Zlatan Ibrahimovic dan Keteguhan Mental Seorang Juara
Zlatan Ibrahimovic, penyerang AC Milan yang baru saja mundur dari lapangan hijau, menjadi salah satu contoh atlet dengan mental juara tangguh. Sikap enggan kalah dan mau terus belajar menjadi kunci kesuksesannya.
Oleh
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·6 menit baca
Penyerang klub AC Milan, Zlatan Ibrahimovic, resmi mengumumkan pensiun dari jagat sepak bola profesional pada usia 41 tahun. Memenangi 32 gelar sepanjang 24 tahun kariernya, atlet Swedia ini kerap dinilai arogan. Namun, dia menjawab, ”Saya tidak arogan, saya sangat percaya diri.”
Anda memang yang terbaik/Lebih baik dari yang lain/Lebih baik dari siapa pun/Siapa pun yang kami temui. Musik lagu ”Simply The Best” dari Tina Turner membahana di penjuru Stadion San Siro di Kota Milan, Italia, Minggu (4/6/2023) malam waktu setempat. Sambil berkaca-kaca, Zlatan Ibrahimovic berjalan mengelilingi lapangan hijau diiringi rekan-rekan satu tim untuk memberi salam kepada lebih dari 70.000 tifosi atau suporter klub yang memadati stadion.
Tentu saja, terminologi ”yang terbaik” dalam konteks ini akan menjadi relatif jika nama Ibrahimovic dibandingkan dengan sederet legenda AC Milan lain, seperti Marco Van Basten, George Weah, Ricardo Kaka, Paolo Maldini, atau Andriy Shevchenko. Namun, ada satu hal dari Ibrahimovic yang membuatnya unggul sehingga memiliki tempat di hati tifosi AC Milan.
Ibrahimovic adalah satu-satunya pemain yang pernah meninggalkan AC Milan dengan status juara, lalu kembali lagi dan berhasil mengantarkan klub kembali ke puncak takhta. Ibrahimovic kembali ke AC Milan pada 2019 lalu. Ini merupakan kali kedua Ibra mewarnai perjalanan ”Si Merah Hitam”, julukan AC Milan setelah periode pertama pada 2010-2012.
Setelah mempersembahkan gelar Serie A 2010-2011 bagi AC Milan, Ibra memperkuat Paris St Germain (Liga Perancis), Manchester United (Liga Inggris), dan LA Galaxy (Liga Amerika Serikat/MLS). Pada 2019, di tengah keterpurukan prestasi AC Milan, atlet kelahiran Malmoe, Swedia, yang kala itu sudah berusia 38 tahun, memutuskan kembali ke klub yang dia cintai itu. Dia membawa ”I Rossoneri” mengakhiri paceklik gelar selama 11 musim dengan gelar juara Liga Serie A Italia 2021-2022.
Mematahkan mitos
Prestasi itu membuat Ibrahimovic mematahkan mitos pemain bintang yang kembali ke AC Milan dari klub lain tidak akan berhasil di kesempatan keduanya. Setidaknya, dua pemain bintangnya pernah merasakan. Andriy Shevchenko, penyerang Ukraina peraih gelar Ballon d’Or 2003, salah satunya. Setelah bergabung dengan Chelsea tahun 2006, Shevchenko kembali lagi ke AC Milan di musim 2008-2009 sebagai pemain pinjaman.
Namun, dia gagal memberi prestasi terbaik bagi AC Milan dan hanya berhasil mencetak 2 gol dalam 26 penampilannya berseragam Milan. Di akhir musim, Milan pun mengembalikannya ke Chelsea.
Ada lagi nama besar seperti Ricardo Izecson dos Santos Leite atau Kaka yang gagal bersinar saat bergabung untuk kedua kalinya ke AC Milan. Setelah meraih trofi Liga Champions pada musim 2006-2007, peraih Ballon d’Or edisi 2007 itu bergabung dengan raksasa Spanyol, Real Madrid, pada 2009. Empat tahun berselang, dia kembali ke Milan pada awal musim 2013-2014. Namun, hanya setahun, playmaker Brasil itu hengkang ke klub Liga Amerika Serikat, Orlando City, tanpa trofi lagi bagi AC Milan.
Faktor mental
Lantas, apa yang membuat Ibrahimovic berbeda? Padahal, pada 2017 saat masih berseragam Manchester United, dia sempat cedera parah dan divonis tak bisa lagi bermain sepak bola. Namun, kala itu, dia meresponsnya dengan unggahan di akun Twitter, ”Impossible is nothing (Kemustahilan itu tak ada).”
Keteguhan mental seperti itu yang membuat Ibrahimovic membalikkan prediksi sebagian pengamat bahwa dirinya sudah ”habis” setelah bermain di MLS. Apalagi, usianya saat memutuskan kembali bersaing di salah satu liga terketat di Eropa kala itu sudah tergolong renta, 38 tahun. Legenda timnas Italia dan AC Milan Franco Baresi pernah mengatakan, mental Ibrahimovic sangat tangguh dan kuat. ”Usianya (Ibra) boleh saja menua. Tapi, kekuatan mentalnya seperti atlet usia 20 tahunan,” ungkapnya seperti dikutip Mediaset, medio 2021.
Pada Februari 2020, pelatih kawakan Fabio Capello, kepada koran Italia, La Gazetta dello Sport, juga pernah mengungkapkan, kembalinya Ibrahimovic menularkan mental juara kepada pemain-pemain muda AC Milan. Ia juga memuji pemain yang sepanjang kariernya telah mencetak 573 gol dan 32 trofi tersebut sebagai atlet profesional yang berkomitmen penuh pada pekerjaan.
Saya tidak arogan, saya sangat percaya diri. (Zlatan Ibrahimovic)
Mengenai mental juara ini, Ketua Umum PSSI Erick Thohir pernah menyinggungnya saat Indonesia secara dramatis menyingkirkan tim ulet, Vietnam, di semifinal cabang olahraga sepak bola SEA Games 2023 Kamboja, 13 Mei lalu. Dalam laga itu, Indonesia berhasil menang 3-2 kendati mesti bermain 10 orang sejak menit ke-60. Meski menghadapi serangan bertubi-tubi, Indonesia justru mampu mencetak gol kemenangan pada masa perpanjangan waktu.
”Kita punya mental, punya nyali, ada hari ini. Itu yang membuat kita menang. Dengan 10 pemain, kita kena kebobolan... lawan terus... lawan terus. Tinggal dua menit kita menggolkan,” ucap Erick seusai laga kepada pemain.
Pelatih skuad ”Garuda Muda”, Indra Sjafri, menjelaskan, keberhasilan skuadnya meraih medali emas SEA Games 2023 tak terlepas dari keberhasilan tim pelatih mengelola psikologi dan mental pemain. Di ajang ini, dia sempat meminta disediakan tim psikolog.
Pelatih kepala timnas sepak bola Indonesia, Shin Tae-yong, mengakui perbaikan mental sudah menjadi fokus perbaikan di masa kepelatihannya. Ia menginginkan pemain mau mengorbankan dirinya demi meraih kemenangan dalam sebuah pertandingan (Kompas.id, 17/1/2020).
Benak juara
Jim Afremow, pelatih mental dan ahli psikologi olahraga Amerika Serikat, dalam bukunya, The Champions Mind (2015), menulis, secara definitif, mental juara merupakan sekumpulan atribut psikologis yang memungkinkan seorang atlet bertahan melalui kondisi yang tidak nyaman, bahkan sangat sulit sekalipun demi meraih kesuksesan berprestasi.
Mental juara semacam ini sangat penting dalam konteks olahraga kompetitif karena dalam situasi pertandingan yang penuh tekanan, banyak stimulus yang masuk ke dalam pikiran atlet, seperti tuntutan publik untuk menang, tekanan penonton, emosi atlet, hingga pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.
Padahal, menurut Jim, otak memiliki keterbatasan merespons stimulus yang masuk secara bersamaan sehingga kinerja memori di dalam otak tidak dapat maksimal. Akibatnya, atlet yang tak memiliki mental kuat kerap melakukan kesalahan (unforced error) dan tak mampu mencapai performa terbaiknya.
Sementara Angela Duckworth, profesor psikologi Universitas Pennsylvania AS, dalam bukunya Grit: The Power of Passion and Perseverance (2016), mengungkapkan, tiga atribut psikologis seorang bermental juara yakni komitmen, keuletan, dan ambisi prestatif. Dalam diri seorang juara tidak dikenal istilah putus asa. Itu semua karena buah kecintaan dan komitmen terhadap pekerjaan serta persistensinya dalam mewujudkan tujuan.
Persistensi itu pula yang ditunjukkan legenda pegolf dunia, Tiger Woods, yang mengalami pasang surut kehidupan sepanjang karier panjangnya. Sebab, godaan kesuksesan acapkali bisa meruntuhkan semangat seorang atlet keluar dari ketidaknyamanan rutinitas latihan. Namun, semua juara selalu mau belajar dan terus belajar.
Seperti dikatakan Ibrahimovic dalam buku autobiografinya, I Am Zlatan Ibrahimovic (2011), ”Saya melakukan banyak hal bodoh. Saya membuat banyak kesalahan, tetapi saya belajar dari segalanya. Saya masih membuat kesalahan, dan saya akan terus belajar. Tidak ada yang sempurna.”
Dari Zlatan Ibrahimovic dan sederet olahragawan dunia, semua orang, tak sebatas atlet, bisa belajar bagaimana menjadi seorang pemenang. Mereka adalah sosok-sosok yang punya tujuan dalam dunia yang digeluti dan mau mewujudkannya dalam mantra latihan, latihan, dan latihan. Tentu saja, lingkungan dan bimbingan orang-orang positif di sekitarnya akan kian efektif membentuk mental juara.