Gebrakan Utamasia untuk Masa Depan Sepak Bola Medan
Di tengah sengkarut pembinaan sepak bola Medan dan sekitarnya, muncul Akademi Utamasia dengan segala idealismenya dua tahun terakhir. Daerah itu butuh banyak gebrakan seperti Utamasia guna mengembalikan kejayaannya.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·7 menit baca
Di tengah sengkarut pembinaan sepak bola usia muda yang tak jarang mengarbida anak-anak, sejumlah Anak Medan, Sumatera Utara yang dimotori mantan gelandang PSMS Medan Donny Fernando Siregar (39) mendirikan Akademi Sepak Bola Utamasia. Dua tahun terakhir, Utamasia konsisten menerapkan filosofi pembinaan anak yang mengutamakan proses. Utamasia diharapkan bisa berkontribusi menumbuhkan semangat pembinaan yang ideal demi mengembalikan kejayaan sepak bola Medan dan sekitarnya yang selama ini diwakili PSMS.
”Ayo passing (mengoper bola) yang keras, jangan takut salah. Coach (pelatih) mau kalian berani. Di sini tempatnya kita membuat kesalahan. Di sini tempatnya kita belajar. Itu gunanya kita latihan," ujar Donny yang tidak henti mengingatkan sejumlah anak didiknya, murid kelompok umur atau KU 10-13 Utamasia di Lapangan Boca Junior, Jalan Karya Jaya, Medan Johor, Kota Medan, Selasa (18/7/2023).
Donny bukan sosok asing di dunia sepak bola Indonesia. Setelah mengawali karier di PSDS Deli Serdang pada 2002, pria kelahiran Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara itu merantau ke sejumlah klub Tanah Air dan mencapai puncaknya bersama Persijap Jepara di kasta elite Liga Indonesia medio 2008-2010. Kemudian, dia berpindah ke banyak tim, seperti Persiba Balikpapan, PSIS Semarang, Pro Duta FC, Gresik United, sebelum mengakhiri karier di PSMS.
Selepas gantung sepatu pada 2017, Donny meneruskan karier sebagai pelatih. Usai melewati sejumlah kursus lisensi kepelatihan, pria kelahiran 27 September 1983 itu mendapatkan lisensi B AFC pada 2020. Dengan ilmu yang masih hangat di kepala tetapi terganjal pandemi Covid-19, dia akhirnya melampiaskan semangat melatihnya kepada anak sendiri di halaman rumah mereka di kawasan Jalan Selamat, Simpang Limun, Medan.
Karena unggahan salah satu teman di media sosial, kegiatan itu akhirnya tersebar dari mulut ke mulut hingga yang ikut berlatih melonjak menjadi 20-an orang. Karena halaman rumah yang terbatas, Donny dan teman-temannya mulai punya ide untuk berlatih di lapangan yang lebih besar dan membentuk akademi pada 12 Februari 2021.
Nama Utamasia diambil dari akronim Jalan Utama dan La Masia, akademinya klub Spanyol Barcelona. ”Awalnya, kawan-kawan usulkan nama La Masia. Saya bilang jangan karena terlalu berat. Akhirnya, karena kami sering nongkrong di warung TST (teh susu telur) di Jalan Utama (Medan) dan sebagian besar kawan-kawan fans Barcelona, saya usulkan nama Utamasia,” kata Donny.
Ingin perubahan
Melalui Utamasia, Donny dan teman-temannya ingin menghadirkan perubahan ditengah sengkarut pembinaan yang ada. Selama ini, tak sedikit akademi atau sekolah sepak bola (SSB) berjalan dengan pelatih yang tidak memiliki lisensi. Program pembinaan pun tidak utuh, seperti tidak wadah kompetisi yang berkesinambungan. ”Itu yang membuat regenerasi di Medan maupun Sumatera Utara terhambat. Karena, fundamental sepak bolanya tidak kuat dan secara attitude (sikap) juga tidak dibina,” tuturnya.
Untuk itu, Donny yang ditunjuk sebagai Kepala Pelatih Utamasia karena memiliki lisensi tertinggi mewajibkan semua pelatih punya lisensi. Dengan modal lisensi, setidaknya, pelatih paham bagaimana cara mengasah fundamental atau dasar sepak bola yang mesti dilatih sejak usia dini, antara lain teknik mengontrol bola dan passing.
Dari kursus lisensi, pelatih pun bisa memahami bahwa yang diutamakan dari pembinaan usia muda adalah kegembiraan. Maksudnya, anak-anak harus dibuat senang dan menikmati proses pelatihan. ”Anak-anak harus menikmati sesi latihan, tidak diberi tekanan. Ini fasenya mereka bermain. Biarkan mereka belajar dari permainan itu sendiri,” ujar Donny.
Di awal-awal, Donny mengatakan, tidak mudah memberikan pemahaman itu kepada orangtua murid. Banyak yang mau instan, mereka ingin anaknya cepat bisa, cepat bertanding, cepat mencetak gol, dan cepat mendapatkan piala. Perlahan, terjadi seleksi alam. Sebagian orangtua akhirnya memahami dan tetap mempertahankan anaknya di Utamasia. Sebagian lain, mereka memilih keluar.
”Masalah utama pembinaan anak adalah orangtua yang ekspektasinya terlalu tinggi, ingin anaknya cepat berprestasi, dan tidak sabar menjalani proses. Kami terus memberi pemahaman bahwa berlatih sepak bola tidak berarti anak-anak itu akan menjadi pesepakbola. Dari semua anak-anak di sini (sekitar 80 orang dalam empat KU), paling hanya lima persen yang menjadi pesepakbola. Selebihnya, mereka bisa mendapatkan pendidikan karakter dari sepak bola, soal kerja keras, kedisiplinan, sosialisasi, dan komunikasi,” katanya.
Liga Utamasia
Selain kepada orangtua murid, pemahaman itu coba ditularkan Utamasia kepada akademi atau SSB lainnya. Hal itu mereka lakukan dengan menyelenggarakan Liga Utamasia dua tahun terakhir. Mereka mengajak akademi atau SSB lain bergabung tanpa dipungut biaya alias gratis.
Anak-anak harus menikmati sesi latihan, tidak diberi tekanan. Ini fasenya mereka bermain. Biarkan mereka belajar dari permainan itu sendiri.
Kompetisi itu dibagi menjadi dua kategori, yakni KU-10 dengan 20 peserta dan KU-13 dengan 18 peserta. Mereka bertanding setiap tiga minggu sekali. Hal itu menyesuaikan kurikulum nasional dan FIFA mengenai program sembilan plus satu atau sembilan kali latihan dan sekali bertanding. Dengan jadwal latihan Utamasia tiga kali seminggu, maka itu, pertandingan dilaksanakan setiap tiga pekan sekali.
Menurut Donny, di tahun pertama kompetisi itu, hampir semua pelatih klub peserta yang diundang ngotot ingin menang. Pelatih mereka memainkan taktik bola-bola lambung langsung dekat gawang agar timnya bisa segera mencetak gol. Kalau ada pemain yang membuat kesalahan atau timnya kalah, pelatih itu tidak segan memaki-maki pemain ataupun timnya.
Sebaliknya, Utamasia yang menjadi tuan rumah justru rileks. Donny dan rekan-rekan pelatih membiarkan para pemain bermain dengan hati dan tidak mempermasalahkan hasil akhir. Bahkan, salah satu tim mereka sempat menelan kekalahan telak 0-15. Namun, anak-anak itu tidak sedikit pun dimarahi. Mereka justru disemangati dan diajak memetik pelajaran dari setiap pertandingan.
Akhirnya, dari kalah 0-15, tim bersangkutan kini sudah bisa meraih kemenangan. ”Banyak pelatih yang mengutamakan fisik dan mengabaikan teknik serta taktik permainan. Fisik memang susah dicari, tapi gampang pula hilangnya. Sebaliknya, teknik dan pemahaman taktik, itu akan menjadi kebiasaan seumur hidup. Kalau tidak dilatih dengan baik sejak kecil, itulah nanti jadinya pemain yang larinya kencang tetapi passing-nya jelek dan pemahaman taktiknya lemah,” tegas Donny.
Akan tetapi, dengan niat tidak mau menggurui, visualisasi sikap jajaran pelatih Utamasia kepada para pemain mereka dilihat dan perlahan diikuti oleh tim-tim lain. ”Itu tampak dari cara bermain tim lain yang mulai dari kaki ke kaki dan tidak terlalu mengintervensi anak-anak,” terang Donny.
Bentuk dedikasi
Menurut Donny, apa yang dia, delapan pelatih lain, dan pengurus Utamasia lakukan adalah bentuk dedikasi untuk sepak bola Medan maupun Sumatera Utara. Mereka resah melihat kemerosotan prestasi daerah mereka yang dahulu berjaya bersama PSMS di pentas nasional dan internasional.
Karena karut-marut pembinaan usia muda yang mengakar, nyaris tidak ada lagi pemain asal Medan ataupun Sumatera Utara di timnas Indonesia. Pemain-pemain asal Sumatera Utara, seperti Egy Maulana Vikri (penyerang), Firza Andika (bek sayap), Riko Simanjuntak (pemain sayap), dan David Maulana (gelandang), mereka bisa masuk timnas bukan karena dibina di Medan dan sekitarnya melainkan di rantau sejak usia dini.
”Di sini, kita tidak bisa bicara untung-rugi karena finansialnya penuh dengan teka-teki. Di sini, kita bicara soal dedikasi. Kalau bukan kita, siapa yang harus bergerak. Kita tidak bisa terus berharap dari orang lain. Dari sini, kami bercita-cita untuk memperbaiki kualitas sepak bola bukan hanya Medan, Sumatera Utara, atau PSMS, melainkan Indonesia. Itu cita-cita besar kami,” tutur Donny yang sedang menjalani kursus lisensi A PSSI Diploma.
Pemilik Gumarang FC, klub anggota PSMS, Hengki Ahmad (52) menyampaikan, pembinaan semakin sulit selepas kompetisi internal PSMS yang diikuti oleh 40 klub anggota dalam empat divisi berhenti pada 2007. Sejak itu, sebagian klub anggota mati suri karena tidak ada lagi wadah pembinaan berkesinambungan.
Sebagian klub lainnya fokus menjadi SSB. Gawatnya, menjalankan pembinaan usia muda tidak murah dan kurang menguntungkan. Pasaran tarif iuran sekitar Rp 2.000-Rp 5.000 per orang per pertemuan. Padahal, sewa lapangan cukup mahal. Apalagi lapangan yang bisa dipakai terbatas. ”Selebihnya, kami mengeluarkan anggaran pribadi untuk melanjutkan pembinaan,” ungkap Hengki.
Menurut gelandang PSMS di final Perserikatan 1985, Amrustian (64), kompetisi internal PSMS harus dihidupkan lagi demi menjembatani karier pemain lokal dari usia remaja atau yunior ke senior. ”Sekarang, sehabis dari SSB, anak-anak itu mau ke mana? Tidak ada. Akhirnya bakat mereka hilang dan karier terputus, terutama untuk anak-anak ekonomi ke bawah yang gak sanggup merantau keluar. Ujung-ujungnya apa, mereka jadi geng motor, begal orang di jalanan,” tegas Amrustian.
Bicara soal pembinaan, CEO PSMS Arifuddin Maulana Basri menuturkan, pihaknya akan menata kembali pembinaan usia muda PSMS yang kini masih fokus kepada KU-15 dan KU-17. Ke depan, tak menutup kemungkinan mereka membuat Akademi PSMS. ”PSMS sebenarnya punya tim muda tetapi jarang didengar. Jadi, perlu dilakukan rebuilt (dibangun kembali) untuk sektor tersebut,” ujarnya.
Sebagai daerah yang pernah menjadi lumbung pemain timnas, Medan ataupun Sumatera Utara butuh lebih banyak gebrakan seperti yang dilakukan Utamasia. Agar kelak, lahir kembali Ronny Pasla kecil, Nobon Kayamudin kecil, dan Ricky Yacobi kecil, nama-nama legenda PSMS yang kehebatannya diabadikan dalam lagu ”Mereka Ada di Jalan” oleh musisi Iwan Fals.