Kritik dan kecaman yang sempat menyertai persiapan dan penyelenggaraan Piala Dunia Qatar 2022 mereda karena turnamen yang menyisakan partai final berlangsung dengan aman, nyaman, dan tertib nyaris tiada komplain.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
Pengunjung berjalan di jalanan utama kawasan Medina Centrale yang berada di The Pearl, Doha, Qatar, Minggu (11/12/2022). The Pearl adalah kawasan pulau reklamasi di Qatar yang menyajikan kawasan pemukiman elite dan pertokoan ritel jenama terkenal.
Piala Dunia Qatar tersisa partai final. Seiring pesta bola Qatar edisi perdana di Jazirah Arab mendekati akhir, drama dan kritik berlatar isu sosial, budaya, politik, ekonomi, dan hukum, mereda.
Turnamen seolah kembali menjadi ajang pertandingan antartim terbaik yang memberi suka duka kepada pendukung, penggemar, dan penggila sepak bola. Sudah 12 tahun beragam kritik menyertai penyelenggaraan Piala Dunia sejak Qatar diumumkan sebagai tuan rumah.
Yang diingat tentu keraguan besar terhadap Qatar, negeri berupa semenanjung kecil di pesisir barat Laut Arab (Laut Persia), menyelenggarakan Piala Dunia. Keraguan itu terkait tim nasional Qatar yang belum pernah tembus putaran final hingga iklim gurun yang dicemaskan “menyiksa” peserta.
Kritik ditambah prasarana serta sarana yang belum dibangun dan sesuai standar FIFA. Namun, Qatar tidak terburu-buru menanggapi kritik dan keraguan itu.
Sejumlah perempuan, yang mengenakan pakaian tradisional dan penutup kepala, menghadiri acara pertunjukkan di Gurun Al-Zubarah, utara Qatar, menjelang Piala Dunia 2022, Senin (24/10/2022).
Mereka negara superkaya. Digelontorkan 220 miliar dollar AS atau Rp 3.344 triliun untuk membiayai seluruh pembangunan prasarana dan sarana serta operasional Piala Dunia. Bertahun-tahun kemudian, kritik dan keraguan tidak mereda, bahkan menghebat karena megaproyek menyedot kedatangan pekerja migran.
Qatar dianggap kurang manusiawi mengelola aspek ketenagakerjaan untuk mewujudkan ambisi sukses tuan rumah pesta bola terakbar. Qatar dan FIFA berkali-kali menyatakan Piala Dunia terbuka bagi siapa saja.
Otoritas Qatar, sejak Piala Dunia Rusia 2018, mencoba mengatasi kritik dan keraguan publik bumi dengan mematangkan persiapan dan sosialisasi. Ketika turnamen masih bergulir di Rusia, Qatar mengirim banyak tim untuk mengamati dan mencatat penyelenggaraan Piala Dunia. Semua itu, bermanfaat untuk mengantisipasi masalah ketika pesta bola sudah dilangsungkan di Qatar.
Yang terang, 62 laga dari 64 pertandingan di pesta bola Qatar telah dilaksanakan. Kecemasan akan terjadi kebijakan diskriminatif terhadap perempuan belum terjadi.
Pembatasan peredaran minuman beralkohol memang ada dan sejauh ini tidak dipersoalkan. Di zaman perkembangan media sosial, berbagai kritik dan kecaman jika banyak yang tidak becus di Piala Dunia Qatar tentu akan mudah tersampaikan ke penjuru bumi.
Dua suporter tim Brasil melompat untuk berfoto di kawasan wisata Corniche, Doha, Qatar, Rabu (23/11/2022). Brasil akan mengawali pertandingan penyisihan Grup G Piala Dunia Qatar melawan Serbia pada Jumat (25/11/2022).
Namun, sejauh ini, nada-nada sumbang tidak berdampak signifikan terhadap antusiasme dunia memantau turnamen ini. “Banyak dari kita meragukan kemampuan Qatar tetapi mereka meruntuhkannya. Pergerakan logistik pendukung ternyata lancar dan mulus. Seluruh prasarana dan sarana dioperasikan dengan baik dan maksimal seolah tiada komplain,” kata seorang diplomat Barat.
Kejutan di pekan pertama, misalnya, saat Arab Saudi menang 2-1 atas Argentina. Kemenangan itu mengubah sikap ribuan pendukung Arab Saudi yang sempat ingin memboikot Piala Dunia Qatar.
Di laga-laga Arab Saudi berikutnya, ternyata pendukung berdatangan ke Qatar demi melihat tim nasional berlaga di penyisihan Grup B meski kemudian kalah 0-2 dari Polandia dan 1-2 dari Meksiko. Arab Saudi cuma mengejutkan sekali lalu tersingkir.
Pemimpin kedua negara bertetangga, Arab Saudi dan Qatar, yang seolah tampak "dingin" ternyata mau berdampingan untuk menonton sepak bola sambil memegang bendera kecil negara mereka.
Pelatih Maroko diangkat para pemain seusai menang dalam laga melawan Portugal di Stadion Al Thumama Stadium di Doha, Qatar, Sabtu (10/12/2022).
Kejutan Maroko yang terus melaju ke semifinal turut mengikat solidaritas dan dianggap kemenangan dan simbol persatuan Afrika-Arab. Maroko kini jadi penantang serius dominasi sepak bola Eropa dan Amerika Latin.
Kita juga melihat bagaimana tim Eropa begitu konsern terhadap isu homoseksual dan LGBT. Mereka "berbicara" dengan ancaman ketidakhadiran pejabat negara ke Qatar atau pemain memaksa ingin memakai ban lengan One Love.
Mereka juga protes terhadap tindakan petugas keamanan di stadion kepada pembawa slogan antipemerintah Iran karena situasi politik yang panas di negeri itu. Lihatlah protes para pemain Jerman yang menutup mulut saat sesi foto sebelum bertanding sebagai protes bahwa Qatar tidak memerhatikan isu sosial politik.
Namun, kritik dan kecaman itu misalnya tidak memanaskan hati Qatar. Negeri ini tetap memenuhi permintaan suplai gas alam selama 15 tahun ke depan ke Jerman. Maklum, Jerman perlu energi dan tidak lagi akan disuplai Rusia yang berperang dengan Ukraina.
AFP/INA FASSBENDER
Pemain Tim Nasional Jerman menunjukan protes saat berpose jelang laga melawan Jepang di Stadion Khalifa International pada 23 November 2022.
“Tujuh tim pendukung #OneLove terdepak dari #WorldCup (Piala Dunia). Jika mereka lebih fokus bermain sepak bola daripada protes, mungkin masih akan bertahan,” ujar Reem al-Harmi, penulis Qatar.
Seorang diplomat Eropa mengatakan, pesta bola Qatar tidak meniadakan kritik. Tuan rumah menerima semua serangan itu tetapi terus bekerja agar turnamen terselenggara sebaik-baiknya. Qatar memperkirakan 1,2 juta pengunjung internasional akan datang di sebulan penuh turnamen. Namun, catatan mereka, yang hadir lebih kurang 765.000 orang. Kepadatan orang berkurang seiring tim-tim berguguran dari Asia, Amerika, Eropa, dan Afrika.
“Kami percaya inilah Piala Dunia yang inklusif,” kata Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani. (REUTERS)