Sir Bobby Charlton: Habis Gelap di Muenchen Jadi Terang Piala Dunia 1966
Sir Bobby Charlton belum tersaingi sebagai pemain terbaik Inggris sepanjang sejarah. Inggris sulit memiliki kembali pemain dengan kepribadian seperti Charlton. Serupa dengan kesulitan mereka kembali menjadi juara dunia.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
Dalam era sepak bola modern saat ini, Inggris tidak pernah berhenti melahirkan bakat-bakat terbaik di lapangan hijau. Mulai dari Paul Gascoigne, David Beckham, Frank Lampard, Steven Gerrard, Wayne Rooney, hingga Harry Kane adalah nama-nama yang bisa diperdebatkan untuk mendapat sebutan pemain terbaik yang pernah membela tim “Tiga Singa” dalam tiga dekade terakhir.
Namun, jika menyebut sosok pesepak bola terbaik yang pernah dimiliki Inggris dalam sejarah, jawabannya hanya satu. Ya, Sir Bobby Charlton.
Charlton, yang dikenal sebagai legenda Manchester United itu, adalah pemain andalan Sir Alf Ramsey dalam skuad pemenang Inggris pada Piala Dunia 1966. Di masa kariernya pada dekade 1950-an hingga 1970-an, kemampuan yang dimiliki Charlton amat langka.
Ia adalah pemain menyerang yang bisa menempatkan diri sebagai penyerang sayap, penyerang tengah, hingga gelandang serang. Kondisi itu yang membantu Ramsey bisa menerapkan variasi taktikal ketika Inggris untuk pertama kali dan satu-satunya (hingga kini) memainkan laga Piala Dunia di rumah sendiri.
Ramsey dikenal sebagai pelatih yang disebut “tinkerer”, atau kerap merombak taktik dan tidak patuh pada satu formasi tertentu. Di tiga laga Grup 1 Inggris 1966, Inggris bermain dengan formasi 4-1-3-2 yang bisa bertransformasi menjadi 4-2-4 ketika menguasai bola.
Dengan taktik itu, Charlton menjadi awal mula dari setiap serangan tim Tiga Singa. Ia menjadi gelandang serang yang bisa juga berada di kotak penalti lawan. Satu gol di babak penyisihan menebalkan pengaruh Charlton untuk Inggris.
Memasuki fase gugur, Charlton bermain sebagai penyerang sayap kiri dalam formasi 4-3-3. Ia membentuk trisula lini depan bersama Geoff Hurst dan Roger Hunt.
Tiga laga fase gugur dari babak perempat final hingga final dimenangi Inggris. Mereka menyingkirkan Argentina 1-0 di babak delapan besar. Di semifinal, dua gol Charlton membantu Tiga Singa menumbangkan Portugal, yang dihuni pemain tertajam di Inggris 1966, Eusebio, dengan skor 2-1.
Pada partai puncak, Inggris mengalahkan Jerman Barat 4-2. Hurst menjadi buah bibir di laga itu dengan koleksi hattrick atau tiga gol, termasuk dua gol di masa perpanjangan waktu.
Tetapi, akhir manis Tiga Singa di Stadion Wembley yang dipadati 96.924 orang tidak bisa terjadi jika Charlton gagal memenuhi tugas khusus dari Ramsey. Bermain sebagai penyerang sayap kiri membuat Charlton diberi amanah untuk melakukan penjagaan khusus kepada motor permainan Jerman Barat, yaitu Franz “Sang Kaisar” Beckenbauer.
Dalam tayangan televisi hitam putih, Charlton, yang kala itu mengenakan kostum nomor punggung sembilan, selalu berada di depan Beckenbauer yang menggunakan nomor empat. Setiap bola dikuasai Beckenbauer, Charlton selalu membayanginya.
Charlton mengungkapkan, tugas man-marking kepada Beckenbauer adalah hal yang belum pernah dijalaninya sebelum pertandingan final bersejarah itu. Sebagai penyerang, kata Charlton, dirinya hanya fokus untuk bisa terbebas dari penjagaan lawan.
“Sebelum laga Alf (Ramsey) berkata, ‘Saya ingin kamu menjaga Franz Beckenbauer, jangan biarkan dia lepas dari pandanganmu’. Saya berpikir, saya telah menanti seumur hidup untuk bermain di final Piala Dunia dan saya diminta melakukan penjagaan yang belum pernah saya lakukan,” kata Charlton dalam film dokumenter BBC, Oktober 2017.
Di antara kami berdua, kami tidak benar-benar berperan banyak di final,
Uniknya, Pelatih Jerman Helmut Schoen juga menugaskan Beckenbauer menjaga Charlton. Alhasil, kedua pemain itu fokus menjalankan tugas khusus dibandingkan terlibat banyak dalam drama kejar-mengejar bola.
Peluang terbaik yang didapatkan Charlton adalah sepakannya yang membentur tiang gawang di masa perpanjangan waktu.
“Di antara kami berdua, kami tidak benar-benar berperan banyak di final,” kenang Charlton, yang tengah berjuang dari penyakit demensia di usianya yang menginjak 85 tahun pada 11 Oktober lalu.
Hurst menganggap Charlton sejatinya berperan amat besar bagi raihan trofi Jules Rimet pertama Inggris. “Bobby (Charlton) tidak pernah mengeluh. Dan ia tidak sekalipun melalaikan tugasnya. Itu lagi-lagi menunjukkan karakter dan kepribadiannya,” ujar Hurst, legenda West Ham United.
Meski tidak mencetak gol di laga final, Charlton dinobatkan sebagai pemain terbaik dunia melalui anugerah Ballon d’Or 1966. Berdasarkan arsip berita Kompas edisi 28 Desember 1966, Charlton meraih gelar bergengsi itu dengan keunggulan satu poin dari Eusebio. Charlton dengan 81 poin, sedangkan Eusebio mengumpulkan 80 poin.
“Charlton adalah orang ketiga dari Inggris yang ditetapkan sebagai pemain Eropa terbaik sejak sebelas tahun belakangan ini. Orang pertama adalah Stanley Matthews yang memperoleh gelar pada 1956, sedangkan Denis Law dari Skotlandia—klub Manchester United—memperolehnya dalam tahun 1964,” tulis laporan Kompas itu yang tersaji di halaman 11.
Melawan trauma dan luka
Meraih gelar Piala Dunia dan Ballon d’Or tidak diperoleh Charlton, legenda kelahiran Ashington, itu dengan mudah. Ia harus melawan trauma dan luka karena menjadi korban musibah kecelakaan pesawat di Muenchen, Jerman, bersama skuad MU, 6 Februari 1958.
Ia adalah salah satu dari 21 korban selamat. Adapun 23 korban tewas. Dari jumlah korban tewas itu delapan di antaranya pemain MU.
Adapun dari 21 korban selamat, delapan orang pemain utama MU. Charlton adalah salah satu dari enam pemain selamat yang bisa melanjutkan karier di sepak bola.
Setelah kembali bermain pada laga Piala FA kontra West Bromwich Albion, 1 Maret 1958, kepribadian Charlton sudah berubah. Adik kandung Charlton, Tommy Charlton, menyatakan, musibah itu menggoreskan luka emosional bagi Charlton yang tidak pernah sembuh.
“Ia lebih banyak menyendiri. Ia berhenti menjadi orang bodoh yang gemar ke klub malam bersama teman-temannya,” kata Tommy, yang gagal menyaksikan langsung partai final 1966 di Wembley karena tidak punya cukup uang untuk membeli tiket kereta dari Ashington, yang berada di sisi utara Inggris, ke London.
Kejadian (Muenchen) itu mengubah hidup saya. Saya beruntung (selamat).
Pada laga final itu, Tommy tidak hanya memiliki Bobby sebab ada pula Jack Charlton, bek tengah Inggris, yang merupakan putra tertua dari tiga bersaudara itu. Duo Charlton bersaudara adalah salah satu dari dua saudara kandung yang memenangkan Piala Dunia.
Capaian itu sebelumnya ditorehkan Firtz dan Ottmar Walter yang mempersembahkan gelar Piala Dunia 1954 untuk Jerman Barat.
“Kejadian (Muenchen) itu mengubah hidup saya. Saya beruntung (selamat),” ucap Charlton.
Dari kehidupan dan karier Charlton, publik dan pendukung tim Tiga Singa perlu berharap mereka bisa memiliki lagi pemain dengan ketangguhan mental, tingkat inteligensi, dan dedikasi besar pada sepak bola, setara dengan Charlton untuk bisa kembali menjadi penguasa dunia. Inggris sudah terlalu banyak memiliki pemain yang terlena dengan sindrom bintang, sehingga gagal mampu bersinar di turnamen mayor, terutama Piala Dunia.