Kesejahteraan Mandiri Kunci Atasi Permasalahan Sepak Bola Nasional
Pembangunan kesejahteraan mandiri dari tingkat akar rumput dinilai sebagai cara paling tepat untuk mengatasi permasalahan sepak bola nasional. Cara itu bisa memberikan efek domino kepada klub, kompetisi, dan timnas.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembangunan kesejahteraan mandiri dari tingkat akar rumput, mulai dari kelompok suporter adalah kunci untuk mengatasi permasalahan sepak bola nasional. Kesejahteraan mandiri akan menimbulkan efek domino yang positif, mulai dari memastikan eksistensi klub, kompetisi, dan mengikis aksi mafia atau pihak yang mengambil keuntungan secara ilegal dalam kompetisi. Ujung-ujungnya, kompetisi yang lebih bermutu akan meningkatkan kualitas timnas.
Itulah gambaran besar visi salah satu calon ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Arif Putra Wicaksono. CEO Nine Sport Inc, promotor kegiatan olahraga nasional itu saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (11/2/2023), mengatakan, permasalahan utama sepak bola nasional adalah kesejahteraan. Animo sepak bola nasional dikenal tinggi, tetapi daya belinya rendah.
Maksudnya, keberadaan jumlah suporter yang besar tidak banyak membantu untuk menjadi sumber finansial klub maupun kompetisi. Tak pelak, itu berpengaruh kepada eksistensi klub maupun kompetisi. Kesulitan finansial menjadi sebab sejumlah klub tak mampu membayar gaji pemain dan pelatihnya. ”Situasi itu menjadi celah masuknya aksi mafia yang coba membeli atau mengatur pertandingan, dengan membayar pemain, pelatih, ataupun wasit,” ujarnya.
Fenonema buruk itu membuat kepercayaan investor atau sponsor kepada klub maupun kompetisi menjadi rendah. Tak heran, lanjut Arif, kompetisi sering kali ditunda ataupun berhenti tiba-tiba di tengah jalan, seperti Liga 2 dan Liga 3 musim ini. ”Itu akibat operator kesulitan mendapatkan dukungan sponsor untuk memutar roda kompetisi,” katanya.
Oleh karena itu, Arif menuturkan, dirinya ingin membangun kesejahteraan mandiri dari tingkat akar rumput. Caranya, dengan memberikan suntikan dana kepada kelompok suporter melalui program Kredit Usaha Rayat (KUR). Kelompok suporter didorong menghidupkan diri mereka sendiri dengan berjualan cinderamata klub, makanan, minuman, dan sebagainya, antara lain lewat koperasi.
”Sumber pendanaan itu bisa melalui Inpres 3/2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Namun, karena belum ada anggaran khusus, kita bisa mencari sumber dana dari KUR yang mencapai Rp 460 triliun tahun ini. Dengan KUR, sekali dayung banyak yang kita capai, untuk kesejahteraan suporter maupun masyarakat luas, untuk sepak bola sekaligus perekonomian secara umum,” ungkapnya.
Efek domino
Kalau lebih sejahtera, otomatis daya beli suporter meningkat sehingga mampu membeli tiket dan jersey asli klub. Dengan begitu, klub pun ikut terbantu secara finansial sehingga bisa membayar gaji pemain dan pelatih sesuai kontrak. ”Itu akan menutup celah mafia yang selama ini beraksi dengan memanfaatkan kondisi finansial klub yang tidak sehat,” tutur Arif.
Di sisi lain, pola itu akan membangun hubungan lebih erat antara suporter dan klub. Kesejahteraan suporter yang timbul karena eksistensi klub akan membuat suporter punya rasa memiliki dan tanggung jawab yang lebih besar kepada klub. Mereka pasti tidak mau lagi sembarangan membuat rusuh karena akan menyebabkan kerugian kepada klub yang imbasnya kepada usaha mereka.
Situasi itu menjadi celah masuknya aksi mafia yang coba membeli atau mengatur pertandingan, dengan membayar pemain, pelatih, ataupun wasit.
”Guna meminimalisir kontroversi dalam pertandingan, saya akan menerapkan sistem VAR yang sejatinya sudah disiapkan sejak 2019. Saya juga bakal membentuk lembaga profesional yang mengurus semua keperluan pelaksanaan pertandingan yang berisi pihak keamanan, pemadam kebakaran, dan medis, seperti yang diterapkan di Liga Inggris. Dengan ini, koordinasi untuk perizinan bisa dilakukan lebih cepat karena perangkatnya tidak terpisah-pisah,” jelas Arif.
Menurut Arif, kalau pengelolaan suporter dan klub menjadi lebih baik, itu akan menjadi daya tarik yang menumbuhkan kepercayaan sponsor. Efek positifnya pun akan dirasakan oleh operator kompetisi. ”Kalau ekosistem sepak bola nasional lebih baik, sponsor akan datang dengan sendirinya dan mau menjalin kontrak jangka panjang. Iklim kompetisi yang sehat akan berimbas kepada kualitas pemain maupun pelatih yang muaranya bisa untuk meningkatkan prestasi timnas,” ujarnya.
Untuk mewujudkan visi itu, Arif mengutarakan, dirinya akan menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Dia bakal menyakinkan pemerintah agar kelompok suporter dimudahkan untuk mendapatkan KUR. Selain itu, dia bakal menjalin komunikasi dengan jaringan klub-klub Eropa agar bersedia memberikan pendampingan dalam pengelolaan suporter dan klub.
”Untuk mewujudkan industri sepak bola, kita butuh pemahaman atau pengetahuan dari negara-negara yang lebih maju di Eropa. Jadi, kita butuh membangun jaringan dengan klub-klub Eropa, lewat sistem sister club memanfaatkan sister city di daerah masing-masing. Itu adalah metode paling efektif dan efisiensi untuk mengakselerasi transfer ilmu,” ucapnya.
Secara spesifik mengenai masa depan timnas, Arif mengatakan, Indonesia perlu membangun kembali pondasi sepak bola nasional dengan menata ulang pembinaan usia muda dari akademi yang berstandar, terutama di klub-klub. Tujuannya, agar kompetisi usia muda bisa bergulir sesuai harapan. Dari pelaksanaan Elite Pro Academy (EPA) Liga 1, justru banyak klub yang merekrut pemain dari sekolah sepak bola (SSB) bukan dari hasil akademinya sendiri.
Padahal, keberadaan SSB hanya sebatas tempat les sehingga tidak memberikan dampak pembinaan yang signifikan. Tak pelak, pemain yang dihasilkan untuk timnas tidak optimal. ”Masalah pemain kita selalu itu-itu saja, yakni teknik dasar yang belum benar seperti yang diungkapkan oleh para pelatih asing top yang bekerja di sini. Akhirnya, pelatih timnas yang seharusnya tinggal meramu pemain agar sesuai dengan taktiknya malah melatih lagi teknik dasar,” kata Arif
Dalam masa transisi, tambah Arif, dirinya akan menjalin kerjasama dengan Liga Belanda yang menawarkan kesempatan pemain usia muda Indonesia U-19 atau U-20 untuk ikut kompetisi di sana. Belanda dinilai sebagai salah satu negara yang memiliki program pembinaan usia muda terbaik di dunia.
”Di sana, pemain muda kita bukan sekadar mendapatkan fasilitas tempat latihan yang lebih baik melainkan pula meningkatkan mental bersaing dalam kompetisi yang panjang. Itu cara mengatrol kualitas timnas sembari kita membenahi pembinaan usia muda dan kompetisi di dalam negeri,” tuturnya.
Ditanya soal nasib pelatih timnas Shin Tae-yong, Arif menuturkan, PSSI harus menghormati kontrak yang sudah terjalin. Apalagi pelatih asal Korea Selatan itu telah memberikan banyak perubahan positif untuk timnas. ”Membangun sepak bola tidak instan sehingga kita perlu mengikuti prosesnya,” ujarnya.
Secara keseluruhan, Arif berharap para pemilik suara atau voters tertarik mencoba gagasan berbeda yang ditawarkannya itu dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 2023 pada 16 Februari. Dia cukup yakin itu akan dilirik karena banyak klub ataupun pemilik suara berdarah-darah dalam menjalani program yang ada selama ini. Dengan modal sumber daya manusia atau suporter yang banyak, gagasannya sangat bisa untuk diimplementasikan.
”Tinggal selebihnya, saya berharap KLB bisa berjalan baik dan lancar. Lalu, para voters bisa memilih Exco (anggota Komite Ekeskutif PSSI) yang independen dan bersedia keluar dari klub agar tidak ada rasa curiga (konflik kepentingan) serta berkomitmen kuat,” terang Arif.