Pasang Surut Pelayaran PSM Makassar
Selama lebih satu abad PSM Makassar mampu melewati berbagai masalah mulai dari kesulitan finansial hingga tak punya markas di kota sendiri. Prestasi terus dikejar “Juku Eja” demi menjaga siri’ (harga diri).
Langit senja memayungi kota Makassar, Sulawesi Selatan, ketika Kompas melewati himpitan pagar besi untuk masuk ke suatu kawasan penuh kenangan. Pada Sabtu (24/6/2023) sore, hanya tiupan angin yang menggoyangkan ilalang dan rumput tinggi di tempat itu.
Padahal, selama 63 tahun, kawasan itu adalah saksi bisu dari perjalanan klub tertua di Indonesia, yakni PSM Makassar. Tempat legendaris itu ialah Stadion Mattoanging.
Tidak ada lagi gemuruh penonton yang sering terdengar di arena itu setiap tim ”Juku Eja” berlaga. Kini, kawasan itu tak ubahnya tanah tak bertuan, menyisakan puing-puing sisa pembongkaran gedung stadion yang dilakukan, Oktober 2020 silam.
”Miris sekali melihat kondisi Mattoanging sekarang. Saya merasakan sebagai pemain dan pelatih PSM selalu ada daya magis luar biasa setiap tampil di Mattoanging,” kata Syamsuddin Umar, legenda PSM, tentang kesannya terhadap nasib Mattoanging.
Baca juga: PSM Akhiri Dahaga Juara Liga
Syamsuddin pernah merasakan itu ketika pertama kali menangani PSM pada Liga Perserikatan edisi 1991-1992. Hasil empat kemenangan dan sekali imbang pada putaran penyisihan Wilayah Timur musim itu di kandang membantu Juku Eja menembus babak enam besar di Jakarta.
Hingga akhirnya, PSM merebut gelar kampiun Indonesia setelah menumbangkan PSMS Medan, 2-1, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 27 Februari 1992. Hasil itu menjadi raihan trofi pertama PSM setelah paceklik trofi liga sejak 1966.
Ketika kembali menukangi PSM di musim 1999-2000, Syamsuddin juga mampu menjaga rekor tak terkalahkan di Mattoanging. Raihan 12 kemenangan di kandang menjadi faktor utama PSM memimpin Wilayah Timur dan lolos ke delapan besar.
Kemudian, PSM juga menyapu bersih tiga laga dengan kemenangan pada babak delapan besar di Mattoanging. PSMS, Pupuk Kaltim, dan Persijatim Jakarta Timur tidak mampu membendung PSM di stadion yang dibangun untuk Pekan Olahraga Nasional IV 1957 di Makassar itu. Pada musim itu, PSM mengangkat trofi perdana di era Liga Indonesia sejak penyatuan liga pada 1994-1995.
Pertandingan resmi pertama yang dijalani PSM di Mattoanging ialah duel melawan Persema Malang pada 30 Juni 1957. Laga itu membuka Kejuaraan Nasional PSSI 1957.
PSM melibas Persema, 10-2, berkat koleksi enam gol dari legenda klub, Ramang. Musim itu, PSM menutup kompetisi di puncak klasemen dengan rekor lima kali menang dan sekali imbang. Itu adalah trofi resmi pertama bagi PSM.
Lihat juga: Paceklik Gelar 23 Tahun, PSM Makassar Juara BRI Liga 1
Sejak tampil di Mattoanging, PSM meraih predikat tim besar di Tanah Air. Dalam satu dekade pertama kehadiran stadion itu, PSM mengoleksi empat gelar juara Indonesia. Trofi kampiun Kejurnas PSSI diraih pada 1957, 1959, 1965, dan 1966.
”Ramang selalu menganggap Mattoanging sebagai tempat yang sakral. Pesannya, kami harus mati-matian setiap bermain di kandang dan haram mengecewakan pendukung,” kenang Syamsuddin yang diasuh Ramang di PSM pada akhir dekade 1970-an.
Dengan ”gugurnya” Mattoanging, maka PSM menjadi satu-satunya klub raksasa legendaris di Tanah Air yang tidak memiliki stadion di kota sendiri. Nasib itu jelas berbeda dengan Persib Bandung, Persija Jakarta, dan Persebaya Surabaya.
Ramang selalu menganggap Mattoanging sebagai tempat yang sakral. Pesannya, kami harus mati-matian setiap bermain di kandang dan haram mengecewakan pendukung.
Alhasil, sejak Liga 1 2022-2023, PSM hijrah ke Stadion Gelora BJ Habibie di Parepare. Meski begitu, PSM seakan mengulang sejarah dengan pindah ke Parepare. Mereka langsung menjadi juara pada tahun pertama berkandang di Gelora BJ Habibie.
Klub tertua
PSM merupakan klub sepak bola pertama di Indonesia yang mencapai usia 100 tahun. Makassaarche Voetbal Bond (MVB) yang menjadi cikal bakal PSM tercatat telah berdiri pada 2 November 1915. Java-Bode, koran berbahasa Belanda di Indonesia, memuat berita singkat perayaan ulang tahun ke-40 PSM pada edisi 8 November 1955.
Menurut catatan RSSSF, MVB awalnya mencantumkan tahun kelahiran pada 27 Februari 1916. Tetapi, catatan itu diubah dengan merujuk pada permulaan turnamen perdana yang diselenggarakan MVB, 2 November 1915.
Turnamen perdana MVB yang diikuti klub-klub yang berada di Makassar berlangsung pada November 1915 hingga Februari 1916. Klub Bintang Prijai menjadi juara edisi pembuka itu. Turnamen itu rutin digelar hingga 1940.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, nama MVB diubah menjadi PSM Makassar di tahun 1942. M Dahlan Abubakar, penulis buku Satu Abad PSM Mengukir Sejarah (2020), menuturkan, penentuan nama PSM bukan sekedar mengartikan MVB ke dalam bahasa Indonesia.
”Nama PSM itu berasal dari tiga kerajaan di Sulawesi Selatan, yakni Pajung (Luwu), Somba (Gowa), dan Mangkau (Bone). Dengan nama itu, PSM menyatukan tiga kerajaan besar yang kerap berseteru di masa lalu,” ucap Dahlan.
Meskipun memiliki tradisi sepak bola yang tidak kalah dengan klub-klub di Jawa, PSM tidak termasuk ke dalam tujuh pendiri Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1930. Persoalan komunikasi dan keamanan membuat Suratin Sosrosugondo, pendiri PSSI, hanya mampu mengumpulkan tujuh klub di Jawa untuk mendirikan induk sepak bola bumiputra.
Baca juga: Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
Keikutsertaan MVB/PSM dalam turnamen dengan bond di Pulau Jawa mulai tercatat pada turnamen antarkota atau stedenwedstrijden edisi 1949 dan 1950. Adapun partisipasi perdana PSM pada kompetisi di bawah naungan PSSI tercipta pada Kejurnas PSSI yang pertama tahun 1951, yang berlangsung 17 November- 2 Desember di Lapangan IKADA, Jakarta.
Merujuk laporan koran berbahasa Belanda, De Locomotief, pada awal November 1951, PSM terlebih dahulu mengikuti turnamen segitiga yang digagas PSSI di Lapangan Kridosono, Yogyakarta. PSM memenangi turnamen itu berkat hasil imbang 1-1 lawan tuan rumah, PSIM Yogyakarta, kemudian membantai PSIS Semarang, 6-2.
”PSM bisa aktif mengikuti kompetisi di Jawa berkat dukungan dari pengusaha Tionghoa Makassar yang gemar sepak bola,” tutur Dahlan.
Tidak hanya membiayai tim tampil di Jawa, para pengusaha Tionghoa Makassar juga menyelenggarakan turnamen ekshibisi bagi PSM di tengah libur kompetisi PSSI. Java-bode mencatat pada Agustus 1954, tim Tionghoa Makassar, Chung Hua, membuat turnamen yang melibatkan tim di Makassar, seperti PSM, Persis (Persatuan Sepak Bola Indonesia Sulawesi), ISAP, dan POM, serta mengundang pula tim Chung Hua Jakarta. Turnamen itu disaksikan 30.000 penonton di Lapangan Karebosi, Makassar.
Semboyan
Dalam perjalanan di kompetisi profesional, PSM telah terbukti memegang teguh semboyan siri’ na pacce atau pantang mundur untuk membela harga diri. Di lapangan, pemain PSM terkenal permainan ngotot dan kerja keras.
Hal itu membuat PSM selalu tampil di kasta tertinggi sepak bola Indonesia sejak era Kejurnas 1951. PSM hanya sekali absen di Kejurnas 1952 akibat masalah finansial. Setelah 1953 hingga akhir era Perserikatan pada 1993-1994, PSM tidak pernah gagal melaju ke putaran final.
Baca juga: Tekad Persis Solo Menuju Usia Seabad
Ketika kompetisi memasuki era profesional pada Liga Indonesia 1994-1995, PSM mampu menjaga identitas sebagai salah satu tim yang selalu berlaga di kompetisi kasta terbaik Tanah Air.
Seiring semboyan itu, PSM juga sempat keras terhadap federasi yang dianggap melakukan kecurangan. Puncak ”kemarahan” PSM terhadap penyelenggaraan kompetisi ialah mengundurkan diri dari Liga Super Indonesia, Desember 2010.
Tim kebanggaan warga Sulawesi itu lalu hijrah ke Liga Primer Indonesia (LPI) pada 2011. Kepindahan ke LPI juga menjadi tonggak awal era profesionalisme bagi PSM dengan terbentuknya PT Persaudaraan Sepak Bola Makassar.
Memasuki dekade 2010-an, masalah selalu melekat dengan PSM, terutama terkait finansial klub. Hasilnya, Juku Eja tak mampu berprestasi di tiga edisi LPI.
Nama PSM itu berasal dari tiga kerajaan di Sulawesi Selatan, yakni Pajung (Luwu), Somba (Gowa), dan Mangkau (Bone). Dengan nama itu, PSM menyatukan tiga kerajaan besar yang kerap berseteru di masa lalu.
Di tengah pembekuan PSSI oleh FIFA, PSM menjalani babak playoff guna kembali ke kompetisi PSSI pada 2014, sehingga bisa kembali tampil ke Liga Super 2014. Era Liga 1 yang dimulai pada 2017 menjadi asa baru bagi PSM untuk mengejar era kejayaan.
PSM pun mengakhiri puasa gelar selama 20 tahun setelah merengkuh kampiun Liga 1 2022-2023. Gelar Piala Indonesia 2018-2019 juga telah masuk lemari trofi PSM.
”Target saya, PSM terus menjaga konsistensi di papan atas. Tidak mudah menjadi tim yang konsisten,” kata Direktur Utama PSM Sadikin Aksa.
Meskipun tak lagi bermarkas di Makassar, Sadikin menyambut positif kolaborasi manajemen dengan Pemerintah Kota Parepare untuk menyediakan rumah baru bagi PSM di Gelora BJ Habibie.
Kolaborasi itu, kata Sadikin, ditunjukkan dengan PSM merenovasi seluruh fasilitas utama penunjang pertandingan, seperti rumput, ruang ganti, lampu, hingga tribune, sedangkan Kota Parepare melengkapi fasilitas penunjang ke stadion, misalnya akses jalan dan lahan parkir.
Baca juga: Tim ”Laskar Mataram”, PSIM Yogyakarta, Enggan Terus Terbenam
”Kami tentu bermimpi kembali ke Makassar suatu hari nanti. Tetapi, kami saat ini fokus untuk mengembangkan potensi besar basis pendukung baru di Parepare dan sekitarnya, yang telah menggoreskan sejarah bagi PSM,” ucap Sadikin.
Lebih dari satu abad, PSM telah terbukti mampu terus ”berlayar” di kancah sepak bola Indonesia. Ewako!