Bulu tangkis Indonesia menghadapi fakta tertinggal dari China, Korea Selatan, dan Jepang pada 2023. Kemampuan dan mental juara atlet untuk bangkit akan diuji pada Kejuaraan Dunia di Denmark, 21-27 Agustus.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Sebagai cabang olahraga paling berprestasi di Indonesia, bulu tangkis menjadi sorotan publik dengan performa atlet yang menurun, terutama dalam dua bulan terakhir. Dengan bekal prestasi yang minim dibandingkan negara kuat lain, skuad ”Merah Putih” harus bekerja ekstrakeras dalam setiap langkah untuk meraih gelar di Kejuaraan Dunia.
Tim Indonesia, dengan kekuatan 14 wakil dari lima nomor berangkat menuju Kopenhagen, Denmark, pada Kamis (17/8/2023) malam dan Jumat dini hari. Indonesia meloloskan 15 wakil dalam turnamen mayor BWF yang akan berlangsung 21-27 Agustus itu, tetapi Anthony Sinisuka Ginting mengundurkan diri. Dia masih berkabung karena ibunya meninggal, pekan lalu.
Anthony menjadi atlet Indonesia terakhir yang menjuarai turnamen BWF World Tour level Super 500 ke atas. Struktur turnamen yang diperkenalkan BWF sejak 2018 ini terdiri dari level (dari bawah ke atas) Super 300, 500, 750, dan 1000. Ada pula Super 100 yang merupakan turnamen BWF Tour.
Pemain-pemain dengan peringkat 15 besar dunia untuk nomor tunggal dan 10 besar untuk ganda, berdasarkan daftar peringkat November tahun sebelumnya, wajib mengikuti empat turnamen Super 750 dan enam Super 1000. Adapun untuk turnamen Super 500 hanya wajib mengikuti dua dari sembilan turnamen. Maka, persaingan level atas pun terjadi pada Super 500, 750, dan 1000.
Anthony menjuarai Singapura Terbuka 750, pada Juni. Setelah itu, Indonesia gagal mendapat gelar dari empat turnamen Super 500 ke atas, yaitu Indonesia Terbuka, Korea Terbuka, Jepang Terbuka, dan Australia Terbuka.
Dari 19 turnamen BWF World Tour yang telah digelar pada 2023, Indonesia mendapat delapan gelar juara dan hanya lima di antaranya yang berasal dari Super 500, 750, dan 1000. Jumlah itu kalah jauh dibandingkan 15 gelar yang didapat pemain China, 14 gelar oleh Korea Selatan, dan sembilan gelar oleh Jepang. China, bahkan, punya gelar juara dari bintang baru, yaitu Li Shi Feng, Liang Wei Keng/Wang Chang, dan Feng Yan Zhe/Huang Dong Ping.
Penurunan performa pemain Indonesia, salah satunya, dialami ganda putra nomor satu dunia, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, yang menjuarai Malaysia Terbuka dan All England sebagai dua turnamen Super 1000 paling awal di musim kompetisi 2023. Setelah itu, di tengah persaingan merata ganda putra, prestasi Fajar/Rian disalip pemain lain, seperti Liang/Wang dan Kang Min-hyuk/Seo Seung-jae (Korea Selatan).
Dari tujuh turnamen setelah All England, Fajar/Rian hanya sekali lolos ke final, yaitu di Korea Terbuka Super 500, pada 18-23 Juli. Sebulan sebelumnya, mereka bahkan kalah pada babak pertama dalam dua turnamen beruntun, yaitu di Malaysia Masters dan Singapura Terbuka.
Jadi, untuk Kejuaraan Dunia, saya harus lebih siap dari sisi mental.
”Persaingan ganda putra makin ramai. Gelar juara setiap turnamen didapat pasangan berbeda. Jadi, untuk Kejuaraan Dunia, saya harus lebih siap dari sisi mental,” kata Fajar.
Asisten pelatih ganda putra, Aryono Miranat, berharap, kepercayaan diri Fajar/Rian bisa lebih baik di Kejuaraan Dunia setelah performa mereka membaik pada tiga turnamen terakhir, meski tak juara. Mereka mencapai final Korea Terbuka, semifinal Jepang Terbuka, dan perempat final Australia Terbuka.
”Pelatih mencoba membantu menumbuhkan kepercayaan diri mereka dengan mengingatkan bahwa Kejuaraan Dunia poinnya besar untuk kualifikasi Olimpiade Paris 2024,” kata Aryono.
Menjadi yang paling diandalkan juara, pemain ganda putra Indonesia berada dalam persaingan paling merata di level top dunia. Dari 12 turnamen Super 500, 750, dan 1000 yang telah berlangsung, nomor ganda putra melahirkan sembilan juara. Jumlah ini sama seperti juara tunggal putra. Dengan jumlah juara terbanyak dibandingkan tiga nomor lain, tunggal dan ganda putra menjadi nomor dengan persaingan paling ketat.
Kejuaraan Dunia 2023 juga menjadi tes bagi Fajar/Rian sebagai ganda putra nomor satu Indonesia. Dengan status yang mereka dapat sejak November 2022, Fajar/Rian pun menjadi yang paling diandalkan lolos dan meraih medali di Paris 2024. Ekspektasi yang sama berlaku di Kejuaraan Dunia setelah mereka meraih hasil terbaik semifinal pada 2019 dan 2022.
Harapan itu muncul dengan alasan lain, yaitu Indonesia selalu mendapat hasil terbaik dari pemain senior, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, di Kejuaraan Dunia Basel 2019 dan Tokyo 2022. Mereka menjadi juara di Basel dan menembus final di Tokyo. Pada Kejuaraan Dunia Huelva 2021, hampir semua pemain Indonesia, kecuali Dejan Ferdinansyah/Serena Kani, mengundurkan diri karena khawatir pada kasus Covid-19 yang meningkat di Eropa.
Jonatan Christie dan Chico Aura Dwi Wardoyo juga berada dalam pusaran persaingan paling merata. Selain Viktor Axelsen, yang menjuarai tiga dari enam turnamen Super 750 dan 1000, batu sandungan akan datang dari Li Shi Feng, Kunlavut Vitidsarn, dan Anders Antonsen yang bangkit kembali setelah didera cedera pada 2022. Apalagi, Axelsen dan Antonsen akan bermain di negara sendiri.
Pasang surut prestasi seperti Fajar/Rian juga dialami ganda putri, Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti. Setelah membuat kejutan saat awal berpasangan pada Juni 2022, dengan menjuarai Malaysia dan Singapura Terbuka, performa mereka turun pada tahun ini. Langkah cepat Apriyani/Fadia terhambat saat lawan bisa meredam pola permainan mereka yang cepat dan agresif.
”Kami berada pada fase menurun. Jadi, kami berusaha mengembalikan pola pikir dan hati seperti pada awal berpasangan. Saat itu, kami selalu bermain tanpa beban,” kata Apriyani.
Tekad bangkit juga dikemukakan ganda campuran, Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati. Setelah tampil gemilang di All England hingga menembus semifinal dan menyulitkan pasangan nomor satu dunia, Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong, mereka bagai kehilangan arah. Rehan/Lisa tujuh kali tersingkir pada babak pertama atau kedua dari sembilan turnamen berikutnya.
”Ketika pernah di atas terus jatuh, bangkitnya tidak mudah. Maka, kami berusaha menguatkan diri sendiri. Kalau mental kami tidak kuat dan tekanan dari luar sangat berat, pasti makin terpuruk,” tutur Rehan.
Setiap atlet pasti mengalami pasang-surut prestasi dengan beragam penyebab. Selain polesan faktor teknis dan fisik yang dibantu tim pelatih, kebangkitan ditentukan faktor tak kasat mata dari dalam diri sendiri, yaitu motivasi dan semangat untuk tak terus terpuruk.
Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, sebagai ”simulasi” Olimpiade Paris 2024, adalah momen yang tepat untuk menunjukkan mental juara mereka meski dengan bekal prestasi lebih sedikit dari negara lain dalam tujuh bulan sebelumnya.