Tren bersepeda tetap bertahan meski Pandemi Covid-19 terkendali. Kini, tren ini didorong untuk menjadi kebutuhan transportasi sehari-hari demi mengurangi kemacetan dan polusi.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tren olahraga bersepeda terus berlanjut meski pandemi Covid-19 sudah terkendali. Tahun lalu, tren bersepeda meningkat drastis ketika pandemi belum terkendali. Orang-orang secara individu maupun berkomunitas semakin banyak bersepeda walau jika terus ditekuni olahraga ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pesepeda juga didorong untuk menjadikan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari.
Salah satunya, Lukman Hakim (45), pegawai BUMN mengaku "ketagihan" bersepeda sejak 2021. Pagi ini, Sabtu (19/11/2022) dia berangkat sebelum matahari terbit sekitar pukul 05.00 dari Depok ke Sentul, Jawa Barat untuk bersepeda bersama teman-teman.
Sesampainya di Sentul sekitar pukul 06.15, dia sudah ditunggu tiga orang teman yang sudah sampai di titik temu di Taman Budaya, Sentul. Lukman langsung memarkirkan mobilnya, lalu bersiap menggunakan sepatu khusus pesepeda dan menurunkan sepedanya dari mobil.
Mereka berempat kemudian melakukan pemanasan meregangkan otot sebelum mulai menanjak ke kilometer nol Sentul, Bojong Koneng. Sebelum memulai gowes mereka memastikan botol air terisi penuh dan mengatur jam tangan pintar (smartwatch) untuk mencatat perjalanan hari ini.
Saya bersepeda generasi pandemi, baru aktif 2021. Awalnya diajak teman-teman saja untuk jaga kesehatan, ikut sekali dua kali di dalam kota Jakarta, ujungnya ketagihan.
"Saya bersepeda generasi pandemi, baru aktif 2021. Awalnya diajak teman-teman saja untuk jaga kesehatan, ikut sekali dua kali di dalam kota Jakarta, ujungnya ketagihan. Kalau ke Sentul ini sudah tujuh kali, lewat jalur Bojong Koneng ini baru sekali ini," kata Lukman.
Sekitar pukul 06.30 mereka berempat bergegas memulai perjalanan sebelum cuaca mulai panas. Jalur yang akan mereka tempuh hari ini adalah sejauh 10 km, pergi pulang jadi 20 km. Jalur ini dikenal cocok bagi penyuka tanjakan karena memiliki total lima tanjakan sebelum mencapai km nol.
Tanjakan pertama dimulai saat mengarah ke Taman Budaya, kemudian tanjakan kedua yang dikenal sebagai Tanjakan Gergaji saat menuju Bojong Koneng. Tanjakan selanjutnya dikenal dengan nama Tanjakan Curug, Tanjakan Kayangan, dan Tanjakan SD Bojong Koneng, sebelum akhirnya sampai di titik Km 0 Sentul yang berada di ketinggian 650 meter di atas permukaan laut.
Jalur ini dikenal lebih terjal dari jalur satunya yang dimulai dari depan perumahan Rainbow Hills. Jalur kedua ini jaraknya lebih jauh sekitar 15 km, namun jalannya lebih lebar dan landai, sehingga tidak perlu khawatir saat berbagi jalan dengan pengendara lain.
Perjalanan Lukman dan kawan-kawan menanjak berlangsung sekitar 40 menit dengan kecepatan yang tercatat di smartwatch 14,5 km/jam. Bagi mereka, setiap tanjakan dianggap sebagai tanjakan terakhir, sehingga secara psikologis tidak terbebani demi mencapai puncak di titik Km 0 Sentul.
"Jalur ini lebih menantang, sekarang lebih bagus jalannya sudah diaspal, masyarakatnya juga ramah. Kuncinya tidak usah terburu-buru, pintar-pintar mengatur nafas, kalau disalip biarin saja, yang penting sampai atas aman, badan kita jangan dipaksa, perhatikan detak jantung juga," tutur Lukman.
Lukman mengungkapkan, sepeda pertamanya saat itu adalah road bike merek lokal Polygon seharga Rp 35 juta. Lama-lama hobi ini semakin ditekuni hingga ia membeli lagi sepeda road bike merek S-Works buatan Inggris dan mengganti beberapa bagian lain di sepedanya, serta aksesoris seperti helm, sepatu, dan sepatu hingga total mencapai Rp 170 juta.
"Rata-rata begitu kalau sepeda, waktu itu lagi mahal-mahalnya sepeda karena lagi ramai, peminatnya banyak, sementara stoknya terbatas. Perintilannya ini yang bikin tambah mahal," sahut Fajar, teman Lukman.
Hobi bersepeda ini hampir dilakukan Lukman setiap pagi sebelum bekerja ia bersepeda mengitari Jalan Sudirman-Thamrin selama 30 menit, lalu mandi di kantor sebelum lanjut bekerja. Selain itu, Lukman dan kawan-kawan juga pernah mengikuti sejumlah acara tur sepeda seperti Tour de Borobudur 2022 dari Stadion Manahan, Solo ke Candi Borobudur, Magelang, dua pekan lalu.
Setelah sampai di Km 0 Sentul, mereka pun berhenti istirahat di sebuah warung untuk minum dan mengobrol membicarakan setiap tanjakan yang mereka lalui. Tak lupa mereka berfoto di depan spanduk penanda titik nol km Sentul dengan meminta tolong juru parkir untuk memotret mereka.
Bagi juru parkir, Idris, kehadiran pesepeda yang meramaikan Bojong Koneng adalah sebuah keberkahan tersendiri. Dia bisa mengantongi sekitar Rp 150 ribu pada hari kerja atau bahkan bisa mencapai Rp 300 ribu pada akhir pekan dari uang tip yang diberikan pesepeda.
"Senang sekali kalau pariwisata di sini jadi ramai. Warga di sini sama sekali tidak terganggu, warung, kafe, kami juru parkir juga kebagian rezeki" tutur Idris.
Keindahan alam yang masih asri di Sentul menjadi "magnet" tersendiri bagi pesepeda untuk berolahraga di sini. Selain karena tak jauh dari Jakarta, pesepeda juga bisa menikmati pemandangan hijau yang langka di Ibu Kota dan bisa mampir menikmati wisata air terjun yang cukup banyak di Sentul.
Wakil Sekretaris Bidang Komunitas Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) Dimmy Hidayat mengaku senang dengan animo bersepeda yang semakin meningkat di masyarakat. Jumlah komunitas juga berkembang pesat sejak awal pandemi kini sudah mencapai ratusan komunitas.
PB ISSI berharap olahraga bersepeda ini tidak hanya menjadi hobi yang dilakukan di waktu senggang semata, melainkan menjadi kebutuhan untuk transportasi sehari-hari. Jalanan di Jakarta dan sejumlah kota besar lain juga sebenarnya sudah ramah bagi pesepeda, namun perlu edukasi bagi masyarakat untuk saling menghargai sesama pengguna jalan.
"Mahal murahnya sepeda itu relatif sesuai kebutuhan. Kalau untuk bekerja di Jabodetabek bisa naik KRL terus lanjut naik sepeda lipat ke kantor tentu tidak mahal, jalur sepeda juga sudah bagus. Gerakan bersepeda untuk bekerja (bike to work) ini yang seharusnya memasyarakat demi mengurangi kemacetan dan polusi," kata Dimmy saat dihubungi, Sabtu (19/11).
Meski pandemi Covid-19 belum akan berubah menjadi endemi meski sudah berlangsung tiga tahun dan bahkan jumlah orang yang terpapar Covid-19 justru meningkat dalam beberapa pekan terakhir di Indonesia akibat sub varian BQ1. Namun, tren berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh tanpa melupakan protokol kesehatan adalah keharusan.