Untuk pertama kalinya, Aryna Sabalenka mengalahkan Iga Swiatek di lapangan tanah liat. Rivalitas mereka bisa berlangsung panjang berkat sikap saling respek dan termotivasi prestasi yang lain.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Meski menjalani musim kompetisi 2023 dengan luar biasa sejak Januari, Aryna Sabalenka punya masalah yang dibawanya sejak setahun lalu, yaitu sulit menyaingi Iga Swiatek. Alih-alih menyerah, Sabalenka menjadikan Swiatek sebagai motivasi untuk terus bekerja keras.
Setelah tersingkir pada babak kedua WTA Miami 2022, Sabalenka menjalani program latihan demi bisa mengalahkan Swiatek. Fokusnya adalah membangun kecepatan dan daya tahan fisik.
Kombinasi lari dan lari cepat dilakukan dengan repitisi yang membuatnya sangat lelah. Namun, Sabalenka menahan semua kelelahan itu dengan sebuah pemikiran di dalam benaknya, ”Jika ingin mengalahkan Iga, saya harus mendorong diri sendiri untuk terus berlari”.
Meski punya servis dan groundstroke keras, hingga cara mainnya dinilai serupa dengan Serena Williams, Sabalenka mendapati bahwa dirinya kalah secara fisik dari Swiatek.
Pergerakannya kalah lincah hingga kalah cepat dibandingkan Swiatek dalam menutup lapangan. Pada tiga pertemuan pertama 2022, yaitu di Doha, Stuttgart, dan Roma, Sabalenka pun selalu kalah dari Swiatek, masing-masing, dalam dua set.
Hasil latihan latihan fisik itu mulai terlihat ketika mereka bersaing pada semifinal Grand Slam Amerika Serikat Terbuka 2022. Sabalenka kalah, tetapi bisa memaksa Swiatek bermain tiga set.
Pada tiga pertemuan setelah itu, barulah Sabalenka lebih percaya diri. Dia menang dua kali, termasuk pada final WTA 1000 Madrid di Caja Magica, Madrid, Spanyol, pada pertandingan yang berlangsung Sabtu (6/5/2023) tengah malam hingga Minggu dini hari waktu Indonesia. Sabalenka menang dengan skor 6-3, 3-6, 6-3.
Ini menjadi gelar kedua, dari total 13 gelar, Sabalenka di lapangan tanah liat. Seolah menjadi turnamen tanah liat keberuntungannya, gelar pertama di luar lapangan keras, juga, didapatnya dari WTA Madrid, yaitu pada 2021.
Jika ingin mengalahkan Iga, saya harus mendorong diri sendiri untuk terus berlari.
”Saya sangat senang dengan kemenangan ini, apalagi dengan mengalahkan Iga di lapangan tanah liat. Selalu sangat sulit mengalahkannya di lapangan ini,” kata Sabalenka yang kalah pada final WTA 500 Stuttgart, juga, di tanah liat, dari Swiatek pada tiga pekan sebelumnya.
Ketangguhan Swiatek di lapangan tanah liat diperlihatkan melalui enam gelar juara, dari 13 gelar, yang didapat dari lapangan berkarakter lambat tersebut. Gelar pertamanya dari turnamen profesional, bahkan, didapat dari puncak persaingan di tanah liat, yaitu Grand Slam Perancis Terbuka 2020.
Swiatek mendapat gelar kedua dari ajang yang sama pada 2022 yang menjadi bagian dari dominasinya pada musim tersebut. Petenis Polandia berusia 21 tahun itu meraih delapan gelar juara, dua di antaranya dari Grand Slam dan empat dari turnamen WTA 1000.
Performa dan sikap Swiatek yang membawanya ke puncak ranking dunia itulah yang memotivasi Sabalenka. ”Saya sangat menghormatinya. Melawan Iga selalu sulit secara fisik dan mental. Saat berhadapan dengannya, level permainan saya harus selalu di atas, tak boleh turun meski hanya dalam beberapa gim,” ujar Sabalenka dalam laman resmi WTA.
Selain menjadi juara di Madrid, kerja keras petenis ranking kedua dunia itu untuk menaikkan level fisiknya berbuah gelar juara WTA 500 Adelaide dan Grand Slam Australia Terbuka pada awal tahun ini. Dia juga mencapai final di Stuttgart dan WTA 1000 Indian Wells.
”Apa yang kami lakukan tahun ini sangat luar biasa. Kami sangat termotivasi hingga bisa berpikiran terbuka pada hal-hal baru untuk meningkatkan level permainan saya,” kata petenis berusia 25 tahun itu.
Selain meningkatkan kondisi fisik, Sabalenka berusaha menjadi sosok yang lebih dewasa di lapangan. Jika sebelumnya dia mudah emosi ketika membuat kesalahan, saat ini dia belajar agar tak mudah terpengaruh saat bermain di bawah ekspektasi.
Perubahan dari diri petenis Belarus inilah yang membuat persaingannya dengan Swiatek kian menarik. Sabalenka dan Swiatek melahirkan rivalitas yang lama tak muncul di tunggal putri.
Persaingan menarik di antara dua petenis top tunggal putri terakhir kali terjadi pada masa aktif Serena Williams dan Maria Sharapova. Setelah itu, arena tunggal putri kehilangan daya tarik meski beberapa petenis, seperti Garbine Muguruza, Naomi Osaka, dan Ashleigh Barty, pernah diberi label calon bintang baru.
Ini berbeda dengan tunggal putra yang memiliki rivalitas menarik dan panjang di antara Roger Federer, Rafael Nadal, dan Novak Djokovic. Sebelum Federer pensiun pada September 2022, ketiga petenis berjulukan ”Big Three” telah bersaing di level elite sekitar 13 tahun.
Persaingan mereka berjalan panjang, antara lain, berkat sikap saling respek. Masing-masing sosok, juga, termotivasi oleh pencapaian yang lain.
Faktor inilah yang mulai muncul di antara Swiatek dan Sabalenka. Swiatek memuji Sabalenka sebagai petenis yang sangat profesional untuk mewujudkan cita-cita menjadi yang terbaik. ”Dia selalu mendorong saya hingga batas kemampuan. Saya sangat menikmati persaingan kami dan semoga kami bisa bertemu pada banyak final yang lain,” kata Swiatek.
Potensi final antara Swiatek dan Sabalenka berpeluang terjadi kembali pada dua turnamen tanah liat dalam waktu dekat, yaitu pada WTA 1000 Roma dan Perancis Terbuka. Sabalenka ingin membuktikan bahwa kemenangan di final WTA Madrid bukan karenan faktor kebetulan. (AP/Reuters)