Arsip “Kompas”: Pele dan Eusebio, Dua “GOAT” Datang ke Jakarta pada 1972
Indonesia gagal menyambut Lionel Messi. Sebaliknya, 51 tahun silam, Jakarta pernah menjadi saksi bisu penampilan dua pemain terbaik dekade 1960-an, Pele dan Eusebio.
Tim nasional Argentina tidak membawa sang kapten, Lionel Messi, ke Jakarta untuk menjalani laga kedua tur Asia menghadapi Indonesia, Senin (19/6/2023), di Stadion Utama Gelora Bung Karno atau SUGBK. Keputusan Pelatih Argentina Lionel Scaloni untuk mengizinkan Messi berlibur seakan menunjukkan kedatangan ke Jakarta bukan prioritas skuad La Albiceleste.
Indonesia, yang memiliki kecanduan sangat besar terhadap sepak bola, tidak dianggap penting oleh Argentina dan Messi. Padahal, pada 1972 atau 51 tahun silam, pecinta sepak bola di Tanah Air sempat menyambut dua GOAT atau the greatest of all time era 1960-an, yaitu Edson Arantes do Nascimento alias Pele dan Eusebio da Silva Ferreira atau dikenal sebagai Eusebio.
Pele dan Eusebio pada era 1960-an hingga awal 1970-an menghadirkan persaingan serupa Messi dan Cristiano Ronaldo pada dekade 2010-an. Pele bersama Santos menguasai Amerika Selatan. Sedangkan, Eusebio yang membela Benfica menjadi kekuatan yang amat menakutkan di Eropa.
Kehebatan pemain yang berposisi sebagai penyerang itu membuat keduanya disematkan julukan yang sama, yaitu O Rei atau Sang Raja dalam bahasa Portugis. Sayangnya, Pele tidak pernah bermain di Eropa, sehingga tidak pernah berhadapan langsung dengan Eusebio.
Pele, yang berusia 32 tahun ketika itu, ikut serta dalam tur Asia dan Australia bersama timnya, Santos, pada Juni 1972. Pele bersama rekannya di Santos tiba di Jakarta pada 19 Juni 1972, lalu mereka menjalani pertandingan menghadapi timnas Indonesia, 21 Juni 1972 di Stadion Utama Senayan, nama lain SUGBK. Pele meninggalkan Jakarta pada 22 Juni 1972 untuk melanjutkan tur Timur Jauh.
Menurut catatan arsip Kompas, PSSI harus merogoh dana besar agar Jakarta menjadi salah satu tujuan tur Santos. Kala itu, PSSI membayar 45.000 dollar Amerika Serikat. Dengan kurs Rp 415 per 1 dollar AS, maka biaya kedatangan Santos sekitar Rp 18,6 juta.
Sejatinya, biaya Santos ke Jakarta ialah 40.000 dollar AS dengan jadwal tampil menghadapi timnas Indonesia pada 18 Juni. Namun, agenda pertandingan itu ditunda tiga hari menjadi 21 Juni karena pada 19 Juni, tim “Garuda” tampil melawan Korea di final Djakarta Anniversary Cup III. Karena hari pertandingan mundur, PSSI membayar tambahan 5.000 dollar AS.
Baca juga : Saat Pele Berlaga di Senayan
Pele orangnya simpatik, tidak sombong, walaupun predikat pemain bola terbaik di dunia melekat pada dirinya.
Biaya Santos ke Jakarta lebih besar dibandingkan kunjungan klub asal Brasil itu ke Tokyo, Jepang, dan Bangkok, Thailand. Ongkos yang dibayarkan PSSI untuk Santos sudah termasuk tiket pesawat menuju dan dari Jakarta. Di Tokyo, Santos mendapat bayaran 22.500 dollar AS, tetapi jumlah itu belum termasuk 26 tiket pesawat dari Rio De Janeiro (Brasil) ke Tokyo.
Adapun dalam kunjungan ke Thailand, Santos mematok bayaran 35.000 dollar AS. Di luar biaya penampilan, Santos meminta pula tambahan bayaran sebesar tiga persen dari keuntungan total penjualan tiket laga Santos menghadapi timnas Thailand.
Meskipun membayar Santos paling mahal dalam tur Asia di pertengahan 1972, kontrak PSSI dengan Santos hanya setengah dari kontrak terbesar yang diterima Santos di tahun itu. Santos menerima uang sebesar 80.000 dollar AS untuk laga ekshibisi menghadapi Inter Milan di Milan, Italia, Oktober 1972.
Tidak rahasia
Selama berada di Jakarta, Santos tidak seperti Argentina pada tahun ini. Mereka sama-sama meminta pengawalan ketat, tetapi Santos tidak merahasiakan agenda mereka selama di Jakarta. Ketika itu, Sekretaris Umum PSSI Joemarsono mengumumkan, waktu pasti Santos mendarat di Bandara Kemayoran Jakarta.
Baca juga : Tiada Lionel Messi, Penonton Tetap Berseri
Pele pun langsung disambut ratusan pendukung yang menunggu kedatangannya di Bandara Kemayoran, Jakarta. Joemarsono pun memberikan informasi tentang Hotel Kartika Plaza yang menjadi tempat menginap Pele bersama rekan setimnya.
“Mereka meminta pengawalan khusus bagi Pele untuk mencegah kejadian yang tidak enak, seperti di Tokyo. Di antaranya, Pele diserbu wanita-wanita selama di hotelnya,” ucap Joemarsono yang dimuat di Kompas, Sabtu, 17 Juni 1972.
Di hotel itu, Pele memberikan kesempatan kepada media-media Indonesia untuk melakukan wawancara kepada dirinya. Sikap Santos dan Pele itu sangat kontras dengan Argentina yang tidak menyediakan agenda terbuka untuk diliput wartawan, selain sekali latihan resmi serta konferesi pers jelang dan setelah pertandingan.
Baca juga : Petik Pengalaman Berharga dari Argentina
“Pele orangnya simpatik, tidak sombong, walaupun predikat pemain bola terbaik di dunia melekat pada dirinya,” kesan wartawan Kompas, Ignatius Sunito, yang ikut dalam sesi wawancara bersama Pele dalam artikel yang terbit di edisi, Rabu, 21 Juni 1972.
Pele, peraih tiga trofi Piala Dunia bersama Brasil, tampil selama 90 menit di Senayan. Ia membantu timnya menumbangkan Indonesia, 3-2. Pele mencetak gol ketiga Santos melalui eksekusi titik putih ketika laga berjalan 30 menit.
Hanya satu permintaan PSSI yang ditolak Manajer Santos Clayton Dittencourt selaku ketua delegasi tur Asia Santos. Dittencourt menolak ketika PSSI mengajukan Pele melakukan tendangan pertama pada laga final Djakarta Anniversary Cup antara Indonesia kontra Korea.
Baca juga : Persinggungan Tak Berbalas Lionel Messi di Asia Tenggara
Dua laga
Sementara itu, Eusebio bersama skuad Benfica tiba di Jakarta, Rabu, 30 Agustus 1972. Itu merupakan satu-satunya perjalanan ke luar Eropa yang dijalani Benfica untuk mempersiapkan musim 1972-1973.
Serupa dengan Pele, Eusebio bersama rekannya di Benfica menginap di Hotel Kartika Plaza. Selama berada di Jakarta, Eusebio menjalani dua pertandingan.
Benfica mengawali tur ke Jakarta dengan mengalahkan timnas Indonesia, 4-2, 1 September 1972, di Stadion Utama Senayan. Pada laga melawan Indonesia, Eusebio menyumbang sebuah gol yang menjadi koleksi gol ketiga Benfica ke gawang Indonesia.
Dua hari berselang, 3 September 1972, giliran Berlin Selection yang dilibas Benfica, juara Piala Champions Eropa 1961-1962, dengan skor serupa, 4-2. Meskipun tidak mencetak gol ke gawang Berlin Selection, Eusebio menghibur sekitar 50.000 penonton dengan penampilan apiknya.
Pada dua laga tampil di Jakarta, Eusebio selalu tampil penuh selama 90 menit. Setelah pulang dari Jakarta, Eusebio, yang kala itu berusia 30 tahun, membawa Benfica juara Liga Portugal 1972-1973 serta menjadi pencetak gol terbanyak Liga Portugal dengan 40 gol.
Merujuk catatan Kompas, Benfica menerima bayaran bersih sebesar 30.000 dollar AS pada setiap pertandingan di Jakarta. Alhasil, Benfica, menerima 60.000 dollar AS dari PSSI. Untuk mendatangkan Benfica dan Eusebio, PSSI mendapat bantuan dari broker atau makelar asal Inggris, Charles Mitten.
Tanpa kawalan
Berbeda dengan perlakuan terhadap Pele, Eusebio tidak mendapat atau pun meminta kawalan khusus selama delapan hari berada di Jakarta. Ia pun murah senyum dan ramah membalas sapaan setiap orang yang ditemuinya.
Eusebio pun sempat melakukan sesi wawancara dengan wartawan Indonesia sehari sebelum bertanding melawan Indonesia. Bahkan, Kompas juga mendapat kesempatan wawancara khusus dengan Eusebio, 5 September 1972.
Pemilik satu trofi Ballon d’Or itu pun mengaku sangat ingin mencetak lebih dari satu gol ke gawang Indonesia. Namun, performa tim “Garuda” yang membaik pada babak kedua menyulitkan Benfica yang unggul empat gol hanya dalam 27 menit pada babak pertama.
“Indonesia bermain lebih baik pada babak kedua. Cepat dan membingunkan arah penyerangannya. Terus terang, kami jadi agak kewalahan juga waktu itu,” ucap Eusebio di Kompas edisi Rabu, 6 September 1972.
Ketidakhadiran Messi tentu memberikan kekecewaan kepada jutaan pencinta sepak bola di Tanah Air, terutama puluhan ribu orang yang telah membeli tiket duel Indonesia kontra Argentina. Akhirnya, kenangan SUGBK sebagai saksi bisu aksi menawan dua GOAT, Pele dan Eusebio, setengah abad lalu, belum tertandingi.