Jepang tidak perlu menguasai bola. Mereka bahkan juga tidak perlu menjadi penemu taktik sepak bola memukau, layaknya Jerman atau Spanyol. Justru, dengan kesederhanaannya, mereka mampu memukau dan menginspirasi dunia.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·6 menit baca
Bersikap sederhana, tidak berlebihan, namun berpikir mulia. Demikian kiranya intisari yang bisa diserap dari keberhasilan Jepang menjungkalkan juara dunia empat kali, Jerman, pada laga penyisihan grup Piala Dunia Qatar 2022, Rabu (23/11/2022). Pada laga itu, Jerman—guru, negara kiblat sepak bola warga Jepang—justru diajarkan murid setianya bagaimana sepak bola seharusnya diperlihatkan.
Sepak bola sejatinya bukan soal berpongah, pamer serangan. Goal alias target utamanya adalah memenangkan sebuah laga, apalagi di panggung sebesar Piala Dunia. Maka, bukanlah tanpa alasan Alan Shearer, legenda Inggris, berkali-kali mengingatkan, “sepak bola bukan semata-mata soal mencetak gol, melainkan lebih tentang kemenangan.”
Shearer paham betul perkataannya itu. Pada Piala Dunia 1998 di Perancis, ia adalah bagian dari skuad kaya talenta yang disebut-sebut cikal bakal generasi emas Inggris. Saat masih berusia 27 tahun, ketika itu, ia memimpin barisan calon megabintang tim “Tiga Singa”, seperti Michael Owen, David Beckham, Paul Scholes, Rio Ferdinand, dan Sol Campbell.
Hasilnya? Inggris disingkirkan Argentina di babak 16 besar karena kenaifannya. Beckham, yang masih sangat muda, 23 tahun, dikartu-merah wasit Milton Den karena tak bisa mengendalikan emosinya. Bukan hanya banyak peluang gol, talenta besar Inggris ketika itu pun banyak terbuang percuma, menyisakan pelajaran berharga bagi generasi saat ini.
Pelajaran serupa diperlihatkan Jerman di Stadion Internasional Khalifa, Qatar, kemarin. Tim “Panser”, yang datang ke Qatar dengan membawa trauma tersingkir dini di penyisihan grup Piala Dunia Rusia 2018, ternyata belum belajar betul dari kegagalannya saat itu. Datang dengan pelatih baru yang sukses di Bayern Muenchen, Hansi Flick, Jerman memilih pendekatan blitzkrieg, yaitu serangan masif dengan pengerahan seluruh kekuatan dari berbagai lini, untuk melawan Jepang.
Jerman, yang ingin menunjukkan telah bangkit dari kehancuran di edisi Rusia, memamerkan serangan bergelombang yang ditopang skuad mewahnya senilai Rp 14 triliun ke pertahanan Jepang. Secara materi, Jepang memang bukan tandingan Jerman yang tampil dengan perpaduan veteran (seperti Thomas Mueller) dan pemain muda potensial (macam Jamal Musiala). Nilai skuad Jepang hanya Rp 2,5 triliun atau seperenam dari “der Panzer”.
"Olok-olok" Ruediger
Jurang perbedaan materi pemain itulah yang mungkin membuat bek Jerman yang berkarier di Real Madrid, Antonio Ruediger, melakukan hal tak senonoh. Pada menit ke-64 laga itu, ketika tim “Panser” memimpin 1-0, Ruediger mengejar penyerang Jepang, Takuma Asano, dengan gaya lari yang janggal, yaitu seperti berjingkrak-jingkrak, seraya melepas tawanya. Ia bak mengejek ke lawannya yang mungil, terpaut tinggi 17 sentimeter, itu.
Adegan itu mirip dengan yang terjadi pada laga Bundesliga Jerman, Agustus lalu. Saat itu, Freiburg menghadapi Borusia Dortmund. Bek baru Dortmund, Nico Schlotterbeck, menjadi sorotan karena pulang ke bekas klubnya, Freiburg, sebagai lawan. Dalam posisi timnya tertinggal, sang bek muda tim nasional Jerman melakukan intimidasi dengan menekel keras Ritsu Doan, winger baru Freiburg asal Jepang.
Puncaknya, Moriyasu menghunuskan katana ke jantung Flick melalui jurus serangan kilat efisien nan mematikan yang dieksekusi sempurna Asano. Jerman, yang menjuarai Piala Dunia Brasil 2014 berkat kedisiplinan dan efisiensi serangan dalam menyerang, terbunuh oleh ilmunya sendiri di Stadion Khalifa.
Doan mengerang hebat dan kesulitan melanjutkan laga. Pelatih Freiburg Christian Streitch, yang berada di pinggir lapangan, berang melihat tindakan kasar mantan anak asuhannya itu. Ia kian kesal karena akhirnya timnya kalah, 1-3. “Saya ingin memberikan pesan (lewat tekel kerasnya ke Doan), yaitu membangunkan tim,” ujar Schlotterbeck membela diri, seperti dikutip Deutsche Welle.
Baik Ruediger maupun Schlotterbeck mungkin lupa atau tidak tahu ada pepatah, “siapa yang menabur angin, dia akan menuai badai”. Doan dan Asano menjadi protagonista di balik skenario comeback gemilang Jepang yang didesain sempurna oleh pelatih Hajime Moriyasu lewat perubahan taktik pada babak kedua.
Ruediger hanya bisa melongo tanpa bisa tertawa ketika Doan menyambar bola ke gawang timnya pada menit ke-75 laga itu. Adapun Schlotterbeck sungguh “tertidur” ketika Asano berakselerasi ke areal pertahanan timnya dan merobek gawang Manuel Neuer lewat sudut yang sangat sempit.
Menimba ilmu di Jerman
Jerman lupa, delapan dari skuad Jepang yang diturunkan ketika itu menimba ilmu dari sepak bola buatan mereka sendiri, yaitu Bundesliga. Doan dan Asano (Vfl Bochum) hanyalah salah dua di antara mereka. Para pemain timnas Jepang sejak lama, setidaknya tiga dekade terakhir, menimba ilmu di Jerman. Para pemain tim “Samurai Biru” menjadikan negara penemu taktik gegenpressing itu sebagai batu loncatan dalam kariernya.
Maka, tak heran, Jepang sering disebut “Prussian (Kerajaan Jerman) di Asia”, merujuk pada istilah ahli sejarah Jerman, Manfred Osten. Jepang mengimpor nilai kedisplinan, kerja keras, dan presisi, dari negara maju Eropa tersebut. Nilai-nilai itu lantas dipadukan Moriyasu dengan nilai-nilai etik bushido khas Jepang, yaitu kesederhanaan, pengendalian diri atau ketenangan, dan keteguhan menjaga kehormatan diri.
Perpaduan nilai-nilai tersebut menjadi resep ampuh Jepang menjungkalkan gurunya sendiri, Jerman. Tim Samurai Biru tetap tenang, meskipun tertinggal lebih dulu dan dikepung para pemain Jerman dari berbagai arah. Barisan bek hingga gelandang Jepang disiplin mengawal barisan pemain Jerman. Kiper Suichi Gonda tidak ketinggalan jatuh-bangun menjaga kehormatan, gawangnya, agar tidak kebobolan lebih banyak.
Puncaknya, Moriyasu menghunuskan katana ke jantung Flick melalui jurus serangan kilat efisien nan mematikan yang dieksekusi sempurna Asano. Jerman, tim yang menjuarai Piala Dunia Brasil 2014 berkat kedisiplinan dan efisiensi serangan dalam menyerang (khususnya optimalisasi peluang dalam situasi bola mati), terbunuh oleh ilmunya sendiri di Stadion Khalifa.
Sejarah terulang
Opta mencatat, Jepang adalah tim kedua sepanjang sejarah yang memenangi laga Piala Dunia dengan penguasaan bola sangat rendah, yaitu 26,2 persen. Urutan pertamanya? Korea Selatan asuhan Shin Tae-yong (26 persen ball possession) di Piala Dunia 2018 silam. Tragisnya, Jerman pula yang dijungkalkan Korsel saat itu.
Jerman kini mengalami deja vu. Kegagalan beruntun di penyisihan grup menghantui. Publik mulai mempertanyakan reputasi mereka sebagai tim “spesialis turnamen”. Untuk mengembalikan reputasi itu, Flick dan timnya wajib belajar bercermin, seperti halnya Jepang yang selalu mawas diri. Belum ada kata terlambat, walaupun jalan mereka ke fase gugur kini menjadi amat berat.
Walaupun tidak mudah, peluang itu masih terbuka saat menghadapi juara dunia 2010 yang tengah mengalami renaisans, Spanyol. Berbeda dengan Jepang yang memainkan pertahanan low block, Spanyol asuhan Luis Enrique merupakan tim yang menggemari penguasaan bola tinggi ala tiki-taka. Taktik tiki-taka, seperti terlihat satu dekade terakhir, sangatlah rentan dengan gaya counter pressing atau gegenpressing ala Jerman yang menjadi keahlian Flick.
Syaratnya, agar berhasil, Jerman harus meniru mentalitas Jepang yang pantang meremehkan lawan. Meskipun didominasi generasi baru pemain muda, seperti Pedri dan Gavi, Spanyol saat ini sangat mengintimidasi siapa pun. Mereka baru saja menenggelamkan Kosta Rika, 7-0, nyaris tanpa berkeringat. Syarat lainnya, Jerman harus mau kembali ke jati dirinya yaitu tampil sederhana namun mematikan, tanpa harus mendominasi permainan.
Jerman harus belajar pula dari keteguhan fans Jepang. Alih-alih larut dalam keriaan, seusai mengalahkan Jerman, sebagian fans Jepang memilih bertahan di tribune Stadion Khalifa di Qatar sambil memunguti satu persatu sampah yang ditinggalkan para penonton. Seperti dikatakan Bill Belichick, pelatih ternama, talenta adalah lantai. Namun, karakter merupakan atap, langit-langit, dari sebuah rumah. Tanpa atap, lantai bagus hanyalah kesia-siaan..