Saatnya Suporter Tidak Dianaktirikan
Sepak bola tidak artinya tanpa suporter. Ketika kepengurusan PSSI silih berganti, pemain datang dan keluar dari sebuah klub, suporter tetap mendukung tim kesayangannya dalam suka ataupun duka.
Suporter yang mengisi tribune stadion adalah elemen paling ikhlas di ranah sepak bola. Mereka tidak mendapat gaji saat mendampingi klub bertanding. Sebaliknya, mereka mengeluarkan uang untuk membeli tiket pertandingan, menyisihkan rezeki untuk perjalanan laga tandang, hingga mendukung klub dengan membeli cendera mata resmi.
Kelompok fans juga yang membentuk identitas kultur sepak bola di sebuah kota. Bonek, misalnya, menjadi bagian tak terpisahkan bagi wajah budaya sosial di Surabaya, Jawa Timur, yang amat erat ikatannya dengan Persebaya Surabaya. Kemudian, ada Pasoepati, tahun ini menginjak usia ke-23, yang tidak surut eksistensinya meski Persis Solo lama tidak tampil di kompetisi kasta tertinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Brigata Curva Sud (BCS) memberikan wajah lain bagi kesan masyarakat Yogyakarta yang santun. Sebagai salah satu pendukung PSS Sleman, BCS menunjukkan warga daerah istimewa itu bisa mencintai sepak bola dengan kreativitas. Bahkan, BCS lebih dikenal oleh komunitas sepak bola internasional ketimbang PSS.
Baca Juga: Membangun Kebanggaan Positif Suporter
Kultur kelompok suporter di Indonesia terus mengalami perkembangan. Apabila pada dekade akhir 1990-an hingga awal 2000-an kelompok pendukung yang tumbuh bermazhab ”mania”, sejak pertengahan dekade 2010-an muncul kelompok yang berasas ”ultras”.
Mania adalah subkultur suporter sepak bola yang secara organisasi amat erat hubungannya dengan klub. Mereka umumnya adalah kelompok suporter pertama klub, seperti Aremania, The Jakmania, dan Pasoepati. Dalam mendukung tim kebanggaan, mayoritas anggota kelompok mania menggunakan jersei atau kaus dengan warna kebesaran klub.
Sementara itu, ultras dikenal sebagai subkultur suporter yang lebih militan. Mereka lebih digemari pendukung sepak bola berusia remaja karena juga lebih kreatif. Selain selalu bernyanyi selama 90 menit, kelompok ultras juga kreatif menciptakan koreografi dukungan untuk klub. Umumnya, kelompok ultras mengenakan kaus berwarna hitam selama berada di tribune stadion.
Mereka juga dikenal lantang menyuarakan aspirasi ketika pengelolaan klub dianggap keluar dari trek yang benar. Hal itu dilakukan BCS, yang mengosongkan tribune selatan Stadion Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, pada beberapa laga kandang PSS musim ini sebagai wujud protes terhadap performa melempem skuad ”Elang Jawa”.
Lihat Juga: Wacana Undang-undang Perlindungan Suporter Digulirkan
Dengan kultur sepak bola yang terwujud dalam antusiasme besar pendukung itu, Indonesia setidaknya memiliki modal awal untuk mengembangkan sepak bola. Pelatih tim sepak bola U-22 Lebanon Miguel Joao Moreira menyebut suporter Indonesia adalah salah satu pendukung terbaik di Asia.
”Anda telah memiliki antusiasme besar yang bisa menjadi modal untuk mendukung sepak bola Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di kawasan dalam lima hingga 10 tahun mendatang,” kata Moreira setelah timnya mengalahkan Indonesia U-22, 2-1, pada laga uji coba, Jumat (14/4/2023).
Kontroversi
Namun, antusiasme suporter tanpa pembinaan dan pengelolaan yang baik dari pemangku kepentingan sepak bola terasa sia-sia. Kultur sepak bola yang ada di Indonesia cenderung hanya dijadikan ceruk pasar bagi bisnis olahraga, misalnya penjualan cendera mata klub dan tiket pertandingan.
Suporter adalah bagian dari kultur, tetapi mereka harus direkayasa oleh otoritas terkait di komunitas sepak bola.
Di luar itu, suporter lebih lekat dengan kontroversi karena kerusuhan antarsuporter hingga aksi tidak sportif ketika mendukung tim kesayangan. Setelah Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober lalu, terdapat empat insiden yang melibatkan suporter di pekan akhir Liga 1 2022-2023.
Kerusuhan antarpendukung tercipta pada laga PSIS Semarang lawan PSS di Stadion Jatidiri, Semarang, 2 April, serta antara pendukung Persib Bandung dan Persis, 4 April, di Stadion Pakansari, Bogor.
Pada dua laga penutup musim ini, Sabtu (15/4/2023), pendukung Persija Jakarta menyalakan suar api (flare) di pengujung laga Persija melawan PSS di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Sejumlah pendukung Persib juga menyalakan suar dan masuk ke dalam lapangan setelah ”Maung Bandung” menutup musim dengan kekalahan 1-4 dari Persikabo 1973 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung.
Dalam jurnal berjudul Football on the Brain-Why Minds Love Sport (2022), Aaron CT Smith, Guru Besar Bisnis dan Inovasi Olahraga Universitas Loughborough, London, Inggris, menuturkan, sistem kepercayaan pendukung sepak bola melahirkan semangat berjuang, keberanian, berani mengambil risiko, dan sikap berkelompok. Hal itu membuat pendukung bisa lebih galak dan berani ketika telah berkumpul di arena sepak bola.
”Fans harus menjadi subyek bagi kehadiran kewajiban, ritual, dan ekspektasi perilaku yang menuntut mereka tunduk kepada sikap disiplin dan kontrol di dalam komunitas suporter. Seperti di rumah ibadah yang memiliki aturan ibadah, suporter harus diberikan aturan dalam memberikan dukungan,” kata Smith.
Baca Juga: Menuntut Kedewasaan Suporter Indonesia
Eko Noer Kristiyanto, pakar hukum olahraga, menganggap pembinaan suporter yang telah dilakukan PSSI selama ini melalui Divisi Pembinaan Suporter PSSI gagal total karena tidak ada hasil dari kerja divisi itu untuk meredam aktivitas negatif suporter.
”Suporter adalah bagian dari kultur, tetapi mereka harus direkayasa oleh otoritas terkait di komunitas sepak bola. Tujuannya, agar mereka bisa dikontrol sehingga ketika bertindak negatif tidak bisa lagi dianggap oknum dan harus ditindak secara hukum,” ujar Eko.
Ia berharap PSSI bisa membuat aturan suporter yang mengacu pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Selain itu, klub juga wajib melakukan pembinaan kepada kelompok pendukung, salah satunya melakukan pendataan dan membantu kelompok suporter menjadi badan hukum.
”Suporter adalah bagian terpenting untuk menunjukkan kemajuan sepak bola sebuah negara. Oleh karena itu, pembinaan suporter harus menjadi bagian utama dalam upaya pembenahan sepak bola nasional,” kata Sekretaris Jenderal Presidium Nasional Suporter Sepak Bola Indonesia (PNSSI) Richard Achmad.
Baca Juga: Subkultur Suporter Sepak Bola
Selama suporter masih dianaktirikan dan hanya dijadikan ”sapi perah” untuk mendulang keuntungan di sepak bola, kejadian buruk di sepak bola nasional bakal terus berulang. Sudah saatnya suporter menjadi aktor penting yang diperlakukan setara dalam pembinaan olahraga di Tanah Air.