Australia menjadi negara dengan gelar Piala Davis terbanyak kedua setelah Amerika Serikat. Dari 28 gelar yang diraih, trofi terakhir didapat pada 2003. Kini, Australia kembali membuka peluang juara dengan lolos ke final.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
MALAGA, JUMAT - Tim tenis putra Australia bisa berharap menjuarai Piala Davis kembali dengan lolos ke final tahun ini. Final sebelumnya mereka capai pada 2003 ketika menjadi juara dengan mengalahkan Spanyol.
Final bersejarah bagi “Tim Kanguru” itu dicapai setelah mengalahkan Kroasia 2-1 pada semifinal yang berlangsung di Malaga, Spanyol, Jumat (25/11/2022) sore waktu setempat atau Sabtu dini hari WIB. Lawan pada final, yang akan berlangsung Minggu, adalah pemenang laga Italia melawan Kanada. Semifinal kedua tim itu berlangsung Sabtu.
“Sudah sangat lama Australia tidak ke final. Kami sangat bangga dan saya pun bangga pada semua pemain. Mereka berhak bersaing di final dan memiliki peluang juara,” ujar Kapten Tim Australia Lleyton Hewitt.
Mantan petenis nomor satu dunia itu menjadi bagian dari tim juara Piala Davis 1999 dan 2003 yang merupakan dua gelar terakhir Australia. Total, Australia 28 kali menjadi juara dan hanya berada di bawah Amerika Serikat dengan 32 gelar.
Gelar juara bagi Australia dimulai pada 1907. Mereka pun meraih gelar pada setiap dekade sejak 1950-an hingga terakhir kali pada 2003.
Mereka yang membawa tim putra Australia berjaya pada “Piala Dunia” tenis ini diantaranya Rod Laver, Tony Roche, Roy Emerson, dan John Newcombe pada era 1950-an hingga 1970-an. Pada era 1980-an, ketika Piala Davis mulai menggunakan format Grup Dunia, Australia dua kali menjadi juara, yaitu pada 1983 dan 1986, dengan mengandalkan Pat Cash. Pada era tersebut, mulai muncul kekuatan lain yang menjadi pesaing berat Australia dan AS, seperti Ceko, Swedia, dan Jerman Barat.
Pada masa 1990-an hingga awal 2000, era baru tenis putra Australia lahir dengan kemunculan Hewitt, Mark Philippoussis, serta duet “The Woodies”, Mark Woodforde dan Todd Woodbridge. Mereka membawa tim “Negeri Kanguru” juara pada 1999 dan 2003, sebelum kekuatan tenis putra dunia beralih pada negara-negara Eropa, diantaranya Spanyol, Rusia, Serbia, dan Ceko.
Di Malaga, Alex De Minaur dan kawan-kawan membuka peluang mengulang prestasi para seniornya. Setelah kehilangan partai pertama ketika Thanasi Kokkinakis kalah dari Borna Coric, 4-6, 3-6, Australia memenangi dua laga berikutnya. De Minaur tampil gemilang dengan mengalahkan juara Grand Slam AS Terbuka 2014, Marin Cilic, 6-2, 6-2.
Mereka berhak bersaing di final dan memiliki peluang juara.
“Marin adalah kompetitor yang sangat tangguh, dia punya banyak pengalaman tampil dan menjadi juara ajang besar. Sebelum bertanding, saya pun tahu apa yang akan dihadapi. Saya harus bermain agresif dan sesolid mungkin,” tutur De Minaur.
Dengan skor imbang, setiap persaingan yang terdiri atas dua tunggal dan satu ganda ini, berlanjut ke partai ganda yang menjadi penentu. Satu servis pasangan Kroasia, Nikola Mektic/Mate Pavic, yang dipatahkan pada set ketiga, menjadi penentu kemenangan Australia. Max Purcell/Jordan Thompson menang dengan skor 6-7 (3), 7-5, 6-4.
Persaingan di Malaga ini berlangsung sejak perempat final hingga final, 22-27 November di Malaga. Ini menjadi lanjutan fase penyisihan grup Putaran Final (dulu disebut Grup Dunia) pada 13-18 September di Bologna (Italia), Glasgow (Skotlandia), Hamburg (Jerman), dan Valencia (Spanyol) . Ketika itu persaingan diikuti 16 tim yang dibagi dalam empat grup dengan format round robin. Dua tim berperingkat teratas dari setiap grup tampil di Malaga.
Pemilihan Thompson untuk bermain pada ganda dinilai sebagai taktik yang jitu dari Hewitt. Semula, Purcell akan tampil bersama partnernya, Matthew Ebden. Mereka menjuarai ganda putra Wimbledon.
Akan tetapi, pergantian pemain dilakukan pada menit-menit akhir karena cedera ringan yang dialami Ebden. Hewitt menilai, Purcell dan Thompson memiliki ikatan yang baik hingga akhirnya mereka diputuskan untuk bermain bersama.
De Minaur berpendapat, dia dan rekan-rekannya memiliki peluang besar untuk mengalahkan Italia atau Kanada di final. “Kami bermain dengan ‘hati’ dan kebanggaan mewakili Australia,” kata petenis peringkat ke-24 dunia itu.
Dukungan Berrettini
Meski tidak bisa tampil karena cedera kaki, Matteo Berrettini memberi dukungan penuh pada rekan-rekannya untuk menghadapi Kanada pada semifinal, Sabtu. Dia, bahkan, ikut berlatih bersama Fabio Fognini dan kawan-kawan, pada Jumat.
“Jika keputusan diserahkan pada saya, saya akan bermain meski dengan satu kaki. Namun, saya harus objektif dan mendukung tim dengan cara lain,” kata petenis nomor dua Italia itu.
Finalis Wimbledon 2021 tersebut memilih untuk berada di Malaga. “Saya banyak melewatkan Piala Davis. Saya ingin berada di sini karena jika berada di rumah saat tim bermain, saya akan sangat menderita,” katanya.
Selain Berrettini, Italia tak diperkuat petenis terbaik mereka, Jannik Sinner. Mereka pun mengandalkan petenis berusia 20 tahun, Lorenzo Musetti; Lorenzo Sonego; dan Fognini sebagai yang paling berpengalaman untuk menghadapi Felix Auger-Aliassime dan kawan-kawan. (AP/AFP)