TGIPF Sebut PSSI Harus Bertanggung Jawab secara Aturan dan Moral
TGIPF dalam laporannya ke Presiden Jokowi menyampaikan, PSSI dan suborganisasi di bawahnya harus bertanggung jawab terkait tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan. Selain aturan, juga moral.
JAKARTA, KOMPAS – Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF terkait kasus atau tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Provinsi Jawa Timur, telah menyampaikan laporannya kepada Presiden Joko Widodo. Di dalam catatannya, tim menyampaikan bahwa pengurus PSSI dan sub-sub organisasinya harus bertanggung jawab.
”Bertanggung jawab itu, pertama, berdasar pada aturan-aturan resmi. (Hal) yang kedua berdasar moral,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada acara penyampaian keterangan pers TGIPF Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Mahfud menuturkan, tanggung jawab berdasar aturan adalah tanggung jawab hukum. ”Tapi, hukum itu sebagai norma sering kali tidak jelas, sering kali bisa dimanipulasi, maka naik ke asas. Tanggung jawab asas hukum itu apa? Salus populi suprema lex, keselamatan rakyat itu adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum yang ada. Dan, (terkait Tragedi Kanjuruhan) ini sudah terjadi keselamatan rakyat publik terinjak-injak,” katanya.
Keselamatan rakyat itu adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum yang ada. Dan, (terkait Tragedi Kanjuruhan) ini sudah terjadi keselamatan rakyat publik terinjak-injak.
Terkait tanggung jawab hukum, Mahfud menuturkan, TGIPF lalu memberikan catatan akhir yang kemudian digarisbawahi oleh Presiden Jokowi. ”(Yakni) Polri supaya meneruskan penyelidikan tindak pidana terhadap orang-orang lain yang juga diduga kuat terlibat dan harus ikut bertanggung jawab secara pidana di dalam kasus ini. TGIPF mempunyai banyak temuan indikasi untuk dapat didalami oleh Polri,” ujarnya.
Adapun terkait tanggung jawab moral, Mahfud mengatakan, dipersilakan masing-masing pihak melakukan langkah-langkah yang diperlukan sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia Indonesia yang berkeadaban.
Baca juga: TGIPF Menuntut Tanggung Jawab PSSI
Dia menuturkan, TGIPF pada Jumat pukul 13.30 telah menyampaikan laporan secara independen. Hasil laporan tersebut nantinya akan diolah Presiden Jokowi untuk menjadi kebijakan keolahragaan nasional dengan melibatkan pemangku kepentingan yang ada menurut peraturan perundang-undangan.
”Fakta yang kami temukan, korban yang jatuh itu, proses jatuhnya korban itu, jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi maupun di medsos karena kami merekonstruksi dari 32 CCTV yang dimiliki oleh aparat. Jadi, itu lebih mengerikan dari sekadar semprot mati, semprot mati gitu,” kata Mahfud.
Dia mencontohkan, ada yang saling bergandengan untuk keluar bersama. ”Satu (orang) bisa keluar, yang satu tertinggal. (Lalu) yang di luar balik lagi untuk nolong temannya yang terinjak-injak, mati. Ada juga yang memberi bantuan pernapasan karena satunya sudah tidak bisa bernapas, (dia) membantu, kena semprot juga, mati gitu. Itu ada di situ. Lebih mengerikan daripada yang beredar karena ini ada di CCTV,” ujarnya.
Adanya korban yang mati, cacat, serta sekarang kritis dipastikan terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang disemprotkan. ”Itu penyebabnya. Adapun peringkat keberbahayaan atau racun pada gas itu sekarang sedang diperiksa oleh BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional. Tetapi, apa pun hasil pemeriksaan dari BRIN itu tidak bisa mengurangi kesimpulan bahwa kematian massal itu terutama disebabkan oleh gas air mata,” kata Mahfud.
Berdasar hasil pemeriksaan tim, semua pemangku kepentingan saling menghindar dari tanggung jawab. Semua berlindung di bawah aturan-aturan dan kontrak-kontrak yang secara formal sah. Oleh sebab itu, TGIPF sudah menyampaikan kepada Presiden mengenai semua temuan dan rekomendasi untuk seluruh pemangku kepentingan, salah satunya untuk pemerintah, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ataupun Kementerian Kesehatan. ”Sudah kami tulis satu per satu rekomendasinya di dalam 124 halaman laporan,” ujarnya.
Kemudian di dalam catatan dan rekomendasi TGIPF juga disebutkan bahwa jika selalu mendasarkan diri pada norma formal, semuanya menjadi tidak ada yang salah. ”(Hal ini) karena yang satu mengatakan aturannya sudah begini, kami laksanakan. (Pihak) yang satu bilang saya sudah kontrak, saya sudah sesuai dengan statuta FIFA, begitu. Karena itu, dalam catatan kami disampaikan bahwa pengurus PSSI harus bertanggung jawab dan sub-sub organisasinya (juga),” kata Mahfud.
Karena itu, dalam catatan kami disampaikan bahwa pengurus PSSI harus bertanggung jawab dan sub-sub organisasinya (juga).
Mahfud dalam keterangan kepada media di Kompleks Istana Kepresidenan seusai menyerahkan laporan TGIPF menyampaikan, Presiden Joko Widodo akan mempelajari laporan tersebut serta membenahi semua lini. Pembenahan dilakukan di Kementerian Pemuda dan Olahraga, stadion, dan aturan-aturan internal.
”Intinya kita tetap ikut pada norma-norma yang berlaku, di mana norma itu ada dua tingkatan, norma dalam artian aturan tertulisnya, satu (aturan) FIFA, itu harus diikuti, lalu peraturan perundang-undangan di dalam negeri,” tutur Mahfud.
Terkait pengaturan persepakbolaan yang diatur FIFA, menurut Mahfud, pemerintah tidak akan mengintervensi. Namun, FIFA akan bersama pemerintah melakukan transformasi PSSI.
Selain itu, kesimpulan TGIPF sudah menyebutkan pihak mana saja yang harus bertanggung jawab baik secara hukum pidana maupun secara moral. ”Nanti Presiden mengatakan tindak pidananya terus diusut,” tambahnya.
Baca juga: Tiga dari Enam Tersangka Telah Diperiksa
Peluang adanya tersangka baru juga sangat terbuka. Namun, semua harus sesuai hukum acara. Polisi juga dinilai lebih memahami prosesnya. Terkait tanggung jawab moral, Mahfud menyerahkan kepada para pihak untuk memilih sendiri pertanggungjawabannya.
”Kalau Anda merasa punya moral dan hidup di negara yang punya keadaban adi luhung, apa yang harus dilakukan bisa dipilih sendiri, karena hukumnya jelas, di tingkat FIFA jelas, peran pemerintah jelas. Kemudian, kalau moral, saya kira bagian dari yang diminta oleh masyarakat,” tuturnya.
Setelah memberikan laporan, tugas TGIPF rampung. Namun, tambah Mahfud, sumber-sumber perorangan bisa saja masih diminta bekerja untuk transformasi PSSI.
Perumusan aturan
Menteri Pemuda dan Olah Raga Zainudin Amali menuturkan, tiap pihak memiliki tugas masing-masing. Kemenpora pun mengurusi hal yang menjadi pekerjaan Kemenpora. ”Misalnya, saya sore nanti (Jumat sore) kumpulkan suporter. Kita merumuskan aturan sesuai dengan undang-undang. Jadi, ada tugasnya masing-masing,” katanya.
Sementara itu, pengamat dan masyarakat sipil meminta Polri menyusun aturan khusus standar operasional prosedur (SOP) pengamanan pertandingan sepak bola sesuai standar Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional(FIFA). Hal ini agar tindakan represif tak terulang.
Hasil rekomendasi TGIPF yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jumat (14/10/2022), menyebut, antara lain, tindakan berlebihan dalam pengamanan laga Arema versus Persebaya seperti menyediakan gas air mata dan menembakkan gas air mata ke arah penonton di tribune yang diduga dilakukan di luar komando.
Selain itu, temuan juga menyebutkan bahwa pengelola Stadion Kanjuruhan tidak memastikan semua pintu terbuka serta pihak Arema FC dan pihak PSSI yang tidak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran penyelenggaraan pertandingan.
Langkah pimpinan Polri yang melakukan proses pidana dan tindakan administrasi dengan melakukan demosi sejumlah pejabat dinilai sudah menjawab sebagian harapan masyarakat dan patut diapresiasi.
”Meski demikian, tindakan itu juga perlu ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap pejabat Polri yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian No: Rek/000089/IX/YAN.2.1/2022/DITINTELKAM tanggal 29 September 2022 yang ditandatangani oleh Dirintelkam atas nama Kapolda Jawa Timur,” tulis tim TGIPF dalam ringkasan laporan yang diserahkan kepada Presiden.
Selain meminta proses hukum dan tindakan administratif, Polri dan TNI juga diminta untuk menindaklanjuti temuan itu dengan menyelidiki aparat yang melakukan tindakan berlebihan pada peristiwa Kanjuruhan. Penyelidikan lebih lanjut perlu dilakukan kepada pihak yang menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah penonton, serta pengelola Stadion Kanjuruhan yang tidak memastikan semua daun pintu terbuka.
Selain itu, juga pihak Arema FC dan pihak PSSI yang tidak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran jalannya pertandingan. ”Polri juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi, seperti yang awal mula,” ujar tim TGIPF.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan
Pengamanan olahraga
Lebih lanjut, TGIPF juga merekomendasikan tim untuk menyiapkan peraturan kapolri untuk pengamanan olahraga, khususnya pertandingan sepak bola. Aparat juga diminta untuk menghentikan penggunaan gas air mata pada setiap pertandingan sepak bola yang ditangani oleh PSSI. Peraturan kapolri itu harus disosialisasikan kepada anggota Polri yang bertugas dan harus sesuai dengan peraturan keamanan dan keselamatan stadion sesuai dengan aturan FIFA.
Peneliti Politik Keamanan Centre For Strategic for International Studies Nicky D Fahrizal menuturkan, pascakejadian ini, kepolisian memang perlu melakukan perubahan instrumental dan kultural khususnya untuk pengamanan huru-hara pertandingan sepak bola. Aturan harus disusun seperti standar FIFA.
Menurutnya, celah yang menyebabkan peristiwa Tragedi Kanjuruhan adalah polisi masih menerapkan SOP penanganan kerusuhan demonstrasi pada saat penanganan massa sepak bola yang jauh berbeda situasi dan kondisinya. Setelah instrumen aturan peraturan kapolri dibuat sesuai standar FIFA, Polri juga perlu mengubah kultur aparat.
Aparat harus mau mengikuti SOP penanganan pertandingan sepak bola sesuai standar internasional. Untuk mencapai perubahan itu diperlukan waktu. Baik untuk sosialisasi maupun perubahan kultur agar aparat tidak represif dan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam kerja-kerja menjaga ketertiban dan keamanan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reforms Iftitahsari menyoroti penggunaan gas air mata yang sudah kadaluwarsa yang terjadi berulang kali. Menurutnya, Presiden harus mengevaluasi penggunaan kekuatan polisi tersebut.
Dia menuturkan, penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa bukan pertama kali terjadi. Harus ada investigasi khusus terhadap aparat yang menggunakan gas air mata yang telah kedaluwarsa dan harus bertanggung jawab secara etik, disiplin, maupun pidana.
Sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan.
”Lebih dari itu, atasan anggota kepolisian di tingkat yang lebih tinggi harus terbuka untuk dimintai pertanggungjawaban (command responsibility) karena sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan,” ujarnya.
ICJR pun meminta Presiden RI mengusut dan mengevaluasi penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian selama ini, termasuk penggunaan senjata kimia, yaitu penggunaan gas air mata, agar tidak lagi-lagi hal ini dianggap lazim. (CAS/INA/DEA)