Menantikan Bahagia di Ujung Piala Afrika
Piala Afrika 2021 di ujung laga. Senegal dan Mesir akan bersua. Dua orang rendah hati dan dipenuhi kebaikan bakal menawarkan kegembiraan dan kebanggaan dalam laga itu.
Di tengah beragam keraguan, Piala Afrika 2021 berusaha keras memberikan kebahagiaan bagi semua penikmatnya. Tidak mudah, tetapi bagi sepak bola tidak ada yang mustahil untuk mewujudkan mimpi itu.
Akhir Juli 2019, pembangunan gedung sekolah bertingkat dua di Banbali, Senegal, itu baru saja rampung. Belum ada kegiatan belajar-mengajar di daerah berjarak sekitar 500 kilometer dari Dakar, ibu kota negara.
Akan tetapi, siang itu banyak orang datang ke sana. Donatur tunggal sekolah itu datang berkunjung untuk pertama kalinya. Bukan orang biasa, dia adalah Sadio Mane (29), pesepak bola asli Banbali andalan Liverpool, klub ternama di Liga Inggris.
”Pendidikan harus menjadi prioritas. Sekolah harus dijadikan prioritas. Kita harus selalu mendahulukan sekolah,” kata Mane, mirip seperti yang kerap diucapkan mendiang ayahnya dulu.
”Lakukan (kebaikan) ini tidak untuk Banbali saja, tetapi juga bagi Senegal. Semoga Allah selalu memberkatimu," kata seorang warga yang bahagia.
Baca juga : Piala Afrika Jadi Panggung Pengharapan
Dari lantai dua gedung itu, Mane semringah dengan sambutan itu. Senyuman Mane kian lebar saat warga memintanya memberikan banyak piala dalam karier sepak bola.
Saat itu, Senegal masih dirundung duka. Belum lama sebelum kedatangan Mane, timnas Senegal gagal di partai final Piala Afrika 2019 melawan Aljazair. Mane menjadi bagian dari tim dan terpukul saat gagal di akhir laga.
Meski terluka, Mane kembali tersenyum mendengar itu. Dia berkata, ”Saya berjanji pada kalian, saya akan menang tahun ini. Insya Allah,” seperti yang terlihat dalam tayangan dokumenter berjudul ”Sadio Mane: Made in Senegal”.
Lebih dua tahun kemudian, janji itu masih dipegang Mane dalam laga Piala Afrika 2021 di Kamerun. Timnas Senegal dibawa ke partai final. Di semifinal, mereka mengalahkan Burkina Faso, 3-1. Mane mencetak satu asis dan satu gol indah.
”(Piala Afrika) adalah hal yang paling saya inginkan. Rakyat Senegal juga pantas mendapatkannya,” kata Mane.
(Piala Afrika) adalah hal yang paling saya inginkan. Rakyat Senegal juga pantas mendapatkannya.
Senegal memang belum berjodoh dengan Piala Afrika meski sudah 16 kali jadi peserta. Dua partai puncak sebelumnya berujung kekalahan. Hanya pemenang yang akan selalu dikenang.
Generasi emas Senegal sempat membuka harapan saat bertarung di Mali tahun 2002. Namun, mereka kalah saat adu penalti ketika melawan Kamerun, 3-2. Salah seorang penendang yang gagal adalah kapten Aliou Cisse.
Baca juga : Pembalasan Sempurna Pasukan ”Firaun”
Cisse kembali ke final bersama Senegal di Mesir tahun 2019. Kala itu, dia menjadi pelatih. Mane memperkuat Liverpool, jadi salah satu pemain terbaiknya. Senegal kalah akibat gol di awal pertandingan. ”Saat itu, kami sudah menyentuhnya (gelar juara), tetapi belum bisa menggegamnya,” kata Cisse.
Tahun ini, mereka kembali lagi di partai puncak. Lawannya adalah Mesir, juara tujuh kali Piala Afrika. Mohamed Salah (29), rekan Mane di Liverpool dan salah satu pemain terbaik dunia, jadi motor utamanya.
Sama seperti Mane, ini bukan final pertama bagi Salah. Dalam laga final 2017, Salah ada dalam tim Mesir yang kalah di tangan Kamerun, tim yang mereka tundukkan di semifinal tahun ini.
”Kami sangat menginginkan Piala Afrika,” kata Salah yang tengah dalam permainan terbaiknya. Musim ini, dia mencetak 16 gol dari 20 penampilan untuk Liverpool dan saat ini menjadi top skorer.
Salah mengatakan, mimpi juara lagi hanya bisa didapat bila banyak orang bersatu, termasuk dukungan suporter hingga komentator televisi. Tanpa itu, sulit mewujudkan keinginan jadi yang terbaik.
”Jika mencintai tim nasional Mesir, Anda harus mendukung tim dan bukan pemain tertentu. Tidak ada pemain yang lebih penting dari tim,” katanya.
Dia mengatakan, sebetulnya tidak ambil pusing dengan penilaian itu. Pengalaman sebagai pesepak bola sudah mengajarkan banyak hal. ”Namun, ada pemain lain yang baru bergabung untuk pertama kalinya, dan mereka, Insya Allah, adalah masa depan tim ini,” katanya.
Sepatu butut
Salah tidak asal bicara. Dia telah melewati banyak aral sebelum ada di puncak. Kemampuan sepak bola dia dimulai dari kampung halamannya di Nagrig, Mesir.
Laporan The Guardian menyebutkan, ketika berusia 14 tahun, dia melakukan perjalanan lebih dari 4 jam dengan bus, kadang-kadang berganti lima kali, dari rumahnya untuk berlatih sepak bola.
Seusai membela Mesir U-23, kariernya di Eropa dimulai tahun 2014 saat dilirik FC Basel (Swiss) sebelum membela raksasa Inggris, Chelsea. Namun, dia kalah bersaing lantas dipinjamkan dua kali ke Italia, di Fiorentina dan AS Roma. Penampilanya membuat AS Roma merekrutnya permanen lalu Liverpool di tahun 2017.
Setahun sebelum Salah datang, Pelatih Liverpool Jurgen Klopp lebih dulu memboyong Mane. Perjalanan Mane juga penuh liku. Dia pernah bermain dengan sepatu butut hingga cedera yang nyaris memutus kariernya.
Akan tetapi, Mane enggan menyerah. Ballonbuwa atau si penyihir bola, merujuk julukannnya di kampung, mengalahkan keterbatasan. Dari akademi Generation Foot di Senegal, dia terbang ke FC Metz (Perancis), hingga hijrah di RB Salzburg (Austria). Dari sana, dia jadi andalan Southampton di Liga Inggris sebelum sampai di Stadion Anfield.
Mane dan Salah lantas menjadi rekan sehati. Peran mereka besar saat merebut trofi Liga Champions (2018/2019) dan menjuarai Liga Inggris (2019/2020). Namun, pada Piala Afrika 2021, keduanya jelas tidak bisa mengangkat piala bersama. Hanya akan ada satu tim pemenang di laga final.
Akan tetapi, siapa pun negara pemenangnya, mereka tetap juara. Salah dan Mane membawa sepak bola ke tingkatan berbeda. Jauh dari gemerlap pesta dan pamer kemewahan, mereka membantu negaranya berkembang dalam berbagai bidang.
Selain sekolah, Mane juga membangun rumah sakit di Banbali. Dia belajar dari pengalaman. Karena tidak ada rumah sakit, adiknya lahir di rumah. Ayahnya meninggal dunia setelah kesulitan mendapat akses kesehatan. Mane yang rendah hati juga berdonasi saat pandemi. Dia mendonasikan uangnya untuk penanganan Covid-19 di Senegal.
Salah juga tidak lupa dengan Nagrig. Di tengah kesederhanaannya, dia membangun gim komunitas serta lapangan untuk mengasah bintang masa depan.
Salah juga membangun masjid, sekolah agama, pasar makanan amal, pengolahan limbah, hingga sumber air bersih. Saat pandemi, Salah menyumbangkan oksigen dan ambulans hingga makanan bagi warga.
Tahun 2021, Salah dianugerahi Laureus Sporting Inspiration Awards atas inspirasinya itu. Dalam Skysports, dia mendedikasikan penghargaan itu kepada penggemar olahraga di seluruh dunia.
Menurut Salah, tahun 2020 adalah masa sangat sulit. Beberapa orang dijauhkan dari keluarga dan teman. Sebagian lain bahkan kehilangan orang yang dicintai. Dari pengalaman ini, ia mengatakan perlu belajar kembali untuk mendukung satu sama lain dan melakukan yang terbaik untuk melihat ke depan.
”Ini menjadi pengingat yang sangat keras tentang fakta bahwa olahraga, termasuk sepak bola, tidak ada artinya tanpa penggemar. Semua orang di dunia olahraga dapat diganti, penggemar tidak bisa,” katanya.
Keinginan Mane dan Salah membawa bahagia bagi para penggemar olahraga dan rakyat di negara masing-masing layak ditunggu di laga pamungkas Piala Afrika 2021 pada Senin (7/2/2022) subuh waktu Indonesia.
Baca juga : Mane, Inspirasi Senegal Jaga Mimpi Kuasai Afrika
Kemampuan keduanya diharapkan jadi pelipur lara ajang ini di tengah banyak insiden dan keraguan. Mulai dari banyak pemain dan ofisial tertular Covid-19 hingga delapan orang tewas akibat kerusuhan. Tudingan rasial, gangguan keamanan, dan kata-kata provokatif juga mewarnai turnamen ini.
Menarik mengutip pendapat Pelatih Mesir Carlos Queiroz yang mengkritik ucapan legenda Kamerun, Samuel Eto’o. Dikutip dari BBC, saat itu Eto’o membandingkan semifinal Piala Afrika antara kedua negara dan perang.
”Sepak bola bukan tentang perang. Sepak bola adalah tentang perayaan, ini tentang kegembiraan, ini tentang kebahagiaan,” kata mantan pelatih Real Madrid itu.