Isu Hak Asasi Manusia Masih Membayangi Piala Dunia
Semarak Piala Dunia 2022 mulai terasa. Namun, di balik semaraknya, kontroversi isu Hak Asasi Manusia masih membayangi turnamen akbar sepak bola tersebut.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Animo Piala Dunia Qatar 2022 yang mulai terlihat tak mampu menutupi kontroversi isu hak asasi manusia (HAM) di balik turnamen empat tahunan itu. Kontroversi dapat mengurangi euforia pesta sepak bola terbesar sejagat tersebut.
Sejumlah penggemar sepak bola yang diwawancara Kompas menyebut, semarak Piala Dunia yang berlangsung pada 20 November-18 Desember 2022 telah terasa. Salah satu suporter tim Inggris, Zikri Alfarishi (26) menilai media sosial turut berperan mempromosikan semaraknya turnamen ini.
Suporter sepak bola lainnya, Devin Satya (25), beranggapan euforia Piala Dunia kini sudah terlihat. Alasannya, liga-liga Eropa sudah memasuki masa jeda. Alhasil, fokus suporter bola juga mulai terarah pada turnamen akbar yang akan dibuka pada Minggu (20/11/2022).
“Baru ada yang membagikan jadwal Piala Dunia dalam berbagai format. Ada yang berupa poster, PDF, dan Microsoft Excel. Kemudian akun-akun sepak bola juga sudah mulai memberi ulasannya,” ujar Devin saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/11/2022) tentang kemeriahan Piala Dunia yang dirasakannya.
Meski demikian, isu hak asasi manusia di balik persiapan Piala Dunia 2022 disorot banyak orang tak terkecuali di Indonesia. Karyawan swasta yang juga penggemar bola, Yoseph Reynaldo (26), menganggap isu HAM telah lama mencuat, namun belum ada pengaruh signifikan terhadap acara tersebut. Sebab hanya segelintir pihak yang sungguh vokal menyuarakan keprihatinannya.
Dibandingkan euforianya, isu-isu seperti ini lebih berdampak ke citra negaranya. Kemungkinan negaranya sebagai tuan rumah yang dikecam, bukan Piala Dunia sebagai acaranya.
“Dibandingkan euforianya, isu-isu seperti ini lebih berdampak ke citra negaranya. Kemungkinan negaranya sebagai tuan rumah yang dikecam, bukan Piala Dunia sebagai acaranya,” kata Reynaldo.
Menurunkan animo
Sementara itu, peneliti budaya sepak bola sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi mengatakan, persoalan HAM berkontribusi pula pada menurunnya animo masyarakat terhadap perhelatan Pesta Qatar 2022.
Fajar mengatakan, sejumlah masalah HAM ini berakibat pada kemeriahan Piala Dunia yang berbeda dari penyelenggaraan periode sebelumnya. Sejumlah kelompok aktivis dan suporter tim sepak bola negara-negara Barat terus menggaungkan isu HAM yang terjadi di Qatar.
Peningkatan euforia Pesta Qatar 2022 ini menjadi tugas FIFA untuk peduli terhadap berbagai hal yang disuarakan publik. Sebab publik juga makin peduli dengan isu global yang terjadi di tingkat lokal.
Kata Fajar, persoalan HAM ini secara tak langsung juga memengaruhi penjualan cendera mata. Alhasil, ekosistem yang terbentuk tak sehat bagi bisnis. Euforia Piala Dunia pun terpecah jadi dua kelompok.
Pertama, publik yang tak peduli dengan isu HAM Piala Dunia. Mereka akan tetap menjadi pasar potensial penjualan suvenir turnamen ini. Kedua, publik yang peduli dan menyuarakan HAM akan resisten. Tindakan itu tampak di Eropa yang menyuarakan boikot Piala Dunia. Para penggemar olahraga di Eropa membentangkan spanduk di berbagai pertandingan klub memprotes persoalan yang sama.
“Ini tentu jadi persoalan bagi pemasaran Piala Dunia,” ujar Fajar melalui pesan tertulis.
Meski demikian, Fajar memperkirakan euforia suporter sepak bola akan tetap besar. Lantaran turnamen ini telah ditunggu banyak orang, apalagi pertandingan-pertandingan tersebut merupakan Piala Dunia pertama kala pandemi Covid-19.
Dalam proses persiapannya, banyak pekerja migran yang dilanggar hak-haknya dalam pembangunan infrastruktur. Selain maraknya kecelakaan kerja, banyak para pekerja yang terlambat menerima upah dan upah yang tak dibayarkan (Kompas.id, 16/11/2021).
Selain itu, soal keselamatan kaum LGBT+ juga diragukan lantaran konstitusi Qatar yang tak mendukung. Isu ini mencuat setelah duta Piala Dunia Qatar 2022 Khalid Salman jadi kontroversi. Ia keberatan apabila anak-anak melihat dan berinteraksi dengan LGBT+, selain itu mereka dianggap bisa merusak pikiran. Padahal turnamen ini semestinya terbuka bagi siapa saja dan antidiskriminasi (Kompas.id, 9/11/2022).