Kuasa Hukum Tersangka: "PSSI Harus Ikut Tanggung Jawab Tragedi Kanjuruhan"
PSSI sebagai organisasi pengelola sepak bola nasional harus ikut bertanggung jawab dalam insiden sepak bola Tragedi Kanjuruhan yang mengakibatkan tewasnya 135 orang dan 602 jiwa lainnya terluka.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - PSSI harus ikut tanggung jawab dalam insiden sepak bola Tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang mengakibatkan 135 jiwa meninggal dan 602 jiwa terluka. Hal itu disampaikan kuasa hukum salah satu tersangka, Abdul Haris.
Abdul adalah Ketua Panitia Pelaksana pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam, yang berujung insiden berdarah itu.
Ia merupakan satu dari enam tersangka yang telah ditetapkan oleh tim penyidik Polda Jatim dalam pengusutan Tragedi Kanjuruhan. "Klien kami menerima segala risiko dijadikan tersangka dan akan ditahan," kata Taufik Hidayat, kuasa hukum Abdul dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, seusai pemeriksaan kliennya di Kepolisian Daerah Jawa Timur, Surabaya, Senin (24/10/2022) petang.
Meski sudah menetapkan enam tersangka, menurut Taufik, belum ada nama pejabat teras di PSSI selaku induk organisasi sepak bola. Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan Wakil Ketua Umum PSSI Iwan Budianto telah diperiksa, tetapi belum ada keterangan dari tim penyidik tentang penambahan tersangka.
Selain Abdul, tersangka lainnya ialah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, security officer Suko Sutrisno, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Ahmad, dan Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarman. Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga telah mencopot dan mengganti Kepala Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat dan Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Nico Afinta Karokaro.
"Seharusnya, Ketua Umum PSSI bertanggung jawab secara moral dan hukum karena laga tidak bisa terlaksana tanpa PSSI," kata Taufik.
Dalam laporannya, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta bentukan Presiden Joko Widodo berkesimpulan, Tragedi Kanjuruhan terjadi karena PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepakbola Indonesia tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing, cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat sebelumnya, serta saling melempar tanggungjawab pada pihak lain.
Sikap dan praktik seperti ini merupakan akar masalah yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola kita, sehingga dibutuhkan langkah-langkah perbaikan secara drastis namun terukur untuk membangun peradaban baru dunia sepakbola nasional. "Sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban," tulis TGIPF dalam keterangan persnya.
PSSI patut dipersalahkan karena tidak melakukan sosialisasi/pelatihan memadai tentang regulasi FIFA dan PSSI kepada penyelenggara pertandingan, panitia pelaksana, aparat keamanan dan suporter, tidak disiapkannya personel match commissioner yang memahami tugas dan tanggung jawab, serta berkualifikasi untuk mempersiapkan dan melaksanakan pertandingan sesuai dengan standar prosedur operasi.
PSSI tidak mempertimbangkan faktor risiko saat menyusun jadwal kolektif penyelenggaraan Liga 1. Namun, PSSI enggan bertanggung jawab terhadap berbagai insiden/musibah dalam penyelenggaraan pertandingan yang tercermin di dalam regulasi PSSI (regulasi keselamatan dan keamanan PSSI 2021) yang membebaskan diri dari tanggung jawab dalam pelaksanaan pertandingan.
TGIPF juga memandang PSSI tidak transparan dan akuntabel mengelola liga. Ada regulasi PSSI yang berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan dalam struktur kepengurusan, yakni komite eksekutif diperbolehkan dari pengurus atau pemilik klub sepak bola. "Tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam pengendalian pertandingan sepakbola Liga Indonesia dan pembinaan klub sepakbola di Indonesia," tulis TGIPF.
Secara terpisah, Kepala Divisi Jaringan dan Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Habibus Shalilin menyatakan, Tragedi Kanjuruhan adalah tindak kekerasan aparat keamanan secara sengaja dan sistematis terhadap suporter (Aremania). Tindakan itu bukan sekadar melibatkan pelaku atau aktor lapangan, melainkan juga aparatur keamanan dengan jabatan tinggi.
"Ada aktor lain dengan posisi lebih tinggi yang seharusnya ikut bertanggung jawab dan perlu diproses hukum," kata Habibus.
Pihaknya menyarankan pengusutan Tragedi Kanjuruhan jangan berhenti pada unsur tindak pidana atau kejahatan biasa, melainkan juga pelanggaran HAM. Kematian 135 jiwa termasuk 2 anggota Polri terkait tindakan kekerasan yakni penembakan gas air mata seharusnya dipandang sebagai pelanggaran HAM.
Seharusnya, Ketua Umum PSSI bertanggung jawab secara moral dan hukum karena laga tidak bisa terlaksana tanpa PSSI.
Polri menjerat tiga tersangka dari sipil atau Akhmad, Abdul, dan Suko pelanggaran Pasal 359 dan pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta pelanggaran pasal 103 juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Tiga anggota Polri dijerat dengan pelanggaran Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
Pasal 359 menyebutkan kesalahan (kealpaan) mengakibatkan orang lain mati diancam pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun. Pasal 360 ayat pertama mengatur kesalahan yang mengakibatkan orang lain luka berat diancam pidana setara pelanggaran Pasal 359. Pasal 360 ayat kedua menyebutkan kesalahan menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa diancam pidana maksimal 9 bulan atau pidana kurungan 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp 4.500.
Terkait UU Keolahragaan, Pasal 52 menyebutkan penyelenggara kejuaraan olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik. Pasal 103 ayat kesatu menyebutkan penyelenggara yang tidak memenuhi persyaratan teknis seperti dimaksud Pasal 52 diancam pidana penjara maksimal 2 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Adapun Pasal 103 ayat kedua menyebutkan penyelenggara yang mendatangkan langsung massa penonton yang tidak mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga dan tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan diancam pidana serupa ayat kesatu. "Ancaman pidana terlalu ringan dan bagi kami mencederai keadilan bagi keluarga korban," kata Habibus.