The Analyst: ”Dua Wajah” Perancis dan Kutukan Lama Menjadi Tantangan Deschamps
Perancis ibarat tim bermuka dua. Di satu sisi, mereka adalah tim menawan dengan segudang talenta mengagumkan. Namun, di sisi lain, mereka bak remaja labil. Persoalan non-teknis bisa menjadi badai buat mereka di Qatar.
Oleh
Ryan Benson
·6 menit baca
Pelatih Didier Deschamps punya ambisi besar menjadikan Perancis sebagai tim pertama setelah Brasil (pada 1962) yang mampu mempertahankan gelar. Namun, persiapan ”Les Bleus” masih jauh panggang dari api.
Dari daftar 25 pemain yang akan dibawa Deschamps ke Qatar, hanya dua gelandang yang setidaknya telah tujuh kali tampil membela Les Bleus. Mereka adalah Tchouameni (14 penampilan) dan Adrien Rabiot (29).
Absennya sejumlah pemain kunci, minimnya kohesi antarpemain, dan kontroversi di luar lapangan, dapat menciptakan badai besar bagi Les Bleus.
Status juara bertahan, pada kebanyakan turnamen, biasanya mencerminkan gengsi dan kualitas sebuah tim untuk kembali berjaya. Namun, tidak demikian halnya di Piala Dunia FIFA. Dalam setengah abad terakhir, status itu justru menjelma kutukan sekaligus beban.
Setelah edisi 1962 di Chile, tidak satu pun tim mampu mempertahankan gelarnya di Piala Dunia. Jauh lebih buruk lagi, pada abad ke-21 saat ini, tim-tim juara bertahan justru tampil melempem, tidak mampu melewati rintangan awal, yaitu penyisihan grup. Langkah buruk itu dialami Perancis (edisi 2002), Italia (2010), Spanyol (2014), dan Jerman (2018).
Catatan buruk barisan juara bertahan itu bakal meningkatkan kewaspadaan Perancis, juara edisi Rusia 2018, saat tampil di Piala Dunia Qatar 2022. Toh, mereka juga sudah pernah merasakan beban dan kutukan itu saat tampil dua dekade lalu di edisi Jepang dan Korea Selatan. Pada saat itu, ”Les Bleus” asuhan Roger Lemerre tersingkir di fase awal sebagai juru kunci Grup A. Mereka gagal bersaing dengan Denmark dan Senegal.
Istilah kutukan juara bertahan akan kerap disinggung di Qatar, setidaknya hingga Perancis mengamankan tiket ke fase gugur, dimulai dari babak 16 besar. Target awal itu pun tak akan mudah mengingat sejumlah lawan mereka di Qatar, seperti Denmark dan Australia, memiliki ambisi besar untuk meneruskan tradisi lama, yakni ”pulang dininya” juara bertahan.
Tentu saja, menghindari aib berupa angkat koper dini bukanlah target utama Perancis di Qatar. Pelatih Didier Deschamps punya ambisi besar menjadikan Perancis sebagai tim pertama setelah Brasil (pada 1962) yang mampu mempertahankan gelar. Namun, masalahnya, persiapan Les Bleus masih jauh panggang dari api untuk mewujudkan ambisi besar itu.
Dipaksa ”bongkar-pasang”
Perancis tampil kurang meyakinkan dalam persiapan menuju Qatar. Dari enam laga terakhir di berbagai ajang, termasuk Liga Nasional Eropa, Kylian Mbappe dan kawan-kawan telah tiga kali kalah dan hanya bisa sekali menang. Mereka pun gagal lolos ke semifinal turnamen baru antarnegara di Uni Eropa itu dan hanya menempati peringkat ketiga Grup A1, di bawah Kroasia dan Denmark.
Padahal, dari 11 pemain inti yang diturunkannya saat Les Bleus mengalahkan Kroasia, 4-2, di final Piala Dunia 2018, hanya Samuel Umtiti dan Blaise Matuidi yang tidak lagi dipakai Deschamps. Mayoritas pemain pilarnya di final Rusia 2018, mulai dari kiper Hugo Lloris hingga striker Antoine Griezmann, masih dipercaya mengisi skuad Les Bleus di Qatar.
Deschamps bukanlah pelatih yang populer di mata warga Perancis, bahkan setelah trofi Piala Dunia 2018 diraihnya. Banyak fans Perancis yang mengeluhkan gaya permainan Deschamps yang dinilai kaku dan pragmatis.
Namun, Deschamps dipaksa melakukan bongkar-pasang masif, antara lain akibat cedera yang diderita duo gelandang, N’Golo Kante dan Paul Pogba. Kedua pemain itu tidak dipanggil ke Qatar. Dari daftar 25 pemain yang akan dibawa ke Qatar, hanya dua gelandang yang setidaknya telah tujuh kali tampil membela Les Bleus. Mereka adalah Tchouameni (14 penampilan) dan Adrien Rabiot (29).
Di lini belakang, Raphael Varane tak cukup bugar untuk dimainkan di laga-laga awal fase grup. Begitu pula dengan bek kiri Lucas Hernandez yang bermasalah dengan kebugaran. Varane dan Hernandez adalah ”perjudian” Deschamps. Kedua bek itu tetap dipanggil meskipun belum tentu bisa bermain di fase awal. Barisan bek muda, seperti Jules Kounde dan William Saliba, diharapkan mengisi lubang yang ditinggalkan seniornya itu di lini belakang.
Satu-satunya kelebihan Perancis, dilihat dari materi pemainnya, adalah pada lini depan. Mereka diberkahi banyak penyerang berkelas dunia, seperti Kylian Mbappe, Ousmane Dembele, Kingsley Coman, Griezmann, dan peraih penghargaan pemain terbaik dunia Ballon d’Or, Karim Benzema. Lini serang Les Bleus bisa dikatakan tidak tertandingi oleh tim-tim lainnya.
Dilihat dari permukaan, Perancis masih menjanjikan. Sebanyak 15 dari 22 pemain (nonkiper) mereka berusia 26 tahun atau ke bawah. Skuad ini jelas masih punya potensi berkembang. Namun, fakta setahun terakhir berkata, tim itu kesulitan beradaptasi dengan perubahan paksa dari Deschamps. Sang pelatih tidak mampu mengeluarkan potensi terbaik timnya dalam 18 bulan terakhir, dibuktikan dengan rekor buruk mereka di Liga Nasional musim 2022-2023.
Pisau kritik
Jadi, mengapa hasil dan performa mereka nanti akan berbeda di Qatar? Banyak pendapat yang berkata tampil brilian sebelum turnamen adalah kesia-siaan. Piala Dunia adalah puncak dari program sebuah tim olahraga. Maka, para pemain diharapkan mampu mencapai puncak penampilan saat turnamen itu digelar, bukan sebelumnya. Jadi, Perancis sebetulnya tidak perlu terlalu khawatir.
Namun, argumen itu tidak bisa meredam kritik dan kekhawatiran. Deschamps bukanlah pelatih yang populer di mata warga Perancis, bahkan setelah trofi Piala Dunia 2018 diraihnya. Banyak fans Perancis yang mengeluhkan gaya permainan Deschamps yang dinilai kaku dan pragmatis. Sebagian fans menilai Dechamps tidak layak memperpanjang jabatannya. ”Pisau” kritik kian menghujamnya saat Perancis kandas dini di babak 16 besar Piala Eropa 2022 setelah disingkirkan Swiss.
Maka, benar adanya jika dikatakan bahwa Perancis adalah tim yang ”angin-anginan”, sulit diprediksi. Hal itu lumrah dalam sepak bola. Sejarah berkata, Les Bleus memang bak punya dua wajah yang kontras. Pada satu sisi, mereka adalah tim yang paling sering tampil di final Piala Dunia, yaitu tiga kali, dalam enam edisi terakhir. Mereka meraih laga puncak pada 1998, 2006, dan 2018. Tiada yang menandingi mereka, sekalipun Brasil yang hanya dua kali ke final (1998 dan 2022) dalam kurun sama.
Namun, di sisi lain, Perancis bak remaja labil. Empat tahun seusai berjaya di Paris, Les Bleus kandas dini di penyisihan grup edisi 2002. Sewindu berselang, tak lama setelah melangkah ke final edisi Jerman 2006, Les Bleus diguncang ”kudeta” di internal skuad. Pelatih mereka ketika itu, Raymond Domenech, dirongrong kritik dan krisis kepercayaan dari para pemain seusai mencoret Nicholas Anelka. Perancis pun pulang dengan membawa malu, menjadi juru kunci Grup A.
Persoalan nonteknis
Masalah nonteknis, yaitu di luar lapangan, memang rutin menjangkiti Les Bleus, beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, baru-baru ini, Federasi Sepak Bola Perancis (FFF) dan Mbappe bertikai terkait pemanfaatan hak citra diri sang megabintang. Sengketa atas FFF, lembaga yang sempat diguncang skandal pelecehan seksual oleh presidennya, itu dimenangi Mbappe.
Situasi kian panas terjadi setelah pemain lainnya, Pogba, dikabarkan memakai dukun untuk melakukan ”guna-guna” terhadap Mbappe menjelang laga Paris Saint-German versus Manchester United di ajang Liga Champions Eropa pada 2019. Tuduhan itu disampaikan kakak Pogba, Mathias.
Tuduhan itu lantas dibantah Pogba yang menilai Mathias mencoba memerasnya. Bukan sekali itu saja, konflik ”satu rumah” juga pernah melibatkan Benzema dengan Mathieu Valbuena.
Jadi, jelas, tantangan Deschamps di Qatar bakal sangat besar. Absennya sejumlah pemain kunci, minimnya kohesi antarpemain, dan kontroversi di luar lapangan dapat menciptakan badai besar bagi Les Bleus. Namun, Dechamps telah membuktikan ia lebih baik dari para pendahulunya dalam upaya menepikan ego besar para pemain bintang.
Bencana seperti pada 2010 agaknya sulit terulang meskipun tidak nol peluang. Maka, jika Perancis sukses mempertahankan gelar juara di Qatar, pujian harus ditujukan ke satu orang yang tidak disukai banyak orang, yaitu Deschamps. (RYAN BENSON, jurnalis The Analyst)
Catatan editor : Artikel ini berkolaborasi dengan Opta (StatsPerform) untuk kepentingan publikasi di Kompas.