Special Olympics, Separuh Perjuangan Mengatasi Keterbatasan Ganda
Para atlet bertalenta khusus telah berhasil mengatasi keterbatasan diri dan minimnya sarana-prasarana latihan di daerah. Kini, mereka masih berjuang berlatih sepenuh hati di pelatnas guna meraih emas di SOWG Berlin.
Senyum bahagia dan sorot mata optimistis terpancar dari 25 atlet penyandang disabilitas intelektual atau lebih layak disebut atlet bertalenta khusus saat berkumpul di aula Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Semarang, Jawa Tengah, Senin (8/5/2023). Datang dari 17 provinsi di Tanah Air, mereka telah menempuh separuh perjuangan mengatasi berbagai keterbatasan, mulai dari disabilitas intelektual hingga perlengkapan latihan olahraga.
Kini, mereka bersiap mengasah kemampuan dan menjalin kekompakan dalam pemusatan pelatihan nasional (pelatnas) Special Olympics World Games Berlin 2023 selama sebulan untuk berlaga mengharumkan Indonesia di Jerman pada Juni mendatang.
Baca juga: Meriahnya Pekan Special Olympics Nasional di Purwokerto
Agustina Tefamnasi (19), atlet lari jarak pendek dari Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, misalnya, harus rela berlatih dengan sepatu buluk yang sudah robek alasnya selama tiga tahun terakhir. Orangtuanya, yang sehari-hari bekerja sebagai petani, tidak mampu membelikan sepatu baru.
”Saya anak keenam dari tujuh bersaudara. Orangtua tidak punya uang (untuk beli sepatu baru),” kata Agustina didampingi Agris Nabunome, pelatih atletik, Senin.
Agustina, yang minim bicara dan perlu dibantu pelan-pelan dalam berkomunikasi, menyampaikan, untuk berlatih lari bersama pelatih, kadang dirinya harus bertelanjang kaki. Padahal, setiap hari ada dua kali sesi latihan pada pagi dan sore hari dengan rute perbukitan, gunung, berlumpur, selama tiga jam setiap sesi. ”Ada sepatu putih pembelian orangtuanya, tetapi bagian alasnya sudah terobek,” kata Agris menjelaskan kondisi latihan Agustina.
Lihat juga: Pelajar Berkebutuhan Khusus juga Punya Potensi
Beruntung, ketika ada kunjungan dari pemerintah daerah dan pusat, sejumlah pejabat mengulurkan bantuan untuk membelikan sepatu khusus berlari yang harganya Rp 1,6 juta. Selain itu, sarana dan prasarana latihan seperti lapangan dan papan tolakan sempat tidak dimiliki.
Alfian (20), atlet renang dari Provinsi Bangka Belitung yang didampingi pelatihnya, Aep Saepudin, menyampaikan, dirinya adalah anak kedua dari empat bersaudara dan hidup dengan sederhana. Sang ayah sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu sekolah dasar, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga.
Kalau orang pintar, mudah cari kerja. Namun, orang yang cerdas kalbunya, belum tentu. Ini tantangan kita, Special Olympics, bagaimana mengembangkan dan membuat mereka diakui masyarakat.
Alfian yang juga kurang jelas dalam berkomunikasi menyampaikan, dirinya mengaku senang bisa terpilih dan mewakili Indonesia dalam ajang di Jerman pada Juni mendatang. Latihan sudah dilakukan sejak enam bulan terakhir. ”Alhamdulillah senang. Semangat. Saya renang sejak kelas 2 SD. Saya suka renang di kali (sungai),” kata Alfian, salah satu lulusan SMA Luar Biasa di Bangka Belitung, yang bercita-cita menjadi polisi.
Sementara Nabila (20), atlet renang dari Payakumbuh Sumatera Barat, mengatakan, dirinya adalah anak pertama dari lima bersaudara. Orangtuanya sehari-hari adalah petani. Dirinya sudah suka renang sejak 2018 lalu dan rajin berlatih renang dengan diantar oleh gurunya di SMA Luar Biasa. ”Saya ingin jadi atlet profesional,” tutur Nabila.
Korban perundungan
Baik Agustina, Alfian, maupun Nabila sama-sama pernah mengalami perundungan berupa ejekan karena kondisi mentalnya. Meski demikian, mereka lebih memilih diam atau tidak membalas ejekan teman-temannya dan fokus pada latihan yang terus dijalani demi prestasi. ”Iya, pernah (diejek). Saya biarkan saja,” ujar Nabila.
Bersama teman-teman yang kini menjalani pelatnas di Semarang selama sebulan, mereka bersiap memantapkan diri menempuh separuh perjalanan untuk berlaga di Jerman dan mengharumkan nama Indonesia. Lewat tujuh cabang olahraga, yaitu tenis meja, bulu tangkis, renang, atletik, senam ritmik, senam artistik, dan bowling, delegasi Indonesia ini menargetkan 9 medali emas.
Para pelatih, seperti Agris dan Aep, sama-sama menyebutkan bahwa dibutuhkan kesabaran dan pendekatan khusus untuk melatih para atlet berkebutuhan khusus ini. Misalnya, jika ada hal yang mereka inginkan sebelum berlatih, hal itu harus dipenuhi dulu supaya mood-nya terjaga.
”Kita harus banyak memahami supaya dia tetap nyaman. Kita banyak mengalah, mengikuti tentu dengan mengarahkan supaya mood-nya terjaga. Pelatih harus sabar dan memahami karakter atlet,” kata Aep.
Menurut Aep, ada suka dandukanya menjadi pelatih untuk atlet disabilitas intelektual. ”Kalau sukanya lebih banyak karena kami banyak belajar tentang arti menghargai sekecil apa pun potensi yang dimiliki saudara-saudara kita. Kita ketahui mereka punya keterbatasan IQ dan ini jadi tantangan bagi kami pelatih,” kata Aep.
Ketua Umum Special Olympic Indonesia (SOIna) Warsito Ellwein menyampaikan, setiap anak bertalenta khusus memiliki keunikannya masing-masing. Oleh karena itu, sang pendamping harus paham betul karakter sang anak. ”Ada anak yang ingin bakso. Kalau tidak dibelikan bakso, dia tidak akan bergerak. Anak-anak ini punya kemauan yang keras,” kata Warsito.
Ia mengatakan, anak-anak bertalenta khusus ini tidak multitalenta. Namun, jika punya satu kemampuan dan diasah atau dilatih, penguasaannya akan sangat dalam. ”Misalnya ada yang bisa menghafal banyak nomor telepon atau juga ada yang menghafal banyak lagu. Hal lain, anak seperti ini kecerdasan IQ-nya kurang, tetapi kecerdasan kalbunya kuat. Anak ini tidak pernah menipu, tidak punya hidden agenda, apa adanya,” ujarnya.
Menurut Warsito, selama ini, kekuatan anak-anak itu justru belum banyak diakui dan difasilitasi. ”Kalau orang pintar, mudah cari kerja. Namun, orang yang cerdas kalbunya, belum tentu. Ini tantangan kita, Special Olympics, bagaimana mengembangkan dan membuat mereka diakui masyarakat,” katanya.
Warsito memberi contoh, jika bermain sepak bola, anak bertalenta khusus justru tidak tega menjebol gawang musuh. Dia akan mundur ke belakang lagi. Oleh karena itu, kemudian diciptakanlah permainan sepakbola lima gawang di mana anak-anak bebas memasukkan bola ke gawang yang diinginkan.
Demikian pula untuk balap lari. Jika ada lawannya yang terjatuh, malah teman yang sudah di depan akan berhenti dan mundur untuk menggandeng teman yang jatuh untuk sama-sama menyelesaikan finis. ”Itu luar biasa. Kita harus belajar dari mereka. Belajar sabar, guyub rukun,” ujarnya.
Khusus terkait pengasuhan dan pertemanan di keluarga dan masyarakat, kata Warsito, anak-anak bertalenta khusus ini janganlah dianggap sebagai anak cacat. ”Karena mereka dilahirkan oleh Allah demikian. Mungkin Allah punya rencana besar tersendiri. Selama ini, mereka dikategorikan idiot, gila, cacat. Jangan dianggap demikian. Mereka adalah anak biasa. Jangan dikasihani, tetapi difasilitasi. Jangan didiskriminasi, tetapi beri ruang. Kita mesti mengembangkan profesi baru yang membuat mereka punya kompetensi yang berkualitas,” ujarnya.
Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo menyampaikan, Kemenpora mendukung dari persiapan, pelatnas, keberangkatan, sampai pendampingan di Jerman. Total dana yang dikucurkan untuk mendukung kegiatan itu hingga ke Jerman mencapai Rp 3 miliar. Dito juga akan berupaya untuk bisa lebih banyak merangkul atlet bertalenta khusus ini.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang hadir dalam pembukaan pelatnas di YPAC, menyampaikan, berdasarkan data, di Indonesia terdapat potensi sekitar 5,4 juta jiwa insan bertalenta khusus penyandang disabilitas intelektual. Untuk itu, diperlukan kehadiran pemerintah lewat kebijakan-kebijakan yang bisa mengakomodasi atau memfasilitasi mereka.
”Kalau kemudian negara dan pemerintah ada keterbatasan, maka buat mereka kita carikan jalan agar bisa mencapai prestasi paling puncak,” kata Ganjar.
Ganjar juga menegaskan, anak-anak yang bertalenta khusus ini tidak mungkin diperlakukan sama. ”Kalau kita membuat kebijakan, anak-anak kita itu harus mendapatkan perlakuan khusus supaya mendapatkan kesetaraan. Tidak mungkin yang seperti ini diperlakukan sama. Tidak mungkin,” ujarnya.
Energi dan mimpi 25 anak bertalenta khusus dari berbagai wilayah di Indonesia itu tengah digodok dan dimatangkan di Semarang. Separuh perjuangan telah mereka tempuh. Ejekan, keterbatasan diri, dan minimnya sarana-prasarana bahkan telah mereka atasi. Kini, separuh perjuangan lagi mereka bersiap mengharumkan nama Indonesia di Jerman.