Setiap atlet yang naik podium pada Kejuaraan Dunia Atletik 2022 di Oregon, AS, dua kali mendapat medali dari tiap nomor yang diikuti. Salah satunya adalah ”medali instan” yang dikalungkan langsung setelah berlomba.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Enam pelari putra dan putri yang naik podium nomor 200 meter Kejuaraan Dunia Atletik 2022 tidak perlu menunggu lama untuk meraih medali. Hanya beberapa detik setelah mencapai garis finis, mereka langsung dikalungi medali di lapangan.
Trio pelari Amerika Serikat, Noah Lyles, Kenneth Bednarek, dan Erriyon Knighton, dikalungi medali oleh petugas lapangan setelah masing-masing finis pertama hingga ketiga dalam final lari 200 meter putra di University of Oregon Hayward Field di Eugene, Oregon, AS, Jumat (22/7/2022) siang WIB.
Lyles mempertahankan gelar juara dunia 200 meter dengan waktu 19,31 detik yang merupakan waktu tercepat ketiga sepanjang sejarah nomor itu. Dia hanya kalah dari dua pelari Jamaika, Usain Bolt, yang memegang rekor dunia (19,19 detik) sejak 2009, dan Yohan Blake (19,26 detik).
Dalam nomor putri, Shericka Jackson (Jamaika) untuk pertama kalinya menjadi juara dunia dengan catatan waktu terbaik sepanjang kariernya, yaitu 21,45 detik. Catatan waktu itu hanya kalah cepat dari rekor dunia (21,34 detik) milik Florence Griffith Joyner yang dibuat pada Olimpiade Seoul 1988. Peraih perak dan perunggu adalah rekan senegara Jackson, Shelly-Ann Fraser-Pryce (21,81 detik), dan juara bertahan asal Inggris, Dina Asher-Smith (22,02 detik).
Seperti atlet lainnya yang berhak naik podium sejak kejuaraan itu dimulai pada 15 Juli, mereka langsung dikalungi medali, termasuk atlet-atlet yang bersaing di nomor-nomor lapangan, seperti lempar lembing, lempar cakram, dan lontar martil.
Namun, pengalungan medali di lapangan itu bukan berarti menghilangkan upacara penghormatan pemenang di podium yang diiringi lagu kebangsaan untuk menghormati peraih medali emas.
Ide itu dilontarkan Direktur Eksekutif Kejuaraan Dunia Atletik 2022 Niels de Vos yang terinspirasi dari momen Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Saat itu, banyak atlet yang harus menerima medali sehari setelah menjalani final dengan stadion yang sepi penonton.
”Keluarga dan teman hadir saat atlet berlomba. Mereka belum tentu mendapatkan tiket ke stadion, keesokan hari. Dari perspektif atlet, saya tak ingin mereka mendapatkan pengalungan medali tanpa kehadiran keluarga,” kata De Vos, dikutip media Australia, ABC.
Semula, beberapa atlet terkejut dengan ”seremoni” instan itu. ”Apa yang mereka lakukan? Saya ingin seremoni pengalungan medali,” kata Mutaz E Barshim, peraih emas loncat tinggi putra asal Qatar.
Ia harus segera mengembalikan medali itu seusai lomba. Namun, ia mendapatkannya kembali dengan namanya terukir di medali melalui acara penghormatan pemenang.
Menyenangkan mendapatkan medali secepat itu. Belum sampai semenit setelah finis, saya dikalungi medali. (Laura Muir)
Pengukiran nama pemenang pada medali dilakukan di beberapa ruang di bawah kursi stadion. Total ada 252 medali yang diukir dan dibagikan pada upacara podium. Maka, setelah mendapat medali yang bisa dibawanya pulang, Barshim mengalungkannya pada putranya.
”Saya sangat senang karena keluarga saya bisa melihat dan memegang medali ini,” kata peraih emas Olimpiade Tokyo 2020 itu.
Tak pelak, seiring berjalannya kejuaraan, mereka pun menyukai skenario baru itu. ”Menyenangkan mendapatkan medali secepat itu. Belum sampai semenit setelah finis, saya dikalungi medali,” ungkap Laura Muir, pelari Inggris, yang menyabet medali perunggu pada 1.500 meter putri.
Lain lagi dengan yang dialami atlet heptatlon putri AS, Anna Hall. Dia baru sadar berhak atas medali perunggu setelah dikalungi medali di lapangan. ”Saya kelelahan, jadi baru sadar mendapatkan medali pada momen itu. Saya pun berpikir, ’Wow, akhirnya saya berhasil’,” katanya.
Memang bukan tugas mudah bagi para pemandu untuk mencari atlet dan mengalungkan medali di lapangan. Ada atlet yang merayakan kemenangannya dengan tenang, ada pula yang langsung melakukan victory lap menjauhi garis finis.
Untuk menjalankan tugas tersebut, De Vos membawa orang-orang yang sangat mengenal atletik dari Inggris untuk menjadi pemandu. De Vos kebetulan adalah Ketua Eksekutif Asosiasi Atletik Inggris dan menjadi CEO saat Kejuaraan Dunia Atletik digelar di London, Inggris, pada 2017.
Cherry Alexander, seorang pemandu, misalnya, kesulitan mengalungkan medali juara lari 100 meter putra, Fred Kerley (AS), yang tingginya 190 sentimeter. Momen itu menjadi bahan memedi media sosial.
Mereka yang naik podium serta yang menempati peringkat delapan besar juga berhak atas hadiah uang. Dengan total 8,5 juta dollar AS (Rp 127,4 miliar), juara pada kategori individu mendapat sekitar Rp 1 miliar, sementara juara estafet dengan hadiah Rp 1,2 miliar. (AFP/REUTERS)