Semua Bermula dari Stadion
Pembenahan stadion menjadi jejak awal pemerintah untuk memperbaiki sepak bola. Selama ini, aturan untuk arena sepak bola tidak diterapkan secara konsisten di kompetisi nasional.
Setelah Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk melakukan audit semua stadion di Indonesia. Presiden ingin ada renovasi stadion agar pertandingan sepak bola memberikan kenyamanan dan keamanan, tidak lagi menjadi lokasi jatuhnya korban jiwa.
Dari hasil penilaian itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan, terdapat 165 stadion yang digunakan untuk tiga kasta kompetisi sepak bola nasional. Mulai dari Liga 1 hingga Liga 2 tingkat provinsi. Dari jumlah itu, Basuki menyebut 22 stadion yang diprioritaskan untuk dibenahi.
Dasar penilaian itu ialah, stadion tersebut menjadi lokasi pertandingan Piala Dunia U-20 2023, memiliki risiko tinggi karena jumlah penonton besar dalam Liga 1 dan Liga 2, serta berkapasitas besar.
Atas dasar itu, Kementerian PUPR membagi kondisi kerusakan stadion itu ke dalam tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat. Sebanyak empat stadion masuk dalam rusak ringan, lalu terdapat 13 stadion rusak sedang, serta lima stadion rusak berat, termasuk Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang akan dibangun ulang. Pemerintah menyiapkan anggaran sekitar Rp 1,9 triliun untuk pembenahan itu.
Baca juga: Stadion Gelora Bung Karno, Fondasi Penempa Karakter Bangsa
”Yang rusak ringan pasti direnovasi, direvitalisasi. Yang rusak berat dibangun ulang atau direnovasi total,” ucap Basuki, awal April lalu.
Menariknya, dari daftar stadion rusak itu tercantum sejumlah stadion yang baru menjalani renovasi besar dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Stadion itu ialah Stadion Jatidiri di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang baru kembali digunakan PSIS Semarang di Liga 1 2022-2023, serta Stadion Mandala Krida di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Stadion Jatidiri dianggap memiliki tingkat kerusakan ringan, sedangkan Stadion Mandala Krida dikategorikan rusak berat. Meski baru rampung direnovasi pada 2019 lalu, Mandala Krida dianggap memiliki kualitas arsitektur dan struktur yang membutuhkan perbaikan, serta belum memiliki kursi tunggal di tribune.
Selain dua stadion itu, sejumlah stadion yang dalam dua tahun terakhir digunakan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia untuk menyelenggarakan turnamen internasional, seperti Stadion Pakansari (Bogor, Jawa Barat), Stadion Patriot Candrabhaga (Bekasi, Jabar), dan Stadion Maguwoharjo (Sleman, DI Yogyakarta) juga akan diperbaiki oleh Kementerian PUPR.
Lihat juga: Stadion yang Seharusnya Menjadi Arena Piala Dunia U-20
Kementerian PUPR menargetkan proses pembenahan 22 stadion itu dilakukan pada tahun waktu 2023-2024. Setelah memperbaiki lima stadion dan 20 lapangan latihan yang rencananya semula disiapkan untuk Piala Dunia U-20 2023, Kementerian PUPR akan melanjutkan pembenahan 19 stadion tersisa.
Permisif
Tragedi Kanjuruhan yang menjadi pijakan Presiden memerintahkan adanya reformasi manajemen stadion seharusnya bisa dihindari apabila pemangku kepentingan sepak bola nasional tidak permisif terhadap peraturan. Setiap jelang musim baru, PSSI dan operator kompetisi, PT Liga Indonesia Baru, selalu memiliki agenda inspeksi stadion yang menjadi markas semua peserta.
Proses itu berpegang pada aturan Regulasi Stadion Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Tetapi, dalam praktiknya, tidak semua regulasi itu diterapkan untuk menilai kelayakan sebuah stadion menyelenggarakan kompetisi profesional.
Sebagai contoh, AFC mengharuskan semua stadion memiliki papan skor digital yang mencantumkan pula waktu menit bermain laga. Nyatanya, hanya Stadion Utama Gelora Bung Karno yang selalu menampilkan durasi laga di papan skor. Fasilitas itu di stadion lain kerap kali tidak berfungsi.
Lalu, standar di media tribune pun berbeda-beda. Padahal dalam regulasi AFC, media tribune harus dilengkapi kursi, meja, soket listrik, dan koneksi internet. Berdasarkan pantauan Kompas, di Stadion Maguwoharjo, misalnya, tribune media tidak kursi tunggal atau hanya undakan semen seperti di tribune penonton. Lalu, stopkontak di Stadion Patriot Candrabhaga tidak berfungsi.
Problem mendasar adalah normalisasi hal-hal yang tidak normal dibiasakan oleh federasi, operator liga, dan panitia pelaksana pertandingan. Normalisasi ini terus terjadi, padahal jelas salah.
Selain itu, menurut aturan AFC, tribune penonton pun sudah harus kursi tunggal dan diberi nomor. Dalam kenyataannya, mayoritas stadion di Indonesia hanya memiliki kursi tunggal di tribune naratama.
Kondisi itu membuat pelanggaran, seperti penjualan tiket melebihi kapasitas, kerap terjadi. Pada laga derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya, yang memicu Tragedi Kanjuruhan, total penonton mencapai 104 persen dari total kapasitas stadion.
”Problem mendasar adalah normalisasi hal-hal yang tidak normal dibiasakan oleh federasi, operator liga, dan panitia pelaksana pertandingan. Normalisasi ini terus terjadi, padahal jelas salah,” ucap Fajar Junaedi, pakar budaya sepak bola nasional, menilai akar permasalahan di pertandingan Liga Indonesia.
Sakral
John Foot dalam buku Calcio: A History of Italian Football (2007) menyebut, sepak bola menghadirkan agama sosial bagi para suporter. Stadion menjadi tempat sakral bagi mereka untuk bersembahyang.
Atas dasar itu, sudah semestinya, pemangku kepentingan memberikan jaminan keamanan yang lebih baik di dalam stadion. Namun, renovasi stadion bukan menjadi satu-satunya jalan keluar.
Pemerintah juga perlu melakukan terobosan untuk membuat regulasi stadion tersendiri, sehingga terdapat standardisasi secara nasional untuk keselamatan sebuah arena sepak bola. Di Inggris, misalnya, terdapat Panduan Pemerintah untuk Keamanan di Arena Olahraga atau disebut Buku Panduan Hijau.
Baca juga: Eksistensi ”Sang Bahtera” Sriwijaya untuk Indonesia
Buku Panduan Hijau edisi pertama dirilis pada 1986 yang merupakan respon dari insiden kebakaran tribune Stadion Bradford City pada 1985. Pada tragedi itu sebanyak 56 penonton meninggal dunia.
Tiga tahun setelah edisi pertama berlaku, Inggris diguncang oleh Tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 penonton pada 1989. Selanjutnya, Buku Panduan Hijau terus mengalami revisi secara berkala untuk meningkatkan keselamatan penonton.
Hingga kini, tercatat enam kali revisi Buku Panduan Hijau. Edisi terakhir diterbitkan pada 2018. Pada edisi terbaru memasukkan aturan tribune berdiri yang digagas sejumlah stadion di Inggris untuk memberi kenyamanan bagi suporter yang lebih senang berdiri dan menyanyikan chants dukungan selama menyaksikan laga.
Chris Whalley, Manajer Senior Keselamatan dan Keamanan Stadium Asoasisi Sepak bola Inggris (FA), mengungkapkan, setelah tragedi kebakaran di Bradford, Inggris mencatatkan rekor penonton terendah pada musim 1985-1986, hanya 16 juta penonton datang ke stadion. Dengan kehadiran aturan stadion, secara perlahan penonton mulai percaya untuk kembali menonton laga di tribune.
”Sekarang sekitar 30 juta orang datang ke stadion sepak bola kami setiap musim. Fasilitas stadion yang lebih baik dan aman meningkatkan keinginan lebih banyak suporter untuk menonton pertandingan,” ujar Whalley dalam jurnal bertajuk Stadium Safety Management in England.
Secara kasat mata, stadion sepak bola hanya sebuah bangunan yang berfungsi untuk menyelenggarkan pertandingan dan menyediakan tribune untuk masyarakat menikmati duel dua tim mengejar kemenangan. Tetapi, sejatinya stadion adalah potret dari kualitas pengelolaan dan pembinaan sepak bola di suatu negara.
Baca juga: Pagar Jangkung Si Jalak Harupat Meninggalkan Pesan
Semoga komitmen pemerintah membenahi stadion sepak bola diwujudkan secara nyata. Kemudian, aturan resmi juga bisa diterbitkan pemerintah untuk menjadi panduan bersama demi meningkatkann kualitas arena. Sebab, stadion adalah titik mula bagi seluruh perasaan dan kenangan yang tercipta untuk sepak bola.