Tuktuk, Ojol Roda Tiga, Pembelah Kemacetan Phnom Penh
Kemacetan di Kamboja tiada ubahnya dengan Jakarta. Kondisi itu menyebabkan tuktuk roda tiga, kendaraan asal India, sangat populer di Kamboja. Moda itu bahkah bisa dipesan daring.
Oleh
I Gusti AB Angga Putra dari Phnom Penh, Kamboja
·3 menit baca
Di Phnom Penh, Kamboja, transportasi daring terlaris dan paling banyak digunakan adalah tuktuk. Kendaraan seperti bajai roda tiga di Indonesia ini menjadi andalan bagi pendatang dari luar negeri untuk bepergian.
Selayaknya ibu kota negara, Phnom Penh juga tidak lepas dari persoalan kemacetan. Kepadatan jalanan di Phnom Penh menyerupai Jakarta saat jam pergi dan pulang kerja. Berkat perawakannya yang mungil, tuktuk bisa bergerak lincah. Tak heran, tuktuk berseliweran membelah jalanan di antara hutan beton di Phnom Penh.
Kendaraan ini sangat populer dan bisa ditemui di hampir setiap ruas jalan di Kamboja. Padahal, moda roda tiga itu bukanlah kendaraan asli Kamboja, melainkan India. Adapun tuktuk asli Kamboja tiada ubahnya sepeda motor yang dimodifikasi. Bentuknya lebih besar. Tempat duduk untuk penumpang berbentuk seperti pedati yang ditarik oleh satu sepeda motor di bagian depan.
Tuktuk asal India, yang berbahan bakar gas, bisa menggeser dominasi moda asli Kamboja karena terhubung dengan aplikasi daring. Hal itu membuat mereka bisa bersaing secara harga dengan tuktuk Kamboja. Pada umumnya, pengemudi tuktuk tradisional Kamboja enggan bermitra dengan aplikasi daring. Maka dari itu, untuk mencoba menaikinya, penumpang harus mencari sopir tuktuk tradisional di pasar-pasar atau pusat-pusat keramaian.
Selain gesit dan bisa diandalkan untuk membelah kemacetan dibandingkan menggunakan mobil, faktor lain yang membuat tuktuk populer adalah harganya yang terjangkau dan juga nyaman. Apabila menggunakan ojek sepeda motor, penumpang rentan kepanasan oleh suhu di Kamboja yang bisa mencapai 36-40 derajat celsius pada siang hari. Adapun tuktuk memiliki atap sehingga penumpang bisa terhindar dari sengatan terik panas maupun hujan.
”Saya rasa, kebanyakan masyarakat Kamboja mengandalkan tuktuk, termasuk saya. Kebanyakan pengendaranya ada di Phnom Penh. Tetapi, ketika Anda pergi ke wilayah lainnya, juga ada tuktuk. Itu menjadi kendaraan andalan utama para turis. Harganya sudah pasti lebih murah dari taksi,” ujar salah seorang warga, Srey Oun (38), yang ditemui di sekitar kawasan wisata Wat Phnom, Phnom Penh.
Untuk setiap kilometer yang ditempuh, penumpang tuktuk dikenai biaya sekitar 5.300 riel atau Rp 18.000. Kapasitasnya sama dengan bajai di Jakarta, yaitu maksimal tiga orang. Untuk tuktuk tradisional Kamboja, kapasitas bisa empat hingga lima orang.
Kemacetan di sini sangat mengerikan. Kami tidak punya banyak pilihan transportasi umum. Makanya, di sini macet setiap hari.
Namun, seiring berjalannya waktu, tuktuk tradisional Kamboja kini mulai ditinggalkan. Jumlahnya sudah tidak sebanyak tuktuk India. Umumnya, pengemudi tuktuk tradisional adalah laki-laki paruh baya yang tidak terlalu fasih mengoperasikan aplikasi daring. Maka dari itu, tuktuk tradisional biasanya lebih sering menunggu penumpang di pinggir jalan dan juga di sekitar kawasan wisata.
Menggeluti kemacetan
Setiap harinya, para kaum pekerja di pusat Kota Phnom Penh bergelut dengan kemacetan jalanan. Hal itu diperparah dengan minimnya transportasi umum yang memadai. Tidak ada layanan kereta rangkaian listrik (KRL) sebagaimana Jakarta. Terdapat rel kereta di Phnom Penh dengan kondisi tidak terawat. Kereta pun tidak ada yang beroperasi. Adapun angkutan bus rapid transit (BRT) jumlahnya tidak terlalu banyak dan kurang bisa diandalkan untuk bepergian.
Jordan (21), salah seorang warga Phnom Penh, menuturkan, tiadanya layanan transportasi umum yang memadai membuat warga Kamboja lebih gemar bepergian menggunakan kendaraan pribadi. Menurut Jordan, dalam satu rumah di Phnom Penh bisa ada dua hingga tiga mobil di dalam garasi.
”Kemacetan di sini sangat mengerikan. Kami tidak punya banyak pilihan transportasi umum. Makanya, di sini macet setiap hari. Jam 5 sore adalah jam pulang kerja dan bisa macet di mana-mana. Kalau tujuan dekat, hanya 1 kilometer, misalnya, saya lebih memilih jalan kaki daripada terjebak macet,” ujarnya.
Sampai Pemerintah Kamboja menyediakan layanan transportasi umum yang bagus, agaknya warga ataupun turis asing masih akan terus mengandalkan tuktuk.