Tak sulit melancong di Kamboja. Selain biaya wisaya yang cukup murah, turis pun bisa menggunakan dua mata uang di negara ini, termasuk dollar AS. Pengunaan dua mata uang berbeda itu terkait sejarah Khmer Merah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO dari Phnom Penh, Kamboja
·4 menit baca
Dalam kehidupan sehari-hari, warga Kamboja menggunakan dua mata uang, yaitu riel dan dollar AS. Alasan kedua mata uang berbeda itu dipakai, bahkan hingga di warung-warung kopi, terkait dengan masa sejarah paling kelam di Kamboja.
Cheann Kong (40), supir tuktuk di Phnom Penh, menawarkan jasa transportasi keliling ke turis asing yang melintas di tempat ia biasa mangkal. ”20 dollar (AS), Sir. Keliling Kamboja dari pagi sampai sore,” katanya dengan bahasa Inggris terbata-bata, Kamis (11/5/2023) pagi.
Kong bahkan menyebut mata uang dollar terlebih dahulu sebelum menawarkan harga dengan mata uang lokal, riel. Nilai 20 dollar AS setara 82.300 riel. Turis yang datang ke negara ”seribu candi” ini memang harus sering-sering mengeluarkan kalkulator untuk menghitung.
Terkadang, penjual barang dan jasa di sana mematok harga semaunya sendiri. Dengan menghitung sendiri, maka akan ada kesepakatan pembeli dan penjual.
Tak hanya supir tuktuk (alat transportasi tradisional Kamboja), penjual baju, kue pinggir jalan, hingga staf hotel, akan menawarkan dollar AS terlebih dahulu sebelum ditanya nilainya dalam riel. Mereka lebih senang mendapatkan dollar dibandingkan mata uangnya sendiri karena bisa ditukar dengan nilai yang lebih tinggi. Apalagi, di negara ini, tidak sulit mencari tempat penukaran uang.
Dengan dua mata uang, turis asing pun bisa lebih mudah berbelanja di Kamboja. Negara itu kini menjadi daya tarik baru wisata di Asia Tenggara, apalagi mereka menjadi tuan rumah SEA Games 2023.
Penggunaan dua mata uang di sana bukanlah tanpa alasan. Jawaban paling menarik bisa ditemukan di salah satu destinasi wisata edukasi di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, yakni Sosoro Museum Kamboja atau Museum Uang di Kamboja.
Museum modern ini dulunya adalah sebuah hotel yang dibangun pemerintah kolonial Perancis. Dari museum itu diketahui bahwa sejarah alat tukar Kamboja sudah dimulai sejak 2.000 tahun lalu. Arkeolog menemukan koin emas berlabel kerajaan dari abad ke-7 di Angkor Borei, candi tua di Provinsi Takeo, Kamboja selatan.
Maka, di rezim Khmer Merah, Pol Pot juga mencetak sendiri mata uang riel. Akibatnya, ekonomi lumpuh total, kekacauan terjadi di mana-mana. Penduduk Kamboja lari ke beberapa negara, bahkan Indonesia, untuk mencari suaka.
Lalu, pada 1875, Bank Indochina milik Perancis membuat mata uang piaster atau french piaster yang digunakan sebagai alat tukar di Kamboja. Piaster ini digunakan selama lebih kurang 78 tahun. Pada tahun 1953, Kerajaan Khmer keluar dari wilayah kolonial dan membangun negaranya sendiri atau merdeka.
Rezim Pol Pot
Pada tahun 1954, Pemerintah Kamboja lantas membuat mata uang sendiri yang kemudian disebut riel. Mata uang itu terus digunakan saat itu hingga pecahnya perang saudara di Kamboja. Rezim Pol Pot, yang dikenal karena kekejamannya, lalu menguasai Kamboja.
Ia membunuh sekitar 2 juta orang agar Khmer Merah bisa menguasai tempat itu. Pertalian antara kekejaman itu dan uang bahkan digambarkan di Sosoro. Pada sebuah dinding di museum itu, pemerhati sejarah Kamboja, Errol Da Silva, menulis ”When they burn money to cook food”. Artinya, saat itu, Pol Pot ingin menunjukkan bahwa uang bukanlah segalanya di Kamboja.
Maka, di rezim Khmer Merah, Pol Pot juga mencetak sendiri mata uang riel. Akibatnya, ekonomi lumpuh total, kekacauan terjadi di mana-mana. Penduduk Kamboja lari ke beberapa negara, bahkan Indonesia, untuk mencari suaka.
Rezim itu kemudian berakhir dengan bantuan banyak pihak, mulai dari Vietnam yang berburu Pol Pot hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Untuk membenahi ekonomi Kamboja yang semrawut, pada tahun 1992 atau enam tahun sebelum Pol Pot meninggal, PBB lalu membentuk operasi perdamaian dan perekonomian. Mereka mengucurkan dana bantuan sekitar 2 miliar dollar AS.
Shonmea Seng, pustakawan Sosoro Museum, menjelaskan, sejak operasi militer itulah dollar AS digunakan. Mata uang itu pun terus dipakai hingga saat ini. ”Dollar AS bahkan menyumbang lebih dari 60 persen jumlah uang kertas yang beredar dan 85 persen dari deposito bank,” ungkapnya.
Maka dari itu, tak heran jika banyak masyarakat Kamboja lebih senang bertransaksi menggunakan dollar AS daripada mata uangnya sendiri. Di sebuah kafe di Wat Phnom, Mearhy (20), seorang warga, memiliki 5 dollar AS di tasnya dan 1 dollar AS di dompetnya.
Uang itu ia kumpulkan untuk bisa ditukarkan saat harga dollar sedang naik. ”Di Kamboja, kalau membayar pakai dollar yang sudah robek, orang tidak mau. Tapi, kalau riel, rusak sedikit pun tidak apa-apa,” kata Mearhy.
Bagi turis asing, tidak sulit untuk hidup di Kamboja. Mereka bahkan tak perlu pusing soal mata uang. Dollar AS dan riel bisa digunakan, bahkan hanya untuk membeli es serut di pinggir jalan.