Timnas Sepak Bola Amputasi Menembus Piala Dunia dalam Sunyi
Dalam senyap, timnas sepak bola amputasi Indonesia lolos ke Piala Dunia 2022 di Turki. Mereka berusaha sendiri tanpa ada dukungan dari pemerintah. Pemerintah baru memperhatikan seusai kesuksesan tim itu jadi viral.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·7 menit baca
Jiwa-jiwa kuat yang tidak pernah menyerah dengan takdir tampaknya sudah mendarah-daging pada diri pengurus dan pesepak bola tim nasional amputasi Indonesia. Bukan hanya bangkit dari takdir hidup dengan anggota tubuh yang tidak sempurna, mereka pun tak pernah menyerah dalam mengharumkan ”Merah-Putih” di tengah keterbatasan.
Terbukti, meski minim dukungan dari pemerintah, dalam senyap mereka mampu membawa Indonesia menembus Piala Dunia Sepak Bola Amputasi 2022 yang akan berlangsung di Istanbul, Turki, 1-9 Oktober mendatang. Padahal, Indonesia baru kali ini berpartisipasi dalam kualifikasi ajang paling bergengsi untuk sepak bola amputasi yang dimulai perdana di Seattle, Amerika Serikat, pada 1984 tersebut.
Skuad ”Garuda” mendampingi Jepang lolos ke Piala Dunia 2022 seusai meraih dua kemenangan dan satu kekalahan dalam kualifikasi zona Asia Timur di Dhaka, Bangladesh, selama 12-14 Maret. Mereka menang 8-0 atas tuan rumah pada 12 Maret dan menang 3-0 atas Malaysia pada 13 Maret, tetapi kalah 0-2 dari Jepang pada 14 Maret.
”Dengan segala keterbatasan yang kami miliki, kami mampu membuktikan bisa bersaing di level dunia. Tim ini adalah para pejuang yang mampu melawan segala hambatan. Tidak semua orang mampu melakukannya,” ujar Ketua Umum Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) Yudi Yahya dengan suara bergetar saat melakukan audiensi dengan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali di Gedung Kemenpora, Jakarta, Kamis (17/3/2022).
Perjuangan berat nan panjang
Rasa haru tidak bisa dibendung Yudi tatkala mengisahkan perjuangan berat dan panjang dalam mempersiapkan timnas amputasi ke kualifikasi Piala Dunia 2022. Yudi, yang diamputasi kaki kanannya akibat kecelakaan sepeda motor pada 2010, menceritakan, mereka nyaris tidak tersentuh bantuan dari pemerintah sejak 2018 membangun timnas.
Sejak dimulai pada 13 Februari, pemusatan latihan nasional (pelatnas) mereka dilakukan seadanya. Sebanyak 20 pemain dan tim pelatih menumpang tempat tinggal di rumah Sekretaris Jenderal PSAI Rusharmanto Sutomo di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dalam berlatih, mereka tidak memiliki tempat yang pasti. Awalnya, mereka berlatih di salah satu lapangan di daerah Srengseng, Jakarta Barat. Rombongan timnas setiap hari berangkat menggunakan sepeda motor pribadi untuk berlatih ke sana dengan jarak sekitar satu jam dari Pasar Minggu.
Kalau mau latihan, biasanya makan di warteg pakai gorengan. Tapi, kami nikmati saja. Semuanya tetap memberikan yang terbaik selama latihan.
Jadwal latihan tidak terlalu menguntungkan karena mendapat tempat pada pukul 11.00-14.00 WIB atau ketika matahari sedang terik-teriknya. Beberapa pemain sempat sakit akibat terus-menerus berlatih di cuaca menyengat. Mereka lalu berpindah tempat latihan di Kebagusan, Pasar Minggu.
Beruntung, satu hari berlatih di Kebagusan, mereka difasilitasi seorang anggota DPR RI untuk berlatih di lapangan Kompleks Gedung DPR/MPRRI, Jakarta Pusat. ”Sekitar dua minggu sebelum berangkat ke Dhaka, ada sejumlah donator yang menolong. Mereka mengakomodir (transportasi) bus dan lapangan latihan,” kata Yudi yang memimpin PSAI sejak 2018.
Secara umum, Yudi menyampaikan, PSAI mempersiapkan timnas dari pendanaan secara swadaya dan kolektif. ”Donator yang ada sifatnya perseorangan, termasuk sponsor yang membantu menyediakan jersei dan sepatu,” ujarnya.
Gorengan dan tongkat patah
Kapten sekaligus playmaker timnas amputasi, Aditya, merasakan betul betapa terbatasnya fasilitas yang ada. Konsumsi sehari-hari, misalnya, mereka tidak mendapatkan menu makanan atau nutrisi khusus selayaknya atlet pelatnas lainnya.
Mereka cuma makan seadanya dan yang paling sering gorengan. ”Kalau mau latihan, biasanya makan di warteg pakai gorengan. Tapi, kami nikmati saja. Semuanya tetap memberikan yang terbaik selama latihan,” ucap Aditya yang sebelum diamputasi di kaki kanannya pada 2019 sempat memperkuat Persib Bandung U-17 selama 2014-2015.
Keterbatasan lain dirasakan pada tongkat bermain. Selama berlaga di Dhaka, sebagian besar pemain hanya menggunakan tongkat medis. Tongkat itu terbuat dari karbon sehingga mudah patah. Kalau patah, wasit tidak menghentikan waktu untuk pemain bersangkutan menukar tongkatnya. Momen itu menjadi kerugian untuk tim terkait.
Naasnya, pemain Indonesia mengalami patah tongkat di setiap laga. ”Kami pakai tongkat alat kesehatan, makanya gampang patah. Bahkan, pas lawan Jepang, ada empat tongkat yang patah. Salah satu momen merugikan pas tongkat saya patah, pemain Jepang memanfaatkannya untuk mencetak gol pertama mereka pada babak pertama. Kalau Jepang dan Malaysia, mereka pakai tongkat khusus yang terbuat dari stainless (steel) sehingga lebih kuat,” ujar Aditya yang diamputasi dampak infeksi cedera sewaktu bermain membela perguruan tingginya pada pertengahan 2017.
Kerja sukarela
Secara keseluruhan, para personel timnas amputasi, mulai dari pengurus, pelatih, sampai pemain, bekerja sukarela. Muhammad Syafei, pelatih timnas, mengatakan, sejak terbentuk pada 2018, pelatih ataupun pemain tidak mendapatkan gaji. Namun, mereka tetap mengabdi demi membawa nama baik Indonesia.
”Pada 2017, saya dihubungi Pak Sutomo untuk melatih timnas. Karena terkesan dengan semangat teman-teman disabilitas, saya bersedia membantu dan meninggalkan kerja saya di bidang sertifikasi dalam lembaga konsultan untuk PLN (Perusahaan Listrik Negara). Memang, di sini tidak ada gajinya. Tapi, saya bahagia bisa membantu mereka yang juga anak bangsa dan punya potensi besar membanggakan negara,” ujar Syafei yang sempat menjadi pelatih klub-klub kampung selama 1996-2001 dan wasit di kawasan Jawa Barat dari 2001 hingga sekarang.
Bek timnas amputasi, Ahmad Anuar, sehari-hari bekerja serabutan, seperti menyemir sepatu dan buruh bangunan.
Adapun para pemain timnas amputasi berasal dari beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Mereka direkrut dari seleksi nasional pada akhir 2021 dan turnamen di Jember, Jawa Timur, pada Januari 2022. Sebagian dari mereka berstatus disabilitas sejak lahir, sebagian lainnya akibat kecelakaan. Sehari-hari mereka adalah mahasiswa, buruh, atau wiraswasta.
Bek timnas amputasi, Ahmad Anuar, sehari-hari bekerja serabutan, seperti menyemir sepatu dan buruh bangunan. Pemain kelahiran Pekanbaru, Riau, ini tidak dijanjikan materi saat diajak bergabung dengan PSAI pada 2018 dan akhirnya menjadi pemain timnas.
Menurut pemain berusia 29 tahun itu, menjadi pesepak bola amputasi menumbuhkan lagi semangat hidupnya. Dia sempat kurang percaya diri karena kehilangan kaki kiri setelah diamputasi pada umur tujuh tahun. Kaki kirinya diamputasi akibat terbakar tatkala kebakaran melanda rumahnya pada 2010. ”Di PSAI, saya bertemu dengan teman-teman yang bernasib serupa. Saya pun bisa menyalurkan hobi bermain bola yang tidak bisa saya lakukan sebelum ini,” ujarnya.
Mengharapkan perhatian
Dengan prestasi yang ditorehkan, lanjut Yudi, mereka berharap pemerintah melalui Kemenpora bisa memberikan perhatian. Dukungan penuh amat dinanti untuk persiapan ke Piala Dunia 2022 yang hanya tersisa lima bulan. ”Kalau dibantu pemerintah, kami yakin bisa mencapai hasil lebih maksimal. Kami menargetkan bisa menembus 10 besar dunia,” ujarnya.
Penyerang timnas amputasi, Agung Rizki Satria, mengatakan, Indonesia memiliki modal banyak diperkuat pemain muda. Skill para pemain itu tergolong cukup baik. Akan tetapi, mereka masih minim pengalaman karena jarang berlaga di level internasional.
Sejak bergabung pada 2018, pemain kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, itu baru dua kali menghadapi tim luar negeri, yakni Malaysia, dalam laga persahabatan pada 2018 dan kualifikasi Piala Dunia 2022. ”Selain fasilitas yang lebih baik, kami butuh lebih sering menjalani laga melawan tim-tim luar, terutama yang lebih kuat untuk belajar strategi permainan. Kami masih lemah dalam pemahaman bermain secara tim. Itu sangat diperlukan ketika berjumpa dengan tim berpengalaman, khususnya dari Afrika dan Eropa,” ucap pemain berusia 22 tahun tersebut.
Menpora Zainudin mengakui, ia kurang familiar dengan sepak bola amputasi sebelum tersiar kabar timnas lolos ke Piala Dunia 2022. Terlepas dari itu, prestasi tersebut patut diapresiasi. Untuk itu, Kemenpora berjanji membantu segenap kebutuhan tim menuju Piala Dunia.
”Insya Allah, semua hambatan yang sempat dialami kemarin tidak terulang lagi. Nanti, untuk tempat menginap, latihan, peralatan, nutrisi, dan tim medis, semua akan kami dukung. Sekarang, semua itu jangan jadi beban pikiran lagi. Konsentrasi latihan dan mempersiapkan tim dengan baik saja agar tim tidak gugur di penyisihan,” kata Zainudin.
Niat positif dari Kemenpora harus dihargai. Namun, dukungan spontan itu bak menampar nilai-nilai Desain Besar Olahraga Nasional yang diagungkan akhir-akhir ini. Mereka selalu mendengungkan bahwa prestasi wajib lahir dari perencanaan, bukan dari ketidaksengajaan. Nyatanya, jerih payah terukur PSAI sejak 2018 yang berujung lolos Piala Dunia 2022 itu tidak terpantau dan justru baru diperhatikan pemerintah karena kebetulan prestasi itu menjadi viral di media.