Persib Bandung merupakan napas kehidupan bagi ”bobotoh”. Fanatisme yang telah mengakar secara turun-temurun di Jabar itu bak pedang bermata dua bagi sepak bola.
Oleh
KELVIN HIANUSA, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Diego Maradona, mendiang pesepak bola legendaris asal Argentina, pernah berkata, sepak bola lebih dari sekadar permainan atau olahraga. Baginya, sepak bola sudah seperti agama. Hubungan transendental pun terjalin, yaitu melibatkan para pemain yang memberikan hiburan dan pendukung yang membalasnya dengan cinta.
Hubungan yang kuat itu terlihat di Jawa Barat. Ikatan kuat selama ini telah terjalin antara klub sepak bola kebanggaan daerah itu, Persib Bandung, dengan pendukung fanatiknya yang disebut bobotoh. Ikatan tersebut sudah menjadi kultur bagi warga sekitar, diturunkan dari generasi ke generasi sejak klub tersebut lahir pada 1933.
Pada Selasa siang (4/4/2023) lalu, dalam cuaca panas terik, seorang bobotoh bernama Ade (39) mengenakan jersei Persib di depan Stadion Sidolig. Tempat itu merupakan mes para pemain ”Maung Bandung”, julukan Persib, sekaligus salah satu area kumpul bobotoh.
Di depan Ade, sudah ada beberapa bobotoh lainnya yang merapikan spanduk berukuran 20 meter dengan tulisan ”Viking” atau nama kelompok suporter terbesar dari bobotoh. Mereka akan bergegas menuju Stadion Pakansari, Bogor, untuk menyaksikan laga Persib versus Persis Solo pada malam hari.
Meskipun Persib sudah dipastikan tidak juara musim ini, bobotoh tetap keukeuh menonton klub kesayangannya itu di Bogor, kota yang harus ditempuh selama tiga jam berkendara. ”Persib itu hidup, napas saya. Saya selalu nonton Persib, dari Aceh sampai Papua. Persib selalu nomor satu, kadang lebih dari keluarga,” ungkap Ade yang mencantumkan kata Persib di nama belakang anaknya.
Ade hanyalah satu dari sekian banyak bobotoh yang jumlahnya kini diperkirakan mencapai 30 juta orang. Seperti bobotoh lainnya, kecintaan atas Persib itu diwariskan turun-temurun dari orangtuanya. Ia pertama kali menyaksikan laga Persib, yaitu diajak ayahnya, ketika berusia 9 tahun. Sejak saat itu, kecintaan Ade atas Maung Bandung terus melekat. Ia bahkan bekerja sebagai penjual jersei sepak bola, semata-mata demi bisa menonton Persib setiap saat.
”Saya masih ingat menonton langsung Persib (saat) juara melawan PSM (Makassar) di final (Liga Indonesia era perserikatan 1993-1994), di Senayan (Jakarta). Itu pertama kalinya (menonton laga Persib). Sejak itu, saya jatuh cinta. Hanya ada Persib dalam keseharian saya sampai detik ini,” ungkapnya.
Jatuh-bangun prestasi Persib, layaknya kehidupan, telah menebalkan kecintaan bobotoh atas klub kebanggaan warga Jabar itu. Pada era 1980-an, misalnya, Persib dua kali beruntun lolos ke final perserikatan pada 1983 dan 1985, tetapi gagal juara. Kegagalan itu mereka tebus dengan gelar juara pada 1986, yaitu setelah mengalahkan Perseman Manokwari di final.
Perjuangan tersebut melahirkan semboyan ”Nista, Maja, Utama” yang masih terus bergaung sampai saat ini. Arti semboyan itu adalah sekali gagal, dua kali gagal, tetapi tidak boleh lagi gagal untuk yang kali ketiga. Menurut pendiri Viking Persib Club (VPC), Heru Joko, cinta tanpa kondisi dari bobotoh semakin besar sejak saat itu.
”(Peristiwa) Nista, Maja, Utama, itu kayak dibuat oleh alam. Orang Jabar seperti sengaja dibuat untuk mencintai tim ini berlebihan. Kita berbeda dengan yang lain, yaitu pernah di situasi kalah, kalah, akhirnya menang. Cerita itu turun-temurun (disampaikan) kakek, ayah, sampai anak,” tutur Heru.
Semangat sepak bola dari kota yang ikut berjuang hebat dalam kemerdekaan Indonesia itu juga sudah berlangsung sejak era penjajahan. Persib merupakan hasil peleburan Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB) pada 1933. Pada masa-masa awal kelahirannya, Maung Bandung sudah merasakan gelar juara, yaitu pada 1937. Lagi-lagi, saat itu, mereka mendapatkan gelar juara dengan penuh perjuangan setelah sempat hanya jadi runner-up pada tiga kali kesempatan (1933, 1934, dan 1936).
Kalau ingin indeks kebahagiaan Jabar tinggi, survei setelah Persib menang. Mood orang di sini ditentukan laga Persib. Bukan lagi hiburan, itu sudah jadi kebutuhan.
Terakhir, Persib menjadi juara Liga 1 Indonesia pada 2014 setelah menang adu penalti melawan Persipura Jayapura. Kemenangan itu membuat Kota Bandung hanyut dalam suasana pesta. Para pemain disambut bak pahlawan dan diarak melewati sejumlah jalan utama di ”Kota Kembang”. Ribuan warga membentuk lautan biru di ruas-ruas jalan yang dilewati.
Menurut Ketua Umum VPC Tobias Ginanjar, Persib adalah identitas mereka. ”Jadi, kalau ingin indeks kebahagiaan Jabar tinggi, survei setelah Persib menang. Mood orang di sini ditentukan laga Persib. Bukan lagi hiburan, itu sudah jadi kebutuhan. Banyak yang dipecat dari pekerjaannya atau bercerai karena Persib kalah,” ujarnya.
Maka itu, wajar jika di Jabar, khususnya Bandung, Persib menjadi bahasa paling universal di semua kalangan. Mereka bisa membahas sepak bola begitu leluasa, tanpa memandang status sosial. Hanya dengan kata kunci ”Persib”, pembicaraan pun akan mengalir.
Pedang bermata dua
Kecintaan para bobotoh sudah masuk dalam level fanatisme yang sangat tinggi. Fanatisme itu adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, fanatisme bisa menjadi bahan bakar untuk memicu industri sepak bola Indonesia lebih besar. Namun, di sisi lainnya, fanatisme buta bisa berujung pada kekacauan dan kisruh antarsuporter, jika tidak dikelola dengan benar.
Diakui Tobias, tidaklah mudah menyamakan isi kepala para pendukung. Tantangan itu salah satu contohnya adalah saat membahas rivalitas antara Persib dan Persija Jakarta. Namun, hubungan kedua kelompok suporter itu mulai membaik dengan gestur saling melindungi dari masing-masing pihak, terutama setelah Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, 1 Oktober 2022.
”Tidak dimungkiri, masih ada banyak ujaran kebencian. Tetapi, memang harus mulai sedikit demi sedikit (diredam). Kalau tidak, ya sulit terjadi. Kami ingin munculkan gestur baik agar semakin membesar. Harapannya bisa nonton di stadion dengan nyaman,” ucap Tobias.
Tantangan lainnya soal benturan dengan aparat keamanan. Terkadang, kata Tobias, suporter hanya ingin menyalurkan ekspresi cinta ke klub. ”Tetapi, seringkali frekuensi dengan pihak keamanan berbeda. Maka, mereka melarang berbagai hal. Di situ justru bisa timbul gesekan. Karena itu, penting ada sinergi,” ujarnya kemudian.
Bobotoh identik dengan kalimat ”Persib nu aing” alias Persib adalah atau milik saya. Ungkapan yang menunjukkan keterikatan mereka terhadap klub itu adalah wujud kultur identitas yang terus menerus diwariskan. Harapannya, seperti halnya kecintaan pada Persib yang turun-menurun, menonton sepak bola yang nyaman dan aman juga bisa dimulai dan diwariskan dari Bandung.
Fanatisme "bobotoh" terhadap Persib Bandung merupakan bahan bakar yang bisa memicu industri sepak bola.