SEA Games yang Kian Melenceng dari Semangat Awalnya
Pertarungan adu gengsi antarnegara menjauhkan SEA Games dari semangat awalnya. Tuan rumah cenderung mengesampingkan sportivitas demi meraih target juara umum yang bersifat fana.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA dan DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO dari PHNOM PENH, KAMBOJA
·5 menit baca
Gemuruh perhelatan pesta olahraga Asia Tenggara 2023 telah ditutup pada 17 Mei. Kamboja sebagai tuan rumah mengukir rekor pencapaian terbaiknya semenjak 1959, tahun pertama dimulainya SEA Games yang saat itu masih bernama South East Asian Peninsular (SEAP) Games. Hingga penutupan, Kamboja total mengumpulkan 81 medali emas, 74 perak, dan 126 perunggu.
Capaian itu sangat fenomenal bagi Kamboja yang jumlah raihan emasnya pada empat edisi SEA Games sebelumnya tidak sampai menembus dua digit. Pada SEA Games Singapura 2015, Kamboja hanya mendapatkan satu emas, tiga emas pada SEA Games 2017, empat emas pada SEA Games 2019, dan sembilan emas pada SEA Games 2021. Maka, raihan emas Kamboja kali ini meningkat 800 persen dari edisi SEA Games 2021.
Mayoritas emas Kamboja disumbangkan cabang-cabang tradisional sekaligus unggulan mereka, tetapi tidak dilombakan di Asian Games ataupun Olimpiade. Cabang olahraga yang dimaksud antara lain kriket, kun bokator, dan kun khmer. Berdasarkan piagam Federasi SEA Games, sebagai tuan rumah, Kamboja memang punya privilese untuk memasukkan cabang-cabang yang menguntungkan mereka asalkan tidak menghapus dua cabang utama yang wajib dilombakan, yaitu renang dan atletik.
Celah tersebut yang dimaksimalkan Kamboja untuk panen perolehan medali emas. Di cabang kun khmer, Kamboja keluar sebagai juara umum dengan 14 medali emas, jauh di atas Vietnam yang mengumpulkan lima emas. Dominasi Kamboja juga terasa di cabang kun bokator dengan delapan emas. Adapun di cabang kriket, Kamboja keluar sebagai juara umum bersama Thailand dengan mengumpulkan masing-masing tiga emas.
Di samping dominasi pada sejumlah cabang olahraga itu, Kamboja juga membuat kejutan dengan mengalahkan raksasa basket Asia Tenggara, Filipina, pada fase grup. Kendati Filipina sukses membalas kekalahan itu pada laga final. Kekalahan Filipina terbilang mengejutkan karena basket relatif bukan cabang olahraga yang menjadi kekuatan Kamboja. Kejutan itu bisa terjadi karena Kamboja menaturalisasi delapan pemain untuk memperkuat tim basket nasionalnya.
Sepanjang perhelatan SEA Games kali ini, Kamboja banyak diterpa isu ketidaksiapan infrastruktur pertandingan dan juga cara instan meraih prestasi. Selain naturalisasi delapan pemain asing di basket, muncul kecurigaan pebulu tangkis Kamboja, Choung Meng, adalah atlet China yang bernama Zhou Meng.
Cara-cara instan Kamboja juga tampak dari upaya mereka tidak mengikutsertakan Indonesia, Malaysia, dan Thailand dalam pertandingan bulu tangkis nomor beregu campuran. Kamboja beralasan kebijakan itu adalah untuk memperkenalkan bulu tangkis. Hasilnya, Kamboja mencuri satu emas dari nomor beregu campuran.
Mengingkari semangat
Cara-cara yang ditempuh Kamboja itu juga dilakukan negara lain karena setiap tuan rumah SEA Games selalu ingin menampilkan dirinya sebagai juara umum. Namun, perbedaannya, upaya Kamboja kali ini terkesan brutal dan jauh dari semangat sportivitas. Dengan ini, Kamboja juga turut berkontribusi menjauhkan SEA Games dari semangat awalnya.
Sudah saatnya lingkaran setan merawat gengsi antarnegara disingkirkan dari SEA Games.
Saat pertama kali dibentuk, SEAP Games awalnya diadakan sebagai sarana pijakan bagi atlet-atlet Asia Tenggara sebelum berlaga di ajang multicabang yang lebih besar semacam Asian Games dan Olimpiade. Hal itu bermula dari kegelisahan Laung Sukhumnaipradit, yang saat itu menjabat Wakil Presiden Komite Olimpiade Thailand periode tahun 1950-an, terhadap kegagalan Thailand dalam ajang Asian Games New Delhi 1951 dan Olimpiade Helsinki 1952.
Berangkat dari kegelisahan itu, Laung kemudian merancang satu ajang yang memungkinkan negara-negara di Asia Tenggara mendapatkan panggung sebelum tampil di Asian Games. Dengan demikian, atlet-atlet Asia Tenggara mempunyai wadah untuk menguji kemampuan mereka sebelum terjun pada ajang multievent yang lebih besar.
Gagasan untuk membuat sebuah ajang yang mirip dengan Asian Games atau Olimpiade, tetapi dengan skala yang lebih kecil pun muncul. Dari sana muncul SEAP Games yang menjadi cikal bakal SEA Games. Edisi SEAP Games pertama dihelat pada 1959 di Bangkok, Thailand.
Namun, SEA Games kini berubah menjadi ajang adu gengsi antarnegara Asia Tenggara. Cara-cara instan pun dilakukan untuk mendongrak perolehan medali emas, termasuk menggunakan jasa pemain naturalisasi dan bukan mengedepankan pembinaan atlet yang notabene memang membutuhkan waktu dan proses lama. Negara tuan rumah juga aktif mengutak-atik susunan cabang olahraga dan nomor yang dilombakan agar menguntungkan mereka.
Situasi itu terlihat mencolok pada SEA Games Kamboja di mana menembak dan panahan yang merupakan olahraga unggulan Indonesia tidak turut dilombakan. Padahal, kedua cabang olahraga itu rutin dilombakan di Asian Games dan Olimpiade. Menembak dan panahan tergantikan olahraga ”asing”, seperti kun bokator dan catur tradisional Kamboja. Dengan begini, atlet panahan dan menembak Asia Tenggara sudah kehilangan satu kesempatan untuk mengukur kemampuannya jelang Asia Games akhir tahun ini dan juga Olimpiade Paris tahun depan.
Sudah saatnya lingkaran setan merawat gengsi antarnegara disingkirkan dari SEA Games. Proses katarsis SEA Games agar sesuai dengan semangat awalnya perlu terus digalakkan, kecuali jika tuan rumah memang ingin merasakan euforia juara umum yang bersifat fana dan sesaat.
Satu hal positif sudah dilakukan Kamboja dengan secara penuh mensyaratkan hanya pemain berusia di bawah 22 tahun yang bisa tampil di cabang sepak bola. Selain itu, sudah muncul kesadaran dari beberapa pengurus cabang olahraga Indonesia yang mengirimkan relatif banyak atlet-atlet belia untuk menimba pengalaman pada SEA Games, seperti bulu tangkis dan renang. Kedua cabang itu mengirim kombinasi atlet muda dan senior dengan porsi atlet muda yang lebih banyak. Dari sana akan terjadi estafet regenerasi atlet.
Sesuai semangat awal, SEA Games yang berlangsung dua tahun sekali memang awalnya hanya didesain sebagai ajang atlet untuk menempa diri. Tujuan utama mereka tetaplah ajang multicabang bergengsi empat tahunan sekelas Asian Games dan Olimpiade.