Tenis kursi roda paralimpiade punya tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Kedua tangan bak nyawa bagi para atlet. Di tengah keterbatasan, mereka berjalan sekaligus memukul bola dengan kedua tangannya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Kedua tangan Nurdin (40) bergerak lincah memutar kursi roda di bawah sengatan matahari Lapangan Tenis Manahan, Kota Surakarta, Minggu (31/7/2022) siang. Dalam sepersekian detik, tangan kanannya beralih fungsi mengayunkan raket untuk melakukan pengembalian bola dengan teknik backhand.
Selama lebih dari satu jam, Nurdin berusaha keras membendung agresivitas petenis kursi roda Thailand, Pol Janteam, dalam laga penyisihan nomor tunggal quad. Nomor ini diikuti para petenis disabilita dengan keterbatasan pada tangan dan kaki. Karena itu, peran kedua tangan menjadi vital, baik untuk berjalan dengan menggerakkan kursi roda maupun memukul bola.
Cabang olahraga ini membutuhkan upaya ekstra keras dari petenis. Luas area permainan yang harus mereka jaga setara dengan tenis untuk atlet nondisabilitas. Kondisi ini sedikit berbeda dengan bulu tangkis kursi roda yang hanya menggunakan setengah lapangan. Maka, dibutuhkan kekuatan tangan untuk menggerakkan kursi roda agar bisa menjangkau seluruh area permainan tenis seluas 80 meter persegi.
Bertanding menghadapi Janteam, peraih medali perunggu ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017, Nurdin pun kewalahan. Penempatan bola Janteam sangat akurat dan menyulitkan. Selain itu, Janteam cukup lincah dalam bermanuver dengan kursi rodanya.
Keterbatasan alat
Janteam ditunjang kursi roda berkualitas baik sehingga pergerakannya lebih cepat dan stabil. Kursi roda yang bagus akan sangat menunjang performa petenis. Adapun kursi roda para atlet Indonesia cenderung tidak sebagus Thailand.
Karena mahalnya harga kursi roda, tidak semua petenis Indonesia memilikinya. Kursi roda yang dipakai para petenis Indonesia kebanyakan merupakan inventarisasi Komite Paralimpiade Nasional (NPC) di provinsi masing-masing.
”Di sini, rata-rata atlet yang punya kursi (roda) pribadi cuma dua. Yang lainnya punya, tapi statusnya pinjaman dari NPC daerah masing-masing,” ujar Satria Yudi, pelatih tenis kursi roda Indonesia.
Karena kursi roda yang mereka gunakan tidak dibuat khusus sesuai kebutuhan (customized), petenis Indonesia kerap kesulitan mengeluarkan performa terbaik. Kendala itu turut dialami Nurdin yang kesulitan mengendalikan kursi rodanya saat melakukan servis bola.
Berbeda dengan Janteam yang lincah bermanuver dengan kursi rodanya, Nurdin beberapa kali mati kutu saat berusaha mengembalikan bola. Lengannya sudah begitu kelelahan untuk menggerakkan kursi roda dan mengayunkan raket dalam laga yang berlangsung lebih dari satu jam.
Nurdin, yang mampu memberikan perlawanan di set pertama dengan skor 3-6, harus menyerah 2-6 di set kedua. Nurdin pun takluk dengan skor 0-2. ”Saya punya kelemahan di (genggaman) jari. Pukulan forehand saya juga lemah. Tadi coba kembalikan (bola dari pukulan lawan) saja,” ujarnya.
Kesulitan tinggi
Menurut Nurdin, menggerakkan kursi roda dan kemudian mengayunkan raket dalam waktu yang hampir bersamaan punya tingkat kesulitan yang tinggi. Seorang petenis kursi roda pemula, katanya, biasanya butuh waktu sekitar lima tahun hingga bisa fasih bermain.
Lawan lebih bagus dan berkualitas. Kami selama ini hanya latihan-latihan, tidak pernah menambah jam terbang (di kejuaraan). (Nurdin)
Latihan petenis meja kursi roda pemula biasanya dimulai dengan melakukan manuver dan kelincahan. Setelah itu, menyesuaikan diri dengan teknik memukul bola sembari menggerakkan kursi roda.
Tingkat kesulitan yang tinggi ini mengakibatkan tidak begitu banyak atlet yang mampu konsisten bermain tenis kursi roda. Kemunculan atlet tenis kursi roda baru di Indonesia pun tergolong tidak seberapa masif dibandingkan bulu tangkis.
Kondisi itu juga tercermin dari jumlah negara peserta cabang tenis kursi roda yang relatif sedikit, yaitu hanya Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Pada ASEAN Para Games 2017, jumlah negara yang berpartisipasi di cabang ini pun hanya dua, Thailand dan Malaysia.
Lambannya regenerasi
Regenerasi atlet tenis kursi roda di Indonesia juga tergolong lamban. Untuk ASEAN Para Games kali ini, Indonesia menerjunkan delapan atlet, yaitu Agus Fitriadi, Kevin Sanjaya, Daryoko, Fikkri Toyib, Nurdin, Madhusen, Ndaru Patma Putri, dan Siti Hanna Komala Sari. Hampir semua nama-nama tersebut merupakan atlet senior, termasuk Nurdin yang sudah tampil sejak ASEAN Para Games 2011 di Surakarta.
Peluang Indonesia mendapatkan medali di ASEAN Para Games ini terbilang cukup berat mengingat Thailand dan Malaysia merupakan unggulan di cabang tenis kursi roda Asia Tenggara. Para petenis Thailand sangat berpengalaman karena rutin mengikuti kejuaraan internasional.
Kondisi itu kontras dengan petenis Indonesia yang tidak pernah melakukan uji coba atau mengikuti kejuaraan internasional. ”Lawan lebih bagus dan berkualitas. Kami selama ini hanya latihan-latihan, tidak pernah menambah jam terbang (di kejuaraan),” kata Nurdin.
Melihat kondisi itu, Nurdin realistis dan menargetkan medali perak di nomor tunggal quad. Selain Nurdin, Indonesia juga menurunkan Madhusen. Di tengah segala keterbatasan, mereka berupaya menjegal dominasi Thailand.