Panggung "Reinkarnasi" Barisan Striker Murni di Piala Dunia 2022
Setelah sempat terpinggirkan, fungsi striker murni kembali vital di sepak bola saat ini. Maka, Piala Dunia 2022 diprediksi akan menjadi arena pertempuran sekaligus ”reinkarnasi” peran barisan predator di depan gawang.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·6 menit baca
Pada era sepak bola modern, peran striker murni sedikit memudar. Salah satu pemicunya adalah ketika Barcelona asuhan Josep ”Pep” Guardiola mengguncang dunia dengan tiki-taka.
Akan selalu ada antiformula dari sebuah penemuan taktik brilian. Seperti halnya total football di Belanda, pesona tiki-taka pun akhirnya memudar setelah banyak tim menerapkan taktik low block alias ”parkir bus”.
Tim-tim nonunggulan di Piala Dunia biasanya akan memilih bermain aman, menumpuk pemain di sepertiga akhir pertahanan, dan menunggu peluang serangan balik. Dalam kondisi itu, peran predator berinsting tajam bisa menjadi pembeda.
Piala Dunia Qatar 2022 kemungkinan besar akan menjadi palagan ”reinkarnasi” barisan pemain nomor sembilan murni yang terpinggirkan selama satu setengah dekade terakhir. Evolusi taktik sepak bola modern membuat peran vital pemain bernomor punggung sembilan, yang sempat menghilang, kini kembali dibutuhkan tim-tim.
Dalam dunia sepak bola, nomor punggung sembilan biasanya dikenakan seorang pemain bertipe penyerang murni. Tugas utama pemain ini adalah mencetak gol. Pemahaman tersebut berkembang di era sepak bola klasik, yaitu sebelum tahun 2010-an. Pemain di posisi penyerang tengah senantiasa bergerak di depan gelandang dan mengeksploitasi ruang di areal kotak penalti tim lawan.
Sejumlah pemain bernomor punggung sembilan yang sempat berjaya sebagai penyerang tajam, antara lain Ronaldo Luiz Nazario de Lima (Brasil), Gabriel Batistuta (Argentina), dan Alan Shearer (Inggris).
Ronaldo menjadi contoh paling tepat bagaimana penyerang murni bertindak di atas lapangan. Pencetak gol terbanyak Piala Dunia Korea Selatan-Jepang 2002 ini begitu garang di depan gawang. Pergerakannya lincah dan memiliki akurasi tembakan yang sangat tinggi.
Mengingat penyerang nomor sembilan klasik lebih banyak beroperasi di area pertahanan lawan, mereka juga biasanya memiliki kemampuan membaca ruang dan penempatan posisi yang mengagumkan. Ronaldo selalu bisa menciptakan peluang berbahaya, sekalipun ia tidak banyak bergerak atau berlari sebagaimana penyerang bayangan (second striker).
Pada era sepak bola modern, peran striker murni sedikit memudar. Salah satu pemicunya adalah ketika Barcelona asuhan Josep ”Pep” Guardiola mengguncang dunia dengan tiki-taka, yaitu taktik yang bertumpu pada penguasaan bola yang dominan dengan sentuhan operan satu-dua yang jitu.
Taktik yang awalnya dikembangkan di La Masia, akademi sepak bola Barcelona, itu terinspirasi dari gaya total football ala Belanda yang dibawa Johan Cruyff ke Spanyol. Pakem total football mirip tiki-taka yang mengharuskan setiap pemain bergerak dinamis, tanpa terpaku pada posisi utamanya, dalam berbagai situasi di lapangan.
"Total football"
Dalam total football atau tiki-taka, penyerang dituntut tidak hanya terpaku di area pertahanan lawan. Mereka wajib ikut berperan aktif dalam membangun serangan. Dengan kata lain, taktik itu menuntut peran ekstra dari para ujung tombak. Mereka akan lebih dominan bergerak menjemput bola pada ruang di antara pemain belakang lawan dan lini tengah.
Sejarah berulang dengan sendirinya. Peran striker murni perlahan kembali dibutuhkan sebagai formula baru untuk merespons taktik gerilya tim-tim yang menerapkan garis pertahanan rendah.
Tuntutan taktik itu biasanya sulit diakomodasi para striker murni yang terbiasa menunggu bola di kotak penalti lawan. Tak pelak, barisan predator gol, seperti Samuel Eto’o dan Zlatan Ibrahimovic, menjadi agak terpinggirkan di era Guardiola. Para ”target man” itu kurang cocok dengan pola tiki-taka yang lantas sempat diadopsi luas.
Namun, sepak bola adalah olahraga permainan yang sangat dinamis. Tidak ada taktik yang selamanya bisa jitu dipakai untuk mengalahkan tim lawan. Akan selalu ada antiformula dari sebuah penemuan taktik brilian. Seperti halnya total football di Belanda, pesona tiki-taka pun akhirnya memudar setelah banyak tim menerapkan taktik low block alias ”parkir bus”.
Dalam kondisi itu maka terjadi histoire repete. Sejarah berulang dengan sendirinya. Peran striker murni perlahan kembali dibutuhkan sebagai formula baru untuk merespons taktik gerilya tim-tim yang menerapkan garis pertahanan rendah.
Garis pertahanan rendah menyulitkan tim dengan penguasaan bola yang dominan, seperti Spanyol, untuk melakukan penetrasi mematikan ke sepertiga terakhir wilayah belakang lawan. Dalam kondisi seperti itu, pilihan yang tersedia antara lain mengoper bola melebar ke sisi sayap dan melepaskan umpan silang untuk mencetak gol. Cara bermain seperti itu membutuhkan pemain yang kuat dalam perebutan bola serta tampil efisien di mulut gawang.
Tak pelak, sejumlah penyerang melakukan adaptasi untuk menyesuaikan kebutuhan baru itu. Adaptasi itu antara lain dilakukan megabintang Portugal yang bermain untuk Manchester United, Cristiano Ronaldo. Ia mengubah posisi, yaitu dari awalnya penyerang sayap kiri, menjadi striker tengah.
Kecenderungan itu juga ditunjukkan Liverpool musim ini yang kerap menempatkan Mohamed Salah sebagai penyerang tengah. Padahal, Salah dikenal sebagai penyerang sayap yang lincah menyisir sisi kanan.
”Kecenderungan saat ini menunjukkan pemain sayap bisa bermain di depan. Ronaldo memulai (tren) itu dan berubah menjadi salah satu pencetak gol terhebat sepanjang masa. Jadi, tidak diragukan lagi, sangat mungkin untuk bergerak dari luar ke tengah dan tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan gol,” ujar Shearer dikutip dari The Athletic.
Kebutuhan terhadap pemain nomor sembilan dirasakan Guardiola di Manchester City. Sebelum musim 2022-2023 bergulir, Guardiola beberapa kali menyampaikan urgensi kehadiran penyerang murni. Erling Haaland, penyerang asal Norwegia, lantas dipilih. Sayang, ia tidak akan tampil di Piala Dunia Qatar karena negaranya itu tidak lolos kualifikasi.
”Erling memiliki semua yang kami inginkan dari seorang striker. Kami yakin dia akan unggul dalam skuad dan sistem ini,” kata Direktur Sepak Bola Manchester City Txiki Begiristain dikutip dari Manchester Evening News.
Pilihan itu terbukti tepat. Musim ini, Haaland menjelma sebagai penyerang yang ditakuti barisan pemain bertahan. Ia telah mencetak 18 gol dari 13 penampilan di Liga Inggris. Kecepatan, kejelian menempatkan posisi, dan akurasi tembakannya, begitu sulit dihentikan.
Evolusi peran penyerang sayap maupun kebutuhan terhadap striker murni bisa jadi bakal berlanjut di Piala Dunia. Dalam ajang yang memakai sistem turnamen itu, tim-tim nonunggulan biasanya akan memilih bermain aman, menumpuk pemain di sepertiga akhir pertahanan, dan menunggu peluang serangan balik. Dalam kondisi itu, peran predator berinsting tajam bisa menjadi pembeda.
Sedikit penalti
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan di Piala Dunia nanti adalah tentang potensi penalti. Lembaga statistik data sepak bola, Opta, memprediksi jumlah penalti di Qatar 2022 tidak akan sebanyak edisi sebelumnya, yaitu Rusia 2018.
Ketika itu, terjadi 29 penalti. Sebanyak 24 penalti terjadi di penyisihan grup, adapun lima lainnya di fase gugur. Jumlah penalti di Rusia menjadi yang terbanyak dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia selama 52 tahun terakhir.
Piala Dunia Qatar akan menjadi arena pembuktian striker nomor sembilan, seperti Kane, Robert Lewandowski (Polandia), dan Romelu Lukaku (Belgia) untuk membuktikan ketajamannya.
Penggunaan teknologi asisten video wasit (VAR) ditengarai menjadi pemicu menurunnya jumlah penalti fase gugur edisi Rusia. Para pemain mulai beradaptasi dengan teknologi baru itu dan lebih berhati-hati di kotak penalti. Rusia 2018 adalah edisi perdana Piala Dunia terkait implementasi VAR.
Maka, pemain belakang saat ini tidak ingin gegabah menjegal lawan dan lantas terdeteksi VAR sehingga berpotensi terkena hukuman penalti. Dengan pertimbangan itu, jumlah penalti di Piala Dunia Qatar diprediksi tidak akan melampaui edisi Rusia 2018.
Apabila prediksi tersebut benar, sejumlah predator, seperti Harry Kane yang membela Inggris, bakal mendapatkan tantangan ekstra untuk memperbanyak pundi-pundi golnya. Ia adalah eksekutor penalti andalan tim ”Tiga Singa”.
Terlepas benar tidaknya prediksi tentang penalti itu, Piala Dunia Qatar akan menjadi arena pembuktian striker nomor sembilan, seperti Kane, Robert Lewandowski (Polandia), dan Romelu Lukaku (Belgia) untuk membuktikan ketajamannya. Selain Kane dan Lewandowski, Lukaku adalah predator berbahaya jika telah pulih betul.