Kendati mengundang kemarahan penggemar, tidak semua pernyataan Cristiano Ronaldo keliru. Dari sekian banyak kemuakan yang ia lontarkan, ada satu hal yang mungkin akan diamini "fans" MU: ketidakbecusan keluarga Glazer.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Cristiano Ronaldo membuat merah telinga para pendukung Manchester United lewat wawancara eksklusifnya bersama jurnalis sekaligus penyiar Inggris, Piers Morgan. Dalam kesempatan itu, kapten tim nasional Portugal tersebut menguliti habis kebobrokan di internal “Setan Merah”. Namun, fans MU mungkin akan sepakat dengan pandangan Ronaldo yang menyebut buruknya pengelolaan klub di tangan keluarga Glazer.
Morgan seakan menjadi “tempat sampah” yang tepat bagi Ronaldo untuk mengeluarkan kemuakannya selama dua musim membela MU di periode keduanya. Setiap jengkal lapisan klub, mulai manajer, mantan pemain, fasilitas, dan rekan setim, menjadi sasaran kritiknya. Pemilik MU, keluarga Glazer, tidak lepas dari sasaran Ronaldo.
“Keluarga Glazers, mereka tidak peduli dengan klub atau olahraga profesional. Manchester United adalah klub komersial,” katanya.
Dari sekian banyak kritik yang disampaikan Ronaldo, para pendukung MU mungkin cukup bisa mengerti poin itu. Boleh dikatakan, hanya kritikan Ronaldo terhadap keluarga Glazer yang benar-benar sejalan dengan apa yang dirasakan suporter. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pendukung MU amat membenci keluarga Glazer.
Bagi para pendukung MU, keluarga Glazer yang merujuk pada Malcolm Glazer dan enam anaknya, tidak lebih dari sekumpulan parasit. Pengusaha asal Amerika Serikat itu, dalam benak suporter MU, hanya menjadikan klub itu sebagai sapi perah penghasil pundi-pundi uang. Jadi, bukan lagi berorientasi prestasi.
Malcolm Glazer membeli MU pada 2005. Di bawah kendalinya, MU meraih kejayaan di milenium 2000 dengan memenangkan lima trofi Community Shield, tiga kali juara Piala Liga Inggris, lima gelar juara Liga Inggris, satu trofi Liga Champions Eropa, dan satu kali juara Piala Dunia Antarklub.
Namun, sederet prestasi itu bukanlah berkat tangan dingin keluarga Glazer. Para suporter meyakini, kejayaan MU lebih disebabkan oleh kejeniusan mantan manajer Sir Alex Ferguson dalam menangani sebuah tim. Pada titik ini, kecerdikan keluarga Glazer terlihat dengan menjadikan Ferguson sebagai titik sentral pergerakan “Setan Merah”.
Keluarga Glazer memberi kendali penuh dan keleluasan seluas-luasnya kepada Ferguson untuk membawa tim ke arah manapun yang ia inginkan. Dengan begitu, setidaknya fokus atau sorotan khalayak tidak lagi bertumpu kepada keluarga Glazer, melainkan hanya Ferguson. Langkah ini adalah cara mereka mengurangi reaksi negatif fans MU yang sejak awal menentang upaya pembelian klub oleh keluarga Glazer.
Klub komersial
Bukti prestasi MU karena berkat tangan dingin Ferguson terlihat pada 2013. Sejak Ferguson pergi di tahun tersebut, prestasi MU menurun drastis. Mereka tidak lagi memenangi turnamen besar, seperti Liga Inggris dan Liga Champions sejak 2013.
Seperti Ronaldo, Van Gaal juga menyebut MU lebih cenderung seperti klub komersial yang bertujuan mencetak uang, alih-alih prestasi.
Era kegelapan membayangi MU setelah itu. Strategi perekrutan pemain mereka kerap dibuat tidak sesuai kebutuhan manajer dan tim. MU pun kerap berganti-ganti manajer setelah Ferguson pensiun. Total ada enam manajer yang pernah menangani MU setelah Ferguson.
Meskipun kering trofi, MU meraih kesuksesan lain setelah Ferguson pergi. Pendapatan MU terus bertambah sejak keluarga Glazer mengambil-alih klub itu. Di bawah Glazer, pendapatan komersial MU naik hampir tiga kali lipat, dari awalnya 210 juta poundsterling (Rp 3,8 triliun) per tahun pada 2006 menjadi 615 juta pounds (Rp 11 triliun) pada 2019.
Kepiawaian keluarga Glazer mengelola klub dengan pendekatan bisnis berlanjut pada tahun ini. Pada Juni 2022, MU mengumumkan pendapatan keseluruhan klub naik 18 persen dari 494,1 juta pounds (sekitar Rp 9 triliun) pada 2021 menjadi 583,2 juta pounds (Rp 10,6 triliun) hingga Juni 2022.
Dengan pendekatan seperti itu, tidak heran kritik terus dilontarkan kepada keluarga Glazer. Hal serupa sempat disampaikan mantan manajer MU, Louis Van Gaal, yang kini membesut timnas di Piala Dunia Qatar 2022. Seperti Ronaldo, Van Gaal juga menyebut MU lebih cenderung seperti klub komersial yang bertujuan mencetak uang, alih-alih prestasi. Pernyataan itu diucapkan Van Gaal pada momentum kepindahan Erik ten Hag sebagai manajer MU awal musim ini.
Keluarga Glazer memang tidak pernah peduli terhadap sepak bola. Sebagai pengusaha, apa yang tertanam di benaknya hanyalah bagaimana menciptakan keuntungan sebesar-besarnya. Cara berpikir ini sejak dulu dikritik suporter MU. Bahkan, Malcolm Glazer dulunya membeli MU dengan cara berutang. Ia menjadikan aset-aset MU sebagai agunan atas utangnya tersebut.
Sadar telah memiliki mesin pencetak uang andal, keluarga Glazer enggan mundur atau melepas saham kepada setiap pihak yang berniat mengakuisisi MU. Pada 2009, keluarga Glazer menolak tawaran pembelian MU senilai 1,5 miliar pounds yang diyakini berasal dari pengusaha Qatar. Keluarga Glazer tidak ingin melepas tambang uang yang telah memberi mereka kekayaan itu.
Maka, kritikan Ronaldo terhadap tidak adanya peningkatan di fasilitas latihan MU barangkali ada benarnya. Padahal, fasilitas klub yang memadai akan mampu membawa MU bersaing. Keluarga Glazer tidak menaruh perhatian terhadap itu dan hanya fokus untuk meraih laba sebesar-besarnya.
“Saya sampai pada kesimpulan sekarang bahwa perlu perubahan kepemilikan agar klub berhasil di masa depan,” kata mantan pemain MU, Garry Neville, dikutip dari ESPN.
Dengan segala yang dilakukan keluarga Glazer terhadap MU, dapat dimengerti mengapa tidak semua perkataan Ronaldo dalam wawancara bersama Morgan keliru. Ronaldo dan para suporter bertemu pada satu kesepakatan untuk menumpahkan kekecewaan sekaligus kebencian terhadap satu pihak: keluarga Glazer. (AFP/REUTERS)