Brasil berduka karena kalah dari Kroasia sedangkan Argentina bersuka karena menang atas Belanda.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
Brasil dan Argentina menjalani nasib berbeda seusai menjalani adu penalti di perempat final Piala Dunia Qatar 2022. Brasil menepi. Argentina melaju kencang. Duka di Rio de Janeiro hingga Sao Paulo. Sukacita di Buenos Aires.
Di salah satu sudut bar di Sao Paulo, Sergio Faria (34) sulit menerima kenyataan saat Brasil kalah di tangan Kroasia di Stadion Education City, Doha, Jumat (9/12/2022). Wajahnya lesu. Kontras dengan topi besar berwarna cerah, hijau-kuning. Dia tidak percaya satu tembakan Kroasia mengalahkan serbuan serangan Brasil.
”Rasa yang aneh. Ini momen teraneh Brasil tersingkir. Aku tak bisa melihat mengapa Brasil tidak kembali agresif,” kata Faria.
Seperti banyak pendukung yang kecewa, dia mempertanyakan keputusan pelatih. Itu dinilainya menjadi biang keladi Brasil gagal menghadapi Argentina di semifinal.
”Aku tak mengerti kenapa pelatih Tite menarik Vini Junior untuk Antony. Mengapa Neymar bukan penendang pertama penalti, ujar Faria.
Neyla Berle (56) lebih sendu. Terduduk lesu di trotoar Vila Madelena, dia sulit menahan tangis. Hatinya lesu seperti deretan bar yang batal menggelar pesta kemenangan.
“Sepertinya kami perlu pelatih asing yang bisa menjamin tim juara. Kami mengira Tite adalah pilihan terbaik tetapi ternyata dia (juga) membawa kegagalan,” katanya.
Air mata
Dia juga gemas saat Kroasia justru bisa membuat gol balasan dari serangan balik. Kemenangan di depan mata sirna begitu saja.
”Aku tak percaya Brasil membiarkan Kroasia membuat gol balasan dari serangan balik ketika semifinal cuma tinggal beberapa menit,” ujar Berle.
Hati Giovana Arcanjo (22), warga Brasil, juga tersiksa dua kali. Sedih karena kekalahan Brasil, putri kecilnya Ana Luiza tidak berhenti menangis.
”Putriku amat emosional. Telepon selulernya berhias Piala Dunia dan wajah pemain. Kami mengira trofi keenam bisa diraih ternyata tidak sekarang,” katanya.
Terpisah sekitar 400 kilometer dari Sao Paulo, Pantai Copacabana di Rio de Janeiro juga dibasahi air mata. Lucas Santos (45) dan kedua anaknya, Eduardo (10) dan Henrique (13), menangis bersama.
Kegagalan tahun ini membuat semuanya harus berumur panjang untuk setidaknya melihat Brasil berbicara lebih baik di Amerika Serikat-Kanada-Meksiko 2026.
”Aku melihat Brasil memenangi Piala Dunia 1994 dan 2002. Amat menyakitkan, melihat kegagalan ini bersama anak-anak,” kata Santos.
Di matanya, Tite yang sempat dipuja di babak sebelumnya karena mampu membangkitkan Jogo Bonito adalah orang yang harus bertanggung jawab.
”Banyak pemain masih bisa dipanggil untuk dua Piala Dunia lagi,” ujar Santos mengomentari pemain muda yang mengisi skuad Brasil saat ini.
Sebaliknya, saat Brasil berduka, pendukung Argentina menggila. Timnas mereka mengalahkan Belanda dalam laga panas dengan skor 4-3 (2-2).
Untuk Maradona
Di Buenos Aires, ibu kota Argentina, rakyat bersorak. Bendera nasional dikibarkan bak sudah menjadi juara.
Mereka berlarian di jalanan, berenang di jalan banjir, dan menari di kereta bawah tanah. Salah satu yang bahagia adalah Juan Martinez (30). Kami hampir kehilangan harapan. Namun, kami tetap bersuka cita karena bertahan dan melangkah ke semifinal,” kata Martinez, seusai laga di suatu bar di Buenos Aires.
Nicolas Rearte (21), warga Buenos Aires lainnya, mengatakan, keberhasilan timnas sungguh luar biasa. Diawali hasil buruk di pertandingan pertama, Argentina bangkit.
”Semoga trofi ketiga bisa diraih agar kami terus bergembira,” kata Rearte.
Di Qatar, kapten Argentina Lionel Messi merasa kemenangan di babak perempat final ini diperhatikan Diego Maradona. Legenda yang berpulang dua tahun lalu itu saksi kehebatan Argentina merebut Piala Dunia terakhir di Meksiko 1986.
”Diego terus mendukung dan melihat kita dari surga. Aku berharap tetap seperti itu sampai akhir,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)