Simbol Persatuan Warga yang Kini Terasing dari Ibu Kota
Stadion VIJ di Petojo, tapak tilas sepak bola Jakarta, kini hidup merana. Nasib stadion bersejarah yang pernah menjadi simbol perjuangan pribumi itu tak jauh berbeda dengan Persija yang kini menjadi musafir.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
Sejarah mencatat, sepak bola bukan sekadar hiburan di Jakarta. Sepak bola juga pernah menjadi alat perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun, sayangnya, spirit persatuan dan perjuangan itu perlahan telah terlupakan dan tersisih dari Ibu Kota.
Hal itu tampak dari sikap pemerintah yang kurang peduli dengan jejak sejarah sepak bola di Jakarta. Klub kebanggaannya, Persija Jakarta, pun kesulitan bermain di tanah kelahirannya. ”Macan Kemayoran” kini menjadi musafir, lebih sering bermain di luar Jakarta.
”Pewarisan dan edukasi sejarah perlawanan sepak bola terhadap penjajah enggak ada. Mereka (pemangku kepentingan) kosong dengan pemahaman kesejarahan. Kalau ngomong blak-blakan, kudunye murni bola. Tapi, itu rupanya enggak mungkin. Selalu dikaitkan banyak hal, khususnya politik. Persija selalu dikaitkan dengan siapa yang berkuasa. Atas asumsi itu, maka Persija menjadi bulan-bulanan,” ujar Yahya Andi Saputra, pakar budaya Betawi, Kamis (13/4/2023).
Pengabaian akan sejarah itu tercermin dari kondisi Stadion VIJ. Tapak tilas sepak bola Jakarta di kawasan Petojo, Gambir, itu tak mudah dicari dan dikenali. Stadion itu tidak berada di pinggir jalan raya, bukan pula di kompleks olahraga yang megah layaknya Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, ataupun Stadion Internasional Jakarta (JIS) di Tanjung Priok.
Untuk menuju Stadion VIJ, pengunjung harus masuk jalan gang selebar 3 meter yang berada di pinggir Jalan Biak. Setelah masuk sekitar 100 meter, pengunjung tidak akan langsung menyadari keberadaan stadion itu kalau tidak melihat plang kecil di pojok pagar atau bertanya dengan warga. Halaman stadion itu dipenuhi mobil dan gerobak. Lalu, ada tembok setinggi sekitar 4 meter yang membuat fisik stadion maupun lapangannya tidak tampak.
Stadion VIJ diimpit ruko dan pemukiman padat penduduk. Satu-satunya bangunan tribune di sisi barat stadion hanya berjarak sekitar 2 meter dengan permukiman warga. Sisi timur lapangan menempel langsung dengan bagian belakang ruko, adapun sisi utara bergabung dengan halaman rumah warga.
Kualitas lapangan stadion itu pun jauh dari kata bagus. Lapangannya belang. Ada yang ditumbuhi rumput Jepang, sebagian lagi rumput gajah. Sejumlah titik di lapangan itu pun kering, lapisan pasirnya bahkan muncul ke permukaan.
Saya berharap manajemen Persija dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa berkolaborasi agar Persija dapat berkandang lagi di Jakarta dan ada strategi bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak. (Jakmania)
Fasilitas penunjangnya tidak kalah memprihatinkan. Papan skor, contohnya, masih menggunakan bangunan kayu yang berisi ruangan untuk mengatur skor manual. Akan tetapi, akses tangga menuju bangunan itu sudah berlubang, lantai kayu ruangannya pun mulai lapuk.
”Papan skor itu tak lagi dipakai karena berbahaya,” ujar Kumaidi, staf Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta, yang menjaga stadion itu, Rabu lalu.
Kumaidi tidak menampik bahwa Stadion VIJ kurang terawat. Namun, dia memastikan pihaknya telah berusaha untuk berbenah. Hanya saja, proses pengusulan renovasinya tidak mudah karena terbentur status lapangan itu yang merupakan cagar budaya. ”Saat usulan renovasi diterima, kita terkena pandemi Covid-19. Akhirnya, renovasi mesti tertunda hingga sekarang,” tutur Kumaidi.
Kondisi Stadion VIJ adalah ironi dari sejarah sepak bola di Jakarta. Stadion itu merupakan bekas markas klub Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) yang berdiri pada 1928. Klub sepak bola era Hindia-Belanda itu merupakan cikal-bakal Persija. VIJ adalah perkumpulan sepak bola pribumi untuk menandingi Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), yaitu perkumpulan sepak bola khusus orang Belanda di Jakarta.
Kelahiran VIJ tidak lepas dari semangat nasionalisme kaum pribumi di Jakarta dalam melawan penjajah. Dalam pemilihan nama, para pendirinya tidak menyematkan kata ”Indische” dan ”Batavia” yang identik dengan pemerintah kolonial.
”Itu menunjukkan hubungan kuat antara dunia pergerakan nasional dengan sepak bola,” ungkap sejarawan JJ Rizal dalam artikel ”Perjuangan MH Thamrin Lewat Sepak bola” di Historia, 18 Februari 2019.
VIJ pun mendapatkan sokongan dari tokoh-tokoh nasionalis di Jakarta, antara lain MH Thamrin. Laman Vredeburg menyebutkan, MH Thamrin adalah sosok yang mengumpulkan seluruh klub sepak bola pribumi di Jakarta untuk membentuk VIJ. Ia juga mengeluarkan dana pribadi sebesar 2.000 gulden untuk membantu membangun stadion. Arena sepak bola itu adalah perlawanan mereka atas orang-orang Belanda yang memasang papan bertuliskan ”verboden voor inlanders en houden” (pribumi dan anjing dilarang masuk)” di stadion NIVB.
Pada 1932, MH Thamrin meminta Soekarno melakukan sepak mula dalam sebuah laga final sepak bola di stadion itu. Peristiwa itu bertujuan untuk mengumumkan kepada rakyat bahwa Soekarno sudah bebas dari Lapas Sukamiskin di Bandung. Rakyat pun lantas bersorak menyambut kebebasan ”Sang Singa Podium” tersebut.
Puncaknya, berdasarkan buku Sejarah Olahraga Indonesia (1991), VIJ dan Perserikatan Sepak Raga Mataram (kini bernama PSIM Yogyakarta) adalah dua pencetus aktif pendirian Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930. PSSI bukan saja onak bagi NIVB, melainkan juga saingan yang tak jarang membuat NIVB kehilangan muka.
Arena digusur
Akan tetapi, sekarang, sepak bola hanya dilihat sebagai hiburan dalam industri olahraga yang digaungkan pemerintah. Nilai heroik sejarahnya berangsur hilang dari memori kolektif masyarakat. Selain Stadion VIJ, yang seolah hidup segan namun mati tak mau, stadion-stadion bersejarah lainnya di Jakarta telah lebih dulu menemui ajalnya. Arena-arena bersejarah itu, seperti Stadion IKADA, Stadion Menteng, dan Stadion Lebak Bulus, telah digusur untuk dialihfungsikan atas dalih geliat pembangunan.
Persija pun ”terusir” dari tanah kelahirannya. Kini, mereka ”mengungsi” di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jawa Barat. Niat pulang ke Jakarta dengan bermarkas di Stadion JIS pun terkendala sejumlah hal, antara lain standardisasi sarana penunjang dan biaya sewa.
Ketua Umum The Jakmania (kelompok suporter Persija) Diky Soemarno berkata, hingga saat ini, Persija tetap menjadi salah satu identitas utama sekaligus lambang persatuan masyarakat Jakarta. ”Saya berharap manajemen Persija dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa berkolaborasi agar Persija dapat berkandang lagi di Jakarta dan ada strategi bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak,” ujar Diky.
Di tengah fenomena maraknya konflik atau perseteruan antarkelompok suporter di Indonesia, sepatutnya insan sepak bola Jakarta maupun nasional menyelami kembali sejarah kemunculan klub-klub sepak bola di Tanah Air. Sepak bola lahir bukan untuk memecah-belah. Sebaliknya, itu pernah menyatukan masyarakat demi satu tujuan besar bersama, yaitu berkibarnya Sang ”Merah-Putih”.