Sebanyak 799 siswa yang baru lulus SD akan mengikuti rangkaian seleksi lanjutan program pembinaan sentra latihan DBON. Walau jumlah pendaftar cenderung minim, segenap pemangku kepentingan akan tetap mengoptimalkannya.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Setelah proses seleksi administrasi, sebanyak 799 siswa lulusan sekolah dasar atau SD akan mengikuti rangkaian seleksi lanjutan program pembinaan sentra latihan olahragawan muda potensial nasional, yang menjadi implementasi Desain Besar Olahraga Nasional atau DBON selama tiga hari di empat perguruan tinggi. Jumlah pendaftar program pembinaan atlet muda itu dinilai masih jauh dari harapan.
Namun, segenap pemangku kepentingan terkait menganggapnya wajar karena program itu baru dimulai. Bagi mereka, yang penting program itu bisa dimulai. Selanjutnya, mereka akan menjalankan program itu dengan optimal agar semakin dikenal masyarakat dan animo yang mendaftar jauh meningkat di tahun-tahun berikutnya.
”Jumlah yang mendaftar memang masih dikit. Harapan kami sebenarnya lebih dari itu. Mungkin ini karena waktunya mepet. Selain itu, mungkin banyak siswa yang sudah mendaftar atau dapat sekolah lain,” ujar Ketua Tim Pakar UU 11/2022 dan DBON sekaligus Ketua Tim Review Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Prof Dr Moch Asmawi saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/7/2022).
Asmawi mengatakan, selama pembukaan pendaftaran 3-10 Juli, ada 1.090 siswa yang baru lulus SD mendaftarkan diri. Namun, setelah seleksi administrasi, hanya 799 siswa yang lolos untuk ikut seleksi tahap berikutnya di empat perguruan tinggi, yakni Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, Jawa Barat, Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
”Yang tidak lolos seleksi administrasi itu karena mereka tidak lolos persyaratan awal, seperti batas minimum tinggi badan (atletik minimum 170 sentimeter atau cm untuk putra dan 162 cm untuk putri, renang 175 cm/160 cm, rowing 180 cm/170cm, kano 175 cm/165 cm, panahan 160 cm/158 cm, serta taekwondo 170 cm/160 cm),” kata Asmawi.
Para peserta akan menjalani seleksi lanjutan sesuai cabang olahraga yang diminati. Ada enam cabang yang akan dibina di UNJ (angkat besi, atletik, menembak, panahan, balap sepeda BMX, dan panjat tebing), lima cabang di UPI (angkat besi, atletik, renang, dayung, dan taekwondo), empat cabang di Unnes (angkat besi, atletik, panahan, dan panjat tebing), dan empat cabang di Unesa (atletik, renang, panahan, dan taekwondo).
Seleksi itu berlangsung tiga hari, yakni 13-15 Juli di UNJ dan Unnes, serta 18-20 Juli di UPI dan Unesa. Tahapan seleksinya, terdiri atas tes antropometri, kesehatan, biomotorik, keterampilan spesifik cabang olahraga, dan psikologi sebelum pengumuman hasil pada 21 Juli. ”Kami belum tahu berapa banyak yang akan diterima. Intinya, kami hanya menerima siswa yang benar-benar lolos dari semua parameter pengujian tersebut,” terang Asmawi.
Proyek percontohan
Asmawi tidak menafikan bahwa seleksi saat ini adalah proyek percontohan yang menjadi tolok ukur pengembangan seleksi di masa mendatang. Maka itu, walau jumlah yang mendaftar masih minim, mereka tidak terlalu memusingkannya.
Mereka akan mencoba mengoptimalkan siswa yang didapat dari semua tahap seleksi tersebut. Tujuannya, agar bisa menjadi inspirasi untuk masyarakat pada seleksi-seleksi selanjutnya. Apalagi ke depan, mereka ingin membuka pendaftaran untuk cabang yang lebih banyak sesuai yang terdaftar di DBON serta memperluas lokasi sentra ke perguruan tinggi lain, termasuk di luar Jawa.
”Jadi, jumlah yang ikut seleksi kali ini masih sedikit karena mereka belum melihat praktik dari sentra pembinaan ini. Kalau sudah berjalan dan terbukti baik, kami yakin animo masyarakat untuk ikut seleksi jauh lebih besar ke depannya. Jadi, sekarang, kami fokus mempertanggungjawabkan dulu yang mau berjalan ini,” ungkap Asmawi.
Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ sekaligus anggota Bidang Pembibitan untuk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) Mustara Musa menuturkan, jumlah yang mendaftar memang kurang ideal. Sebab, dengan begitu, siswa yang didapat bakal dari hasil seleksi yang kurang ketat.
”Sebagai gambaran, kalau kita dapat 10 siswa dari 100 orang, itu artinya kita mendapatkan orang-orang terbaik dari banyak pilihan. Kalau dapat 10 siswa dari 15 orang, daya saing siswa yang didapat belum benar-benar teruji. Persaingan ketat dari awal seleksi sangat penting agar para siswa tidak berada dalam zona nyaman sejak awal penerimaannya. Itu diharapkan memancing mereka untuk terus termotivasi menjadi lebih baik,” tuturnya.
Kami fokus mempertanggungjawabkan dulu yang mau berjalan ini.
Kendati demikian, lanjut Mustara, upaya pemerintah melalui Kemenpora dalam mengimplementasikan DBON tetap harus didukung. Setidaknya, sentra pembinaan DBON itu menjadi pelengkap rantai pembinaan yang sudah ada selama ini, yakni mulai dari sekolah khusus olahraga (SKO), pusat pendidikan dan latihan pelajar (PPLP)/pusat pendidikan dan latihan pelajar daerah (PPLPD), pemusatan latihan daerah (pelatda), hingga pemusatan latihan nasional (pelatnas).
Lagi pula, sentra pembinaan DBON coba melakukan terobosan dengan mengutamakan pendekatan sport science dengan memanfaatkan tenaga akademis di perguruan tinggi. ”Jadi, ini kesempatan pula untuk perguruan tinggi berkontribusi nyata dalam melahirkan juara baru bagi Indonesia. Melalui sentra pembinaan DBON, mereka mendapatkan wadah untuk mempraktikan hasil riset selama ini. Semoga ini bisa berkembang dan menjadi ekosistem pembinaan dari kampus, seperti NCAA (National Collegiate Athletic Association) di Amerika Serikat,” ucap Mustara.
Sementara itu, Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PB PABSI) Hadi Wihardja menyampaikan, selain mengharapkan hasil seleksi yang berkualitas, dirinya berpesan agar ada kontrol atau evaluasi secara berkelanjutan dalam proses pembinaan nantinya. Jangan sampai motivasi siswa luntur di tengah jalan.
Di sisi lain, pembina pun mesti paham makna pembinaan usia dini. Pembinaan siswa dalam rentan usia sekolah menengah pertama (SMP) atau antara usia 12-14 tahun adalah masa untuk menikmati serta belajar teknik dengan baik dan benar sesuai cabang masing-masing. ”Jadi, jangan buru-buru membawa mereka ikut kompetisi dan mengejar juara. Biarkan mereka matang lebih dulu, baru kemudian mengincar prestasi,” pungkas Hadi.