Stadion Gelora Bung Tomo, Estafet Semangat Sepak Bola Surabaya
Ketika Stadion Gelora 10 November menua, Kota Surabaya membutuhkan arena baru untuk menampung fanatisme warganya terhadap sepak bola. Stadion Gelora Bung Tomo hadir mengisi ruang itu
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA, AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·6 menit baca
Sebelum kehadiran Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), sejarah persepak bolaan di Surabaya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari stadion legendaris, Gelora 10 November. Tidak hanya untuk kegiatan olahraga, stadion yang juga disebut sebagai Stadion Tambaksari tersebut punya sejarah panjang menjadi bagian perjuangan Republik Indonesia di era mempertahankan kemerdekaan. Stadion Gelora 10 November juga menjadi saksi bisu fanatisme panjang warga Surabaya terhadap sepak bola.
Stadion ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920-an. Namun, berbagai literatur menyebutkan bahwa stadion yang dulunya merupakan komplek olahraga ini menjadi bagian dari proyek pembangunan Kota Surabaya pada rentang 1907-1923. Saat masa mempertahankan kemerdekaan, Stadion Gelora 10 November sempat menjadi lokasi rapat raksasa pada September 1945.
Soemarsono dalam buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, menuturkan, rapat raksasa itu bertujuan menggugah semangat pemuda dan rakyat Surabaya untuk rela berjuang mati-matian mempertahakan kemerdekaan Republik Indonesia. Rapat raksasa kemudian diakhiri dengan ikrar kebulatan tekad yang akhirnya melegenda lewat seruan “Merdeka atau Mati!”.
Semangat untuk mempertahankan kemerdekaan itu menginspirasi nama Lapangan Tambaksari menjadi Stadion Gelora 10 November. Ada upaya merawat ingatan khalayak dengan menyematkan tanggal 10 November 1945 sebagai hari saat pertempuran heroik warga Surabaya menghadapi Sekutu. Pertempuran 10 November dipantik oleh peristiwa tewasnya perwira tinggi Inggris, Brigadi r Jenderal AWS Mallaby, pada 30 Oktober 1945. Kematian Mallaby membuat Inggris berang sehingga meletuslah pertempuran 10 November. Pertempuran itu dikenal sebagai pertempuran terbesar bangsa Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan berhasil dipertahankan, Stadion Gelora 10 November kembali menjadi saksi ketangkasan Surabaya dalam menghadapi “serbuan” Inggris. Kali ini, peristiwanya bukan di medan perang, melainkan di atas lapangan hijau. Klub sepak bola lokal Surabaya yang berkompetisi di Liga Sepak Bola Utama (Galatama), Niac Mitra, berkesempatan menjajal kebolehan tim divisi utama liga sepak bola Inggris, Arsenal.
Klub berjuluk “Meriam London” itu hadir ke Indonesia dengan tujuan akhir berlibur ke Bali. Sebelum menghadapi Niac Mitra, Arsenal terlebih dulu menjajal kekuatan PSMS Plus dan PSSI Selection. Kedua laga itu dimenangkan Arsenal. Pat Jennings dan rekan-rekannya mampu mengungguli PSMS Plus 3-0 dan menggulingkan PSSI Selection 5-0. Kepiawaian Arsenal terhenti di Surabaya. Bertanding di Stadion Gelora 10 November, Arsenal kalah 0-2 lewat gol Niac Mitra yang dicetak Fandi Ahmad dan Joko Malis.
Bagi warga Surabaya, hasil positif Niac Mitra atas Arsenal itu seperti kemenangan kedua mereka atas “serdadu” Inggris setelah peristiwa tewasnya Mallaby. Harian Kompas menurunkan berita kemenangan Niac Mitra tersebut lengkap dengan foto berjudul “Memukul Raksasa” pada 17 Juni 1983. Para pemain Arsenal meninggalkan lapangan dengan raut kekecewaan terpancar di wajah mereka. Tiada hentinya para pemain Arsenal menghentakkan kaki secara keras ketika berjalan menuju ruang ganti.
Bertahun-tahun setelah kemenangan bersejarah itu, prestasi Niac Mitra timbul tenggelam, demikian juga dengan Stadion Gelora 10 November yang semakin menua. Selain Niac Mitra, Stadion Gelora 10 November juga menjadi markas dari Persebaya Surabaya.
Harapan ke depan setelah diserahkan dari PUPR, ini akan bisa kami optimalkan untuk perkembangan olahraga terutama sepak bola, karena stadion ini sudah berstandar FIFA.
Namun, lokasi stadion yang dekat dengan kepadatan permukiman penduduk, beberapa kerusakan di area tribune karena usia stadion yang sudah tua, dan juga kapasitasnya yang hanya sekitar 20.000 orang menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Kota Surabaya untuk tidak lagi membuka Stadion Gelora 10 November menjadi lokasi pertandingan sepak bola berskala besar.
Dengan gairah warga terhadap sepak bola yang sangat tinggi, Pemerintah Kota Surabaya membangun Stadion GBT sebagai alternatif lokasi pertandingan sepak bola. Berkapasitas sekitar kapasitas 45 ribu penonton, Stadion GBT merupakan stadion terbesar di Jawa Timur. Recana pembangunan Stadion GBT muncul sejak tahun 2000-an dan mulai berdiri sejak 1 Januari 2008 dengan biaya sekitar Rp 100 miliar. Stadion GBT secara resmi dibuka pada 6 Agustus 2010.
Proses renovasi
Stadion GBT menjadi simbol estafet semangat dan gairah sepak bola warga Surabaya dari Stadion 10 November. Proses renovasi terhadap GBT dimulai sejak Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Sejumlah infrastruktur baru dibangun dan fasilitas stadion yang sudah ada ditingkatkan. Proses renovasi menelan biaya hingga Rp 23,29 miliar dan ditanggung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Selain GBT, biaya tersebut sudah termasuk untuk merenovasi empat lapangan latihan tim peserta, yaitu Stadion 10 November, Lapangan A dan C GBT, dan Lapangan THOR.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya, Wiwiek Widayati, sebulan jelang Piala Dunia U-20 perkembangan proses renovasi sudah mencapai sekitar 95 persen. Beberapa fasilitas stadion yang dibenahi adalah kualitas rumput, kecepatan internet, akses masuk stadion, tribune media, dan ruang ganti pemain. Ada juga pembangunan fasilitas baru seperti Lapangan A, B, dan C GBT, lahan parkir, dan tribune khusus penyandang disabilitas.
Walau Indonesia pada akhirnya batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, perbaikan-perbaikan yang telanjur disematkan pada GBT tidak akan sia-sia. Pasalnya, wajah baru GBT bisa menjadi salah satu instrumen tonggak awal transformasi sepak bola nasional sebagaimana diamanatkan Presiden Joko Widodo. Dengan kualitas kelas dunia, bisa dipastikan pertandingan sepak bola di GBT relatif tidak akan terganggu genangan air di lapangan sebagaimana stadion-stadion lain di Indonesia.
Selain itu, pengerusakan bus tim tamu oleh suporter berpotensi bisa ditekan karena jalur masuk bus dan penonton dipisahkan. Area parkir kendaraan yang luas serta tribune penonton dengan sistem penomoran sesuai tiket menjadikan GBT sebagai stadion yang ramah terhadap penonton yang datang bersama keluarganya.
“Itu kan nanti akan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan olahraga, termasuk sepak bola. Harapan ke depan setelah diserahkan dari PUPR, ini akan bisa kami optimalkan untuk perkembangan olahraga terutama sepak bola, karena stadion ini sudah berstandar FIFA,” kata Wiwiek, Minggu (2/4/2023).
Kendala-kendala di GBT sebelum renovasi seperti gangguan listrik untuk penerangan stadion juga sudah diantisipasi. Saat meninjau kesiapan GBT, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Erick Thohir, menjelaskan, daya listrik sudah ditingkatkan dari 197 kilovolt ampere (kva) menjadi 555 kva yang ditangani langsung oleh PLN Surabaya. PLN menjamin genset tidak akan mengeluarkan asap sama sekali.
“PLN sudah memastikan hal-hal berkaitan dengan kelistrikan. Kita harus mengapresiasi kerja sama yang apik dari semua pihak terkait,” ujar Erick.
Peningkatan kualitas GBT ini tentunya juga menguntungkan Persebaya Surabaya. Dengan berkandang di GBT, Persebaya bisa mencoba mengundang tim-tim tamu dari luar negeri untuk beruji coba. Kesempatan untuk membawa turnamen sepak bola skala nasional dan internasional pun ke Surabaya pun sangat besar dengan adanya stadion berstandar FIFA. Apalagi Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, sudah memberi lampu hijau kepada Persebaya untuk kembali menggunakan GBT sebagai kandang tim musim depan.
Selain GBT, adanya empat lapangan latihan berstandar FIFA turut berperan dalam upaya mencetak bibit-bibit pemain masa depan Indonesia. Lebih dari itu, GBT dan lapangan latihan berkelas di Surabaya diharapkan dapat menginspirasi daerah-daerah lain di Jawa Timur untuk meningkatkan insfrastruktur sepak bolanya. Dengan begitu, estafet semangat sepak bola warga Surabaya pun menjalar hingga ke luar kota.