Tekanan Berat Ons Jabeur dari Arab
Dalam tiga kesempatan bermain di final Grand Slam, termasuk Wimbledon 2023, Ons Jabeur selalu kalah. Petenis putri Tunisia itu tak dapat menahan tekanan karena membawa harapan besar dari bangsa Arab.
“Ini adalah momen paling menyakitkan dalam karier saya”.
Kalimat itu diucapkan Ons Jabeur, petenis Tunisia, sambil menangis setelah menerima trofi runner-up tunggal putri Grand Slam Wimbledon 2023. Jabeur kalah dalam final Grand Slam untuk ketiga kalinya karena tak dapat menahan besarnya harapan dunia Arab pada dirinya.
Jabeur dikalahkan Marketa Vondrousova dengan skor 4-6, 4-6, pada final di All England Club, London, Inggris, Sabtu (15/7/2023) malam. Bagi Vondrousova, capaian itu adalah gelar juara dari final pertamanya di arena Grand Slam. Sebaliknya, Jabeur selalu kalah dalam tiga final setelah sebelumnya gagal dalam laga puncak Wimbledon dan Amerika Serikat Terbuka 2022, masing-masing dari Elena Rybakina dan Iga Swiatek.
Maka, tidak heran jika Jabeur sungguh ingin mengalahkan Vondrousova dan menangis pilu saat tak bisa mewujudkannya. Dia pun menilai kekalahan itu sebagai momen paling menyakitkan baginya selama 13 tahun bersaing di arena tenis profesional.
Baca juga : Vondrousova Si Pembuat Kejutan
Apalagi, Jabeur tampil memukau ketika membalas kekalahan dari Rybakina pada duel di perempat final Wimbledon 2023. Setelah itu, dia menyingkirkan tunggal putri peringkat kedua dunia yang juga juara Australia Terbuka, Ayrna Sabalenka, di semifinal. Dengan tersingkirnya Swiatek pada perempat final, yaitu setelah dikalahkan Elina Svitolina, Jabeur pun lantas menjadi favorit juara.
Penonton di stadion pun mencintai Jabeur. Setiap kali ia tampil, dukungan padanya selalu terdengar lebih riuh dibandingkan untuk lawan-lawannya. Namun, cinta dari penggemar, pengalaman menjalani dua final Grand Slam, termasuk di tempat yang sama seperti saat melawan Vondrousova, tidak memberi keuntungan banyak baginya. Sisi-sisi positif itu hilang oleh besarnya tekanan yang dia rasakan.
Di antara jeda setiap gim saat final, dia selalu menundukkan badannya, menarik nafas dalam, berjalan pelan, atau membelakangi lapangan. Energinya menghilang, meskipun selalu unggul lebih dulu dalam setiap set. Jabeur mengingatkan diri sendiri bahwa dia pun kehilangan set pertama pada perempat final dan semifinal, sehingga masih memiliki harapan untuk bangkit. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di final.
Pada konferensi pers setelah laga final, Jabeur (28) bercerita dirinya tidak dapat menghadapi tekanan yang besar. ”Semakin banyak hasil baik yang saya dapat, kian besar pula tekanan yang dirasakan,” ucapnya.
Harapan besar
Ia selalu membawa harapan besar bangsa Arab di pundaknya. Beban itu mulai ditanggungnya saat menembus babak ketiga Perancis Terbuka 2017. Meskipun kalah, dia menjadi petenis putri keturunan Arab pertama yang mencapai babak ketiga Grand Slam.
Setelah itu, levelnya naik saat lolos ke perempat final Australia Terbuka 2020. Pada 2022, Jabeur menjadi pembawa harapan juara dari Arab saat mencapai final Wimbledon. Dia difavoritkan juara setelah Swiatek, yang mendominasi persaingan pada tahun tersebut, tersingkir pada babak ketiga.
Absennya petenis Rusia dan Belarus kian membuka persaingan. Panitia melarang petenis dari kedua negara itu ikut bertanding karena terlibat serangan Rusia, yang dibantu Belarus, pada Ukraina sejak Februari 2022. Namun, harapan itu kandas di tangan Rybakina yang belum pernah merasakan final Grand Slam sebelumnya.
Jabeur juga gagal dalam kesempatan lain, yaitu saat lolos ke final AS Terbuka pada tahun yang sama. Kali ini, dia kalah dari Swiatek. Dua final Grand Slam, gelar juara WTA 1000 Madrid, dan final di Roma pada 2022, seharusnya menjadi bekal Jabeur untuk bersaing pada musim kompetisi 2023. Sebaliknya, langkahnya justru tersendat.
Dia tersingkir pada babak kedua Grand Slam pembuka musim, Australia Terbuka, dan tak bisa melewati babak ketiga pada tiga turnamen WTA 1000 sebelum Wimbledon tahun ini. Cedera engkel dan lutut turut menghambat performanya.
Mantan petenis nomor satu dunia asal Belgia, Kim Clijsters, memberi semangat bahwa Jabeur masih memiliki waktu untuk bisa menjuarai Grand Slam.
Dalam kondisi seperti itu, dukungan untuk petenis yang juga menggemari sepak bola itu terus mengalir, termasuk dari penggemarnya di Tunisia. Jabeur mengatakan, dia bagaikan memiliki pelatih mental tambahan dengan banyaknya pesan penyemangat dari penggemar.
Di Wimbledon, Jabeur menerima dukungan itu. Dia menyempatkan menyapa penonton yang membawa bendera Tunisia, meskipun dari lantai atas Lapangan Utama. ”Mereka selalu mendukung, apa pun hasil yang saya peroleh. Tetapi, tentu saja, saya ingin menang untuk negara dan bangsa saya,” ujarnya sebelum final.
Juara Perancis Terbuka yunior 2011 itu menjadi kebanggaan dunia Arab meskipun ada petenis lain yang juga pernah menembus peringkat 20 besar dunia. Sebelum Jabeur, Selima Sfar menjadi satu-satunya petenis putri Arab yang berada di ranking 100 besar. Posisi terbaiknya adalah peringkat ke-75 pada Juli 2001.
Di putra, Younes El Aynaoui (Maroko) menempati ranking ke-14 pada 2003 sebagai posisi terbaiknya. Pada persaingan di arena Grand Slam, dia empat kali mencapai perempat final.
Selain El Aynoui, Maroko memiliki dua petenis putra yang memberi kebanggaan bagi bangsa Arab, salah satunya Karim Alami yang meraih posisi terbaik di urutan ke-25 dunia pada Februari 2000. Sementara Hicham Arazi menempati peringkat ke-22 pada 2001 dan empat kali tampil di perempat final Grand Slam. Arazi adalah sumber inspirasi bagi Jabeur.
Baca juga : Ons Jabeur dan Marketa Vondrousova Belajar dari Kekalahan
”Orang selalu membandingkan saya dengan Arazi. Dia sangat menginspirasi saya dan saya pun selalu berusaha menjadi inspirasi bagi orang lain,” kata Jabeur kemudian.
Kalimat seperti itu pula yang disampaikan sejumlah tokoh pada Jabeur setelah dia kalah. Mantan petenis nomor satu dunia asal Belgia, Kim Clijsters, memberi semangat bahwa Jabeur masih memiliki waktu untuk bisa menjuarai Grand Slam.
Clijsters, yang menangis bersama Jabeur di ruang ganti pemain, kalah pada empat final pertamanya di arena Grand Slam pada 2001, 2003, dan 2004. Gelar pertama akhirnya diraih dari AS Terbuka 2005. Dia kemudian menambah gelar dari AS Terbuka pada 2009 dan 2010, serta Australia Terbuka 2011 setelah memiliki anak.
Kate Middleton, Princess of Wales, bahkan turut menghibur Jabeur dengan memberikan pelukan. ”Dia sangat baik, mendorong saya untuk lebih kuat. Itu adalah momen yang menghibur. Saya akan tetap belajar dan berpikir positif. Jika terus menerus kecewa, itu tidak akan menolong saya,” kata Jabeur. (AP/AFP/Reuters)