhirnya, banyak kekhawatiran yang saya rasakan, seperti takut kalah. Itu berpengaruh pada penampilan di lapangan,” tutur Fadia di pelatnas Cipayung, sepekan sebelum bertolak ke Denmark.
Selain mendapat porsi latihan keras dari pelatih sebanyak tiga sesi setiap hari, setelah Indonesia Terbuka pada pertengahan Juni lalu, Apriyani/Fadia berusaha memecahkan masalah yang tak kasat mata pada diri masing-masing. Tak jarang, Apriyani meminta saran dari Greysia Polii, meskipun mantan partnernya itu telah setahun pensiun.
“Dulu, saya dibimbing kak G (Greysia) saat berada para periode sulit. Sekarang, saya lagi belajar menuntun Fadia pada fase yang sama. Kak G selalu mengingatkan bahwa semua yang saya dan Fadia hadapi saat ini adalah proses yang harus dijalani, sama seperti saya dan kak G dulu,” tutur Apriyani.
Apriyani dan Fadia pun sepakat mengembalikan perasaan seperti pada awal berpasangan, yaitu bermain tanpa menanggung beban dan target besar. Hal itu dilakukan agar bisa fokus bertanding dengan baik dan menikmatinya.
Hal itu pula yang diingatkan pelatih ganda putri Indonesia, Eng Hian, sebelum Kejuaraan Dunia, termasuk saat Apriyani/Fadia menjalani final. “Tidak usah berpikir hasil menang atau kalah,” kata Eng Hian saat jeda di antara gim pertama dan kedua laga final.
Hasil dan penampilan selama di Kejuaraan Dunia akhirnya bisa diterima Apriyani/Fadia dengan lapang dengan tujuan bisa kembali pada performa terbaik dan konsisten. “Perak di Kejuaraan Dunia ini adalah buah kesabaran dan latihan. Kami juga punya motivasi agar tidak terus terpuruk dan percaya bahwa pasti ada jalan untuk kembali ke performa terbaik,” ujar Apriyani kemudian.
Bagi Fadia, perjalanan selama di Denmark memberinya pengalaman untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. “Meski hasilnya belum juara, ini adalah pembelajaran bagi saya. Semoga kami bisa lebih baik lagi ke depannya,” tutur atlet yang pernah merasakan final ganda campuran Kejuaraan Dunia di level yunior pada 2017 dan 2018 tersebut.
Juara baru
Berbeda dengan ganda putri, empat nomor lain melahirkan barisan juara dunia baru. Tunggal putri Korea Selatan berusia 21 tahun, An Se-young, mengukuhkan dominasinya pada tahun ini dengan gelar juara dunia setelah mengalahkan Carolina Marin di final, 21-12, 21-10. Ini menjadi gelar kedelapan dari 11 final An pada 2023.
Gelar juara dari An menambah gelar Korea Selatan dari ganda campuran melalui Seo Seung-jae/Chae Yu-jung yang menang atas tiga kali juara dunia, Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong (China), 21-17, 10-21, 21-18. Selain pada ganda putra, Seo juga bermain pada final ganda putra bersama Kang Min-hyuk. Mereka berhadapan dengan wakil tuan rumah, Kim Astrup/Anders Skaarup Rasmussen.
Adapun final tunggal putra mempertemukan dua pemain generasi baru yang masing-masing berusia 22 tahun, yaitu Kunlavut Vitidsarn (Thailand) dan Kodai Naraoka (Jepang). Bagi Vitidsarn, laga ini menjadi final kedua beruntun dalam Kejuaraan Dunia setelah dikalahkan Viktor Axelsen di Tokyo 2022.
Vitidsarn dan Naraoka bersaing pada era yang sama pada masa yunior. Final di Kopenhagen pun menjadi ulangan Kejuaraan Dunia Yunior 2018 yang dimenangi Vitidsarn.