Tim ”Lionesses” tinggal selangkah mewujudkan mimpi Inggris merajai sepak bola dunia dan membasuh 57 tahun luka kekecewaan. Mentalitas bak singa lapar menjadi kekuatan mereka menatap final Piala Dunia Putri, Minggu sore.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·5 menit baca
SYDNEY, SABTU — Tim nasional sepak bola putri Inggris bertekad menutup perjalanannya di Piala Dunia Putri 2023 dengan indah bak kisah dongeng. Sepak bola putri, yang dahulu sempat dipinggirkan, kini menjelma menjadi kebanggaan baru Inggris. Tim ”Lionesses” akan menghadapi Spanyol dalam perburuan status juara baru Piala Dunia Putri.
Duel kedua tim itu dalam final Piala Dunia Putri 2023 di Sydney, Australia, Minggu (20/8/2023) sore nanti, sangatlah dinanti-nanti publik Inggris. Lebih dari separuh dari total 57 juta warga negara penggila sepak bola itu diprediksi menyaksikan laga puncak tersebut.
Lionesses alias skuad ”Singa Betina” telah mengembalikan rasa bangga, kecintaan, dan asa publik sepak bola Inggris. Mereka membasuh luka dan frustrasi fans dari kegagalan bertubi-tubi timnas putra Inggris, termasuk dalam final Piala Eropa 2020 di London, melalui gelar juara Eropa di tempat yang sama pada Juli 2022 lalu.
Kemenangan Inggris atas musuh bebuyutan, Jerman, pada final Piala Eropa Putri saat itu ditonton sekitar 23 juta warga Inggris. ”Lionesses memberikan kami semua, baik laki-laki dan perempuan, harapan. Mereka telah menunjukkan sepak bola bisa setara dan menghadirkan kebahagiaan,” ujar Huda Jawad, tokoh feminis dari Three Hijabis, kelompok suporter timnas putri Inggris.
Tim asuhan Sarina Wiegman itu berpeluang mengukir sejarah sebagai skuad Inggris tersukses sepanjang sejarah, baik putra maupun putri, jika mampu mengalahkan Spanyol di final nanti. Tim Inggris, baik putra maupun putri, belum pernah sekali pun mengawinkan gelar juara Eropa dan dunia.
Terakhir kali mereka merajai dunia adalah pada 1966, yaitu ketika legenda sepak bola putra, Alf Ramsey, membawa Inggris menjuarai Piala Dunia. Tak pelak, pekik ”Football is Coming Home”, simbol kerinduan kejayaan sepak bola Inggris, bergema di kafe-kafe dan bar-bar di Inggris setelah Lionesses mengalahkan tuan rumah Australia, 3-1, pada babak semifinal, Rabu (16/8/2023) lalu.
”Mencapai final adalah mimpi kami bertahun-tahun,” kata Millie Bright, kapten tim Inggris.
Gail Newsham (70), mantan pesepak bola putri Inggris, menilai, Lionesses memiliki amunisi untuk memenuhi harapan negaranya mengakhiri 57 tahun paceklik gelar juara dunia. ”Itu (gelar juara), saya kira, telah ditakdirkan. Itu seperti Tragedi Yunani, tetapi dengan akhir yang indah. Saya tidak sabar menanti laga Minggu nanti,” ujarnya.
Zaman kegelapan
Newsham adalah salah seorang saksi sejarah dari zaman kegelapan sepak bola putri Inggris. Ia dan rekan-rekannya adalah korban diskriminasi dari kebijakan Federasi Sepak Bola Inggris (FA) yang melarang perempuan bermain sepak bola. ”Permainan sepak bola kurang cocok untuk perempuan dan mereka tidak disarankan melakukannya,” bunyi petikan aturan FA pada 1921 yang berlaku hingga awal 1970-an.
Maka, ketika tim putra Inggris berjaya di Piala Dunia 1966, Newsham dan rekan-rekannya hanya bisa bergerilya, tanpa wadah kompetisi sah, semata-mata demi bermain sepak bola. ”Adalah ketidakadilan besar pada saat itu. Butuh waktu panjang untuk memperbaikinya sehingga kita sekarang ada di sini (laga final),” ujar Newsham.
Kondisi tidak ideal, termasuk perlakuan diskriminatif di masa lalu, nyatanya menebalkan tekad dan kolektivitas Lionesses. Mereka bak ”imun” dengan ragam cobaan berat, termasuk absennya sejumlah pemain pilar di Piala Dunia Putri 2023.
Kesempatan berada di final, bagi pelatih dan pemain, adalah hal spesial. Saya bahkan merasa ini seperti dongeng atau semacamnya.
Menjelang berangkat ke Australia-Selandia Baru, mereka ditinggalkan Ellen White, pencetak gol terbanyak sepanjang masa Lionesses, yang mendadak pensiun. Pada saat yang bersamaan, striker Inggris pencetak gol terbanyak Piala Eropa Putri 2022, Beth Mead, dibekap cedera anterior cruciate ligament (ACL) sehingga harus absen. Kapten tim, Leah Williamson, juga menepi akibat cedera yang sama.
Cobaan untuk Inggris belum berhenti saat mereka kehilangan gelandang tengah, ”jantung” tim, Keira Walsh, yang cedera ketika mereka membekap Denmark, 1-0, pada laga penyisihan Grup A. Tanpanya, Inggris tetap trengginas dan menerkam China, 6-1, pada laga berikutnya.
Dalam kondisi pincang, Inggris tetap menunjukkan ketangguhan mentalnya bak singa lapar gelar. Mereka belum pernah kalah, bahkan selalu menang di enam laga sebelumnya di Piala Dunia pada tahun ini. ”Mentalitas di tim ini adalah sesuatu hal yang belum pernah saya lihat sebelumnya di mana pun. Itu semua berkat sentuhan Sarina (Wiegman) dan keyakinan dia kepada kami,” ungkap Bright mengenai timnya.
Seperti dikatakan pemain tim putri Chelsea itu, Wiegman adalah ”arsitek” di balik capaian Inggris sejauh ini. Sejak menggantikan Phil Nevillle pada September 2021, perempuan asal Belanda itu telah menyulap Inggris menjadi tim menakutkan. Lionesses hanya sekali kalah dari 38 laga bersamanya.
Wiegman merupakan pelatih pertama yang dua kali tampil di final bersama tim-tim berbeda. Sebelumnya, pelatih dua kali juara Piala Eropa itu membawa negara asalnya, Belanda, ke final Piala Dunia Putri 2019 di Perancis. Namun, timnya dibekap tim terhebat sepanjang masa, Amerika Serikat, ketika itu.
Maka, final di Sydney nanti menjadi penebusan baginya untuk menutup kisah heroik dengan indah. ”Kesempatan berada di final, bagi pelatih dan pemain, adalah hal spesial. Saya bahkan merasa ini seperti dongeng atau semacamnya,” ungkap Wiegman mengenai perjalanan timnya yang sempat diwarnai sejumlah kesulitan dan badai cedera.
Tekad Spanyol
Namun, ambisi besar Inggris meraih gelar juara Piala Dunia Putri untuk pertama kali tidak bakal mudah terwujud. Spanyol juga membawa misi besar serupa, yaitu menjadi juara baru. Mereka ingin membuktikan tak kalah dengan tim putra Spanyol yang mendominasi sepak bola dunia, satu dekade lalu.
Tekad itulah yang membuat mereka mampu menyingkirkan tim kuat dan runner-up edisi 2003, Swedia, 2-1, di semifinal. Spanyol juga menyingkirkan tim kuat lain, Belanda, pada babak perempat final. ”Laga besok adalah final. Kami akan berjuang dengan segala yang dimiliki. Itu laga yang ditunggu semua orang,” ujar pelatih Spanyol, Jorge Vilda.
Pada laga perebutan peringkat ketiga, Swedia mengalahkan tuan rumah Australia, 2-0, Sabtu. Kemenangan itu membuat Swedia mencetak sejarah sebagai tim yang paling sering meraih medali perunggu di Piala Dunia Putri. Mereka empat kali meraihnya, yaitu pada 1991, 2011, 2019, dan 2023. (AP/BBC)