PSMS Medan, Kepak ”Ayam Kinantan” Mendekap Keberagaman
Semangat kebersamaan di tengah masyarakat multietnis menjadi dasar terbentuknya PSMS pada 1950. Sekarang, semangat kebersamaan itu coba dibangkitkan lagi untuk membawa PSMS kembali ke jajaran elite sepak bola Indonesia.
Sebagai klub Perserikatan yang lahir di zaman kemerdekaan, semangat kebersamaan di tengah masyarakat multi etnis menjadi dasar terbentuknya Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya atau PSMS. Klub berjuluk ”Ayam Kinantan” itu pun mendapatkan cinta yang paripurna dari segenap lapisan masyarakat yang menjadi modal untuk mencapai kejayaan, terutama di era 1960-1980-an.
Di belakang kompleks Madani Hotel Medan, Kecamatan Medan Kota, yang berada di seberang Masjid Raya Al-Mashun yang ikonik, ada tiga nama jalan yang menggambarkan betapa besarnya peran kawasan itu dalam sejarah sepak bola di Medan. Ketiganya adalah Jalan Medan Putra, Jalan Ramlan Yatim, dan Jalan Ramli Yatim.
Pemerhati sejarah PSMS Indra Efendi Rangkuti (44) yang mendampingi Kompas, Senin (17/7/2023), mengatakan, Medan Putra adalah klub satelit Medan Sport, perkumpulan olahraga komunitas Melayu milik keluarga Kesultanan Deli. Medan Sport merupakan salah satu klub yang menggagas pembentukan PSMS.
Medan Putra diabadikan menjadi nama jalan karena pernah punya lapangan untuk berlatih dan bertanding di kawasan itu sebelum berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, dan pul taksi sejak 1980-an. Kini, di lokasi itu berdiri kompleks Madani Hotel Medan sejak 2007. ”Lapangan itu sempat digunakan untuk markas bertanding PSMS selama 1950-1953 sebelum pindah ke Stadion Teladan yang dibangun untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) 1953,” ujar Indra.
Ramlan dan Ramli adalah adik-kakak keturunan Jawa yang lahir di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Keduanya diabadikan menjadi nama jalan karena berkiprah luar biasa untuk Medan Putra dan PSMS. Ramlan menjadi gelandang sekaligus kapten PSMS sepanjang 1950-1960 dan Ramli sebagai penyerang di periode yang sama. Keduanya mengantarkan PSMS mencapai runner-up Perserikatan 1953-1954 dan 1955-1957.
Ramlan dan Ramli sempat membela timnas Indonesia, antara lain Ramlan bermain menghadapi Uni Soviet dalam perempat final Olimpiade Melbourne, Australia, 1956. ”Ketiga nama jalan itu ditetapkan Wali Kota Medan Sjoekarni antara 1972 atau 1973,” kata Indra, yang bekerja di Tax Center Universitas Sumatera Utara, Medan.
Miniatur Sumatera Utara
Kisah Medan Putra, Ramlan, dan Ramli adalah sepenggal dari jejak keberagaman yang kental di awal kelahiran PSMS. Pembentukan PSMS digagas enam tokoh dari klub amatir yang mewakili sejumlah etnis besar, antara lain TM Harris dari Medan Sport, Madja Purba dari Sahata yang mewakili komunitas Batak, Adinegoro dari Al-Wathan (Arab), dan Tedja Singh dari India Football Team (India).
Dua tokoh lain, Sulaiman Siregar dari PO Polisi dan dr Pierngadi dari Deli Matschapij yang mewakili pegawai pemerintahan. Enam tokoh itu yang mengoordinasi 23 klub di Medan dan sekitarnya untuk mendirikan PSMS pada 21 April 1950.
Baca juga : PSIS Semarang Merintis Keajaiban Ketiga
Dengan adanya PON, kami berharap PSMS bisa memiliki stadion yang lebih representatif untuk berlatih dan bertanding.
Logo PSMS pun bernuansa keberagaman, yakni bergambar bunga tembakau dengan enam daun yang bermakna enam klub penggagas. Gambar tembakau digunakan karena Medan dikenal sebagai daerah perkebunan dengan salah satu komoditas andalan tembakau Deli. Logo itu menggunakan warna hijau yang berarti perkebunan dan putih yang berarti suci atau sportif. Adapun perkebunan di sana identik dengan para pekerja asal Jawa.
Tak heran, PSMS menjelma sebagai miniatur Sumatera Utara. Pemain mereka bukan hanya berasal dari Medan, melainkan dari sebagian besar wilayah Sumatera Utara. Ada pemain keturunan Melayu, Batak, Arab, India, China, hingga Jawa. ”Gubernur Sumatera Utara kesembilan (1967-1978), Marah Halim Harahap pernah menyatakan, PSMS adalah wajah Sumatera Utara, provinsi yang plural dan sangat menyukai sepak bola,” tutur Indra.
Makanya, PSMS cepat mendapatkan perhatian dari masyarakat hingga pemerintah. Itu tampak dari antusiasme pemain, pengurus, masyarakat, hingga pejabat menyumbang untuk pembangunan Gedung Sekretariat PSMS yang dimulai 23 Februari 1955 dan diresmikan 1956. Sayangnya, gedung tiga lantai itu berhenti digunakan seiring berpindahnya Sekretariat PSMS ke Stadion Kebun Bunga pada 1972. Sekarang, gedung itu terbengkalai dan menjadi permukiman ilegal sejak awal 2000-an.
Baca juga : Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
"The Killer"
Dengan sumber daya pemain yang berlimpah dari beragam etnis dan dukungan fanatik dari masyarakat maupun pemerintah, PSMS lekas melejit sebagai kekuatan baru sepak bola Indonesia. Mereka mendobrak hegemoni kekuatan tradisional yang dikuasai klub-klub Pulau Jawa, seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, dan Persebaya Surabaya.
Itu tergambar dalam artikel Kompas, ”Ini Medan Bung, Kini Giliran PSMS” yang terbit Selasa, 18 Februari 1992. Di tahun 1950-an, PSMS adalah satu-satunya klub lokal yang mampu menundukkan klub-klub asing yang sebelumnya tak terkalahkan selama tur Indonesia. PSMS mengalahkan GAK Graz asal Austria 3-0, Kowloon Motorbus (Hongkong) 5-2, dan Kalmar (Swedia) 3-1. Karena itu, mereka mendapatkan julukan ”The Killer” alias ”Sang Pembunuh”.
Pada kompetisi Perserikatan atau ajang sebelum era Liga Indonesia, PSMS acap kali sulit ditaklukkan. Mereka memunculkan gaya bermain sendiri yang keras, cepat, dan ngotot tetapi bersih serta menjunjung sportivitas atau biasa disebut rap-rap.
PSMS pertama kali merasakan gelar juara Perserikatan pada 1966/1967. Sehabis itu, mereka mempertahankan gelar selama dua musim berikutnya, yakni pada 1967/1969 dan 1969/1971. Sejak kompetisi Perserikatan dimulai pada 1931 dan berakhir 1993/1994, hanya Persis Solo yang menjuarai ajang itu secara beruntun lebih dari tiga kali, yaitu 1939, 1940, 1941, 1942, dan 1943.
Baca juga : Persib Bandung, Penjaga Marwah ”Bumi Pasundan”
PSMS adalah klub tersukses dalam kompetisi Perserikatan pascakemerdekaan, dengan enam gelar juara dan empat kali runner-up. Gelar terakhir PSMS diraih seusai menang adu penalti 2-1 (2-2) atas Persib dalam final Perserikatan 1985 di Jakarta yang disaksikan tak kurang dari 150.000 orang atau jumlah penonton terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
”Kunci sukses PSMS adalah rasa kekeluargaan antarpemain dan pengurus yang membangun kekompakan di lapangan. Dukungan masyarakat juga luar biasa. Banyak yang nyumbang untuk kami berangkat ke Jakarta. Sekembali ke Medan, kami dijemput warga dengan becak pas turun di airport,” kenang gelandang PSMS di final Perserikatan 1985, Amrustian (64).
Masa suram
Sejak dimulainya Liga Indonesia pada 1994/95, PSMS perlahan hilang dari percaturan kasta elite sepak bola nasional. Prestasi terbaik mereka adalah runner-up Divisi Utama Liga Indonesia 2007/08. Selebihnya, PSMS berada di papan tengah dan empat kali terlempar dari kasta elite, yakni 2003, 2009/10, 2013, dan 2019. Hingga sekarang, mereka masih terbenam di kasta kedua.
Amrustian menuturkan, salah satu penyebab kemerosotan PSMS adalah terhentinya kompetisi internal yang melibatkan 40 klub anggota dalam empat divisi. Padahal, kompetisi itu merupakan candradimuka calon pemain PSMS. Tak sedikit alumninya menjadi legenda klub hingga timnas Indonesia.
Baca juga : Pasang Surut Pelayaran PSM Makassar
”Kompetisi itu tempat menempa mental. Yang dihadapi bukan hanya lawan di lapangan, tetapi juga teror makian penonton. Kalau gak kuat mental, kita gak akan bisa main. Namun, dari situlah terseleksi pemain yang betul-betul pantas masuk PSMS,” ujar Amrustian, yang bermain di divisi utama kompetisi internal PSMS pada awal 1980an.
Menurut pemilik Gumarang FC, klub anggota PSMS, Hengki Ahmad (52), kompetisi internal berhenti pada 2007 atau setahun sebelum PSMS menjadi klub profesional dengan status perseroan terbatas. Itu sangat disesalkan karena tidak ada lagi wadah pembinaan berkesinambungan untuk pemain setelah melewati usia remaja.
Situasi semakin sulit karena infrastruktur sepak bola di Medan dan sekitarnya sangat terbatas. Banyak lapangan hilang karena beralih fungsi. Sebaliknya, lapangan yang tersisa kualitasnya jauh di bawah standar, termasuk Stadion Teladan. Akhirnya, iklim pembinaan kian suram. ”Lihatlah, beberapa tahun terakhir, nyaris tidak ada pemain asal Medan ataupun Sumatera Utara di timnas,” kata Hengki.
Membangun ulang
Direktur Utama PT Kinantan Medan Indonesia/CEO PSMS Arifuddin Maulana Basri (26) menyampaikan, sejak diamanatkan memimpin PSMS tahun lalu, dia tertantang mengembalikan kejayaan PSMS. Dirinya coba membangun ulang PSMS mulai dari jajaran manajemen. ”Manajemen tidak boleh mencampuradukkan kepentingan klub dan pribadi. Gaji pemain serta pelatih tidak boleh telat agar tidak mengganggu konsentrasi,” tuturnya.
Baca juga : Jalan PSIS Semarang Membeli Masa Depan
Untuk membiayai operasional PSMS, Ari menjaring sponsor dari jejaring rekan sesama pengusaha. Selain itu, menantu Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi itu akan mengoptimalkan potensi pemasukan dari penjualan suvenir. ”Musim lalu, kami buat toko suvenir di dekat Stadion Teladan. Tapi, saat semuanya siap, kompetisi berhenti (karena Tragedi Kanjuruhan). Biar pun sempat terpukul, kami akan coba lagi menggarap potensi bisnis itu di musim ini,” ungkap Ari.
Secara teknis, Ari ingin membangun PSMS untuk jangka panjang. Di samping banyak merekrut pemain muda yang mayoritas putra daerah untuk Liga 2 2023/24, Ari akan menata pembinaan usia muda PSMS yang saat ini fokus kepada U-15 dan U-17. Nantinya, pembinaan itu diperluas untuk kelompok usia lain.
Untuk infrastruktur, PSMS berharap dampak positif dari terpilihnya Sumatera Utara menjadi tuan rumah PON 2024. Pemerintah Sumatera Utara sedang menyiapkan pembangunan stadion baru berkapasitas 40.000 orang di dekat Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang. Stadion Teladan juga akan direvitalisasi Pemerintah Kota Medan. ”Dengan adanya PON, kami berharap PSMS bisa memiliki stadion yang lebih representatif untuk berlatih dan bertanding,” ujar Ari.
Untuk mengembalikan kejayaan PSMS, Ari mengusung moto dari bahasa Batak, ”Marsipature Hutanabe” alias ”Membangun Kampung Halaman”. Moto yang awalnya didengungkan oleh Gubernur Sumut Raja Inal Siregar itu diharapkan membangkitkan lagi semangat kebersamaan di antara semua pecinta PSMS untuk membawa ”Ayam Kinantan” kembali ke jajaran elite sepak bola Indonesia. Horas!!!!