Iga Swiatek menjadikan namanya sejajar dengan para senior setelah menjuarai tunggal putri Grand Slam Perancis Terbuka untuk ketiga kalinya. Meski masih memiliki karier yang panjang, dia tak ingin terpatok pada rekor.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Setelah menjuarai tunggal putri Grand Slam Perancis Terbuka 2023, Iga Swiatek menyejajarkan namanya dengan petenis yang lebih senior dalam rekor tertentu. Namun, bukan deretan angka yang menjadi fokus petenis berusia 22 tahun itu. Dia hanya ingin menjadi petenis dan persona yang terus membaik.
Swiatek mempertahankan gelar juara Perancis Terbuka setelah mengalahkan Karolina Muchova, 6-2, 5-7, 6-4 pada final di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Sabtu (10/6/2023). Pada laga itu, karakternya sebagai petenis dan pribadi diuji lebih tinggi daripada kemenangan pada enam babak sebelumnya yang selalu diraih dalam dua set.
Dengan kemenangan itu, Swiatek menjadi tunggal putri pertama yang mempertahankan gelar Perancis Terbuka sejak Justine Henin juara beruntun pada 2005-2007. Setelah itu, daftar juara selalu diisi nama berbeda hingga 2022.
Gelar ketiga Perancis Terbuka ini memperkuat reputasinya sebagai petenis putri terbaik di lapangan tanah liat saat ini, meski Swiatek juga bisa bermain solid di lapangan keras. Sejak debut di Roland Garros pada 2019, dia hanya dua kali kalah dari 30 pertandingan. Kekalahan itu terjadi pada babak keempat 2019 dan perempat final 2021.
Petenis Polandia itu kini memiliki empat trofi Grand Slam, menambah gelarnya dari Perancis Terbuka 2020, 2022, dan Amerika Serikat Terbuka 2022. Swiatek menjadi salah satu dari hanya tiga petenis tunggal putri aktif yang memiliki empat gelar atau lebih di ajang Grand Slam. Petenis lainnya adalah Naomi Osaka dengan empat gelar dan Venus Williams dengan tujuh gelar.
Swiatek mencatat prestasi lain, yaitu menjadi petenis aktif yang menempati puncak peringkat dunia terlama. Dia akan tetap berada di posisi yang telah ditempatinya selama 61 pekan beruntun sejak 4 April 2022 tersebut.
Meski pencapaian itu didapat pada usia 22 tahun dan perjalanannya di arena tenis profesional masih panjang, Swiatek tak ingin deretan angka menjadi tuntutan dan target hidupnya. Dia hanya ingin terus berkembang.
”Saya tak ingin membuat rekor tertentu, tetapi hanya berusaha setiap hari untuk berkembang sebagai seorang petenis. Itu adalah jalan yang terbaik untuk saya,” katanya.
Melupakan angka juga menjadi cara Swiatek mengatasi tekanan saat menjalani final dengan momentum yang terus berubah sejak set kedua. Setelah bermain dengan tenang sepanjang set pertama hingga unggul 3-0 pada set kedua, Swiatek mulai tertekan dengan gaya main Muchova. Petenis Ceko ini kerap memvariasikan groundstroke datar dengan drop shot dan permainan net.
Mentalitas petenis yang memiliki psikolog olahraga, Daria Abramowicz, dalam timnya sejak yunior itu diuji. Swiatek berusaha menjernihkan pikirannya dengan melupakan skor.
Saya tak ingin membuat rekor tertentu, tetapi hanya berusaha setiap hari untuk berkembang sebagai seorang petenis. Itu adalah jalan yang terbaik untuk saya.
”Saya mulai menggunakan intuisi karena saya akan bermain lebih baik jika lebih rileks. Itu membantu saya, terutama di set ketiga. Setelah itu, saya berusaha mengambil keputusan lebih baik dalam setiap pukulan,” tuturnya.
Swiatek mempraktikkan itu karena dia diajari untuk mengenal diri sendiri oleh Abramowicz. Dengan demikian, juara Wimbledon yunior 2018 itu bisa memahami kekurangan, kelebihan, serta setiap kondisi yang dibutuhkan dalam mengatasi masalah.
Cara lain Swiatek untuk memahami dirinya adalah dengan mencatat momen penting serta apa yang harus dilakukan pada setiap pertandingan. Dia mencatat dan membaca buku tulis yang selalu dibawanya itu menjelang tanding serta pada jeda di antara set atau gim.
Petenis yang dikalahkan Swiatek pada semifinal, Beatriz Haddad Maia, mengakui mentalitas Swiatek. ”Setiap petenis yang berhadapan dengan dia harus punya ketangguhan mental. Mereka harus berani dan bermain agresif. Jika tidak, Iga akan terus menekan. Kekuatan mental Iga berada di atas petenis lain,” tutur Haddad Maia.
Banyak gelar
Mantan petenis nomor satu dunia, Chris Evert, menilai, Swiatek bisa melebihi tujuh gelar miliknya dari Perancis Terbuka pada era 1970 hingga 1980-an. ”Saya katakan kepada Iga, usianya baru 22 tahun. Dia bisa delapan, sembilan, bahkan sepuluh kali juara di sini,” kata Evert setelah menyerahkan trofi Suzanne Lenglen pada Swiatek.
Pada Eurosport, Evert menjelaskan penilaiannya bahwa Swiatek bisa meraih banyak banyak gelar Perancis Terbuka. ”Mempertahankan gelar juara Perancis Terbuka merupakan hal yang sulit dilakukan. Iga juga memukul seperti petenis laki-laki. Dia punya motivasi yang sama dengan para senior yang selalu ingin lebih baik, seperti Monica Seles, Steffi Graf, saya, dan Martina Navratilova,” kata salah satu petenis terbaik di lapangan tanah liat itu.
Sekali lagi, tanpa meragukan kemampuan dirinya sendiri, Swiatek tak ingin berbicara tentang kemungkinan seperti yang dikatakan Evert. Dia hanya mengatakan tak ingin berpikir terlalu jauh.
Ketika Swiatek tak ingin terpatok pada angka, petenis putra, Novak Djokovic, selalu menjadikan rekor sebagai motivasinya. Final yang dijalani melawan Casper Ruud, pada Minggu malam waktu Indonesia, menjadi momen bagi Djokovic untuk meraih gelar Grand Slam ke-23. Angka itu bisa menjadikannya sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, unggul satu gelar dari rivalnya, Rafael Nadal, yang absen di Perancis Terbuka karena cedera pinggul.
Di sisi lain, Ruud mengincar hal yang jauh berbeda, yaitu meraih gelar pertama Grand Slam. Dia pernah tampil pada final lain, yaitu Perancis dan AS Terbuka 2022, tetapi kalah dari Nadal dan Carlos Alcaraz. (AFP/REUTERS)