Piala Afrika Jadi Panggung Pengharapan
Sepak bola bukan melulu soal menang atau kalah. Turnamen Piala Afrika 2021 juga memperlihatkan sepak bola bisa menjadi simbol harapan bagi warga pencari suaka hingga negara yang sempat porak-poranda akibat kudeta.
Sepak bola kembali memperlihatkan kekuatan untuk memberikan harapan bagi manusia agar hidup lebih baik. Kisah-kisah inspiratif, seperti dongeng anak pencari suaka, mantan penjaga sekolah yang jadi andalan bangsa, hingga prestasi mengejutkan negara yang tengah didera kudeta, tersaji di Piala Afrika 2021.
Sekitar enam tahun lalu, Ebrima Darboe (20) hanyalah pencari suaka yang meninggalkan Bakoteh, Gambia, menuju Italia demi mimpi hidup yang lebih baik. Umurnya saat itu 14 tahun. Ayahnya baru saja meninggal dunia. Namun, dia nekat berangkat demi mimpinya itu. Berdesak-desakan dengan orang dewasa, Darboe kecil lantas menempuh perjalanan darat dan laut yang berbahaya.
Ia memulai perjalanannya dengan menggunakan bus melintasi Afrika Utara dan Laut Tengah. Enam bulan kemudian, dia pun tiba di Libya. Perjalanannya jauh dari usai. Bersama para pencari suaka lainnya, Darboe berebut secuil tempat di dalam perahu sederhana melintasi lautan dengan tujuan akhir Italia.
”Dua jam di laut, kami lalu ditolong perahu besar dan dibawa ke Italia. Meski berbahaya, keinginan hidup lebih baik teramat besar,” katanya.
Baca juga : Mane, Inspirasi Senegal Jaga Mimpi Kuasai Afrika
Diakui Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), Laut Tengah adalah rute migrasi paling berbahaya di dunia. Survei menunjukan, rata-rata satu dari enam imigran yang meninggalkan Afrika Utara lewat jalur itu meninggal dunia.
Karena tak punya pendamping, saat berada di Italia, ia masuk program perlindungan bagi pencari suaka dan pengungsi (SPRAR) dan ditugaskan sebagai pekerja sosial. Selain bekerja, dia juga mulai bermain bola untuk tim amatir Young Rieti, sembari melanjutkan pendidikannya. Sepak bola adalah hobinya di Gambia.
Perlahan, hobi itu menunjukan jalannya. Pencari bakat dari AS Roma, klub Liga Italia Serie A, kepincut aksinya. Darboe lalu diajak ikut uji coba, lalu menandatangani kontrak profesional dengan tim ibukota Italia itu pada Juli 2019. Perjuangan Darboe itu lantas sampai ke telinga Pelatih Gambia Tom Saintfiet (48).
”Kami tidak bisa membayangkan apa yang telah dia lalui,” katanya kepada Al Jazeera.
Saintfiet mengatakan, perjalanan menempuh bahaya ketika masih belia menunjukkan kuatnya tekad keinginan Darboe mencapai sesuatu hal besar dalam hidupnya. Spirit semacam itu, kata Saintfiet, bisa jadi modal besar tim nasional Gambia untuk berkembang.
Gambia pun berada di jalur yang benar. Di Piala Afrika 2021, tim peringkat ke-150 dunia atau yang terendah di antara para peserta lainnya itu tidak inferior melawan tim-tim besar. Gambia lolos kualifkasi tanpa kalah. Mereka baru takluk saat menghadapi tuan rumah Kamerun di perempat final, Sabtu (29/1/2022).
Bagi Darboe, debutnya bersama Gambia di Piala Afrika 2021 penuh arti. Sang bocah pengungsi bisa membela negaranya di ajang tertinggi sepak bola Afrika itu. ”Ini semua seperti mimpi yang terwujud,” kata Darboe yang tiga kali tampil di Piala Afrika 2021.
Dongeng Komoro
Jalan terjal juga ditempuh Said Bakari (27), pemain sayap andalan Komoro. Mantan pekerja di perusahaan ekspedisi dan penjaga sekolah ini pernah gagal sebelum menjadi bagian kisah ”dongeng” Komoro yang juga memulai debutnya di Piala Afrika tahun ini.
Bakari lahir di pinggir Kota Paris, bukan di Komoro yang merupakan negara kepulauan bekas jajahan Perancis. Sempat bergabung dengan tim muda Paris Saint Germain, bakatnya tidak dilirik tim senior. Sejak itu petualangan ke berbagai negara pun dimulainya.
”Saya meninggalkan rumah ketika berusia 18 tahun. Saya pikir harus melakukan segalanya untuk menjadi profesional,” kata Bakari kepada BBC.
Baca juga : Maut Mewarnai Piala Afrika
Dia pun menjelajahi sejumlah liga amatir di Belgia hingga Maroko. Meski gagal, dia tidak menyerah. Cinta pada sepak bola pun mengasah mentalnya agar semakin kuat. Tetap berlatih sembari bertahan hidup dengan banyak pekerjaan, titik terang lalu terjadi 2017 lalu. Bakatnya dilihat klub Belanda, RKC Waalwijk. Sejak itu, ia telah 92 kali tampil, mencetak empat gol, dan membantu tim promosi ke Eredivisie, liga tertinggi Belanda, pada 2019.
Berada di klub besar, bakatnya lebih mudah terlihat. Amir Abdou (49), pelatih Komoro sejak 2014, mengajaknya bergabung. Bakari, yang mulai rela melepas mimpi memperkuat Perancis, menerima pinangan itu pada 2017 silam.
”Di klub, kami semua bekerja dengan egois pada karier kami sendiri. Tetapi, di tim nasional, ambisi individu berada di belakang dan kami berjuang sebagai satu kesatuan untuk negara,” kata Bakari.
Bakari hanya satu dari keberhasilan Abdou berburu pemain keturunan Komoro untuk membela timnas. Tak mudah mencari pemain berkualitas yang dilahirkan di negara berpenduduk 850.000 jiwa itu.
Kami sangat bangga dengan perjalanan kami di sini. Kami belum bangun dari mimpi yang menakjubkan ini. (Alexis Souhay)
Abdou, yang dilahirkan di Marseille, mulai mencari pemain pemain dengan akar Komoro, terutama di selatan Prancis, hingga ke divisi ketiga. Maka, Abdou pun perlahan meningkatkan kinerja tim berjulukan ”Coelacanth”, ikan purba yang hampir punah itu.
Selain Bakari, yang bermain di liga tertinggi Belanda, ada juga kiper Salim Ben Boina yang bermain di divisi keempat liga Perancis. Ada pula bek tengah Younn Zahary dan Kassim M'Dahoma yang bermain di divisi ketiga Perancis. ”Kami membuka pintu bagi siapa saja yang memiliki darah Komoro dan ingin bergabung dengan tim kami,” kata Abdou.
Dengan warna yang beragam itu, Komoro menjadi salah satu kejutan indah di Piala Afrika kali ini. Diprediksi tidak akan bertahan lama, tim yang menduduki peringkat ke-132 dunia itu melaju hingga babak 16 besar. Di babak itu, Komoro takluk di tangan tuan rumah Kamerun, Selasa (25/1) lalu.
Meski tersingkir, mereka bisa pulang dengan kepala tegak. Tanpa Abdou dan tiga kiper yang tertular Covid-19 serta cedera, Komoro tak takut bertarung. Kiper dadakan ditempati Chacker Alhadur, bek kanan dari divisi kedua Perancis.
Kiper Kamerun, Andre Onana, mereka paksa jatuh bangun menyelamatkan gawangnya. Publik dunia pun terkesan dengan kegigihan mereka. ”Kami sangat bangga dengan perjalanan kami di sini. Kami belum bangun dari mimpi yang menakjubkan ini,” kata Alexis Souhay (27), bek Komoro.
Kejutan Burkina Faso
Burkina Faso juga tidak kalah menabur mimpi. Bahkan, negara ini memberikan kejutan terbesar setelah lolos ke semifinal. Mereka menantang Senegal, kandidat juara sekaligus tim peringkat tertinggi di Piala Afrika. Capaian itu kian istimewa karena dipersembahkan untuk warga Burkina Faso yang kini dilanda kudeta.
Baca juga : Peta Persaingan Terdampak Piala Afrika
Pelatih Kamou Malo (58) adalah sosok penting di balik pencapaian itu. Bergabung tahun 2019, Malo mempertaruhkan kariernya sebagai perwira polisi. ”Itu pilihan yang sulit. Saya ingin menjadi komisaris saat jadwal ujiannya tumpang tindih dengan pertandingan,” kata Malo kepada AFP.
Malo menemukan sepak bola pada usia tujuh tahun di jalanan Ouagadougou. Dia mulai bermain serius di Soleil d'Afrique, klub di daerah Gounghin, lalu menarik perhatian USO, tim tentara. Akan tetapi, kata dia, sepak bola sulit memberikan penghasilan ideal. Maka, ia mengikuti ujian untuk menjadi perwira polisi. Kariernya kemudian berlanjut dan menjadi pelatih. Sebelum melatih timnas pada 2019, ia sempat menangani klub lokal, seperti RC Kadiogo dan Ouagadougou.
”Saya lalu diminta membangun dan memimpin tim ke kualifikasi Piala Afrika. Itu bukan tugas yang mudah bagi pemula dan awam seperti saya saat itu,” katanya.Meskipun minim pengalaman, Malo nyatanya mampu melecut semangat pasukannya. Di babak gugur Piala Afrika 2021, mereka menyingkirkan tim-tim lain yang lebih mapan, seperti Tunisia dan Gabon.
Kami mendedikasikan ini untuk orang-orang yang sedang melalui masa-masa sulit. Selama ada kehidupan, masih ada harapan. (Kamou Malo)
Senegal bahkan nyaris mereka singkirkan jika tidak berhati-hati. ”Laga melawan Burkina Faso bukan laga mudah. Tim lawan memberikan perlawanan sengit sebelum kami bisa lolos ke final,” kata Sadio Mane, bintang Senegal, seusai mengalahkan Burkina Faso, 1-3, Kamis (3/2) dini hari WIB.
Meskipun takluk di semifinal, Capaian Malo bersama Burkina Faso itu tidaklah kalah dibandingkan pelatih-pelatih asing, seperti Paulo Duarte, Gernot Rohr, dan Paul Put. Seperti kebanyakan negara Afrika lainnya, Burkina Faso sempat ”dijajah” pelatih asing. Selama ini, hampir seluruh pelatih timnas negara itu, kecuali Malo, adalah orang asing.
Pelatih asing selama ini memang dianggap hebat. Di tangan Duarte misalnya, negara itu sempat menempati peringkat ketiga Piala Afrika 2017. Lalu, bersama Put, Burkina Faso membuat kejutan dengan menembus final Piala Afrika 2013.
Sebagai putra asli Burkina Faso, Malo berharap ke depan lebih banyak pelatih lokal yang muncul di negaranya. Dia pun mendorong para pemimpin negara di Afrika untuk merekrut lebih banyak pelatih lokal.
”Mereka harus lebih memercayai dan mengizinkan kami mendapatkan pelatihan yang sama dengan orang asing. Jika tidak dipercaya, kita tidak bisa tahu apakah mereka kompeten atau tidak. Ini seruan dari hati,” katanya kemudian.
Malo pun tidak berkecil hati kalah di semifinal. Sejak awal, dia tidak mengejar misi pribadi di Kamerun. Dia dan timnya mendedikasikan perjalanan ”Stallions”, julukan tim Burkina Faso, untuk rakyat negaranya yang sedang diuji kudeta. ”Kami mendedikasikan ini untuk orang-orang yang sedang melalui masa-masa sulit. Selama ada kehidupan, masih ada harapan,” katanya.
Malo dan para insan sepak bola lainnya di Piala Afrika tahun ini telah memperlihatkan, olahraga bukan sekadar menang-kalah. Sepak bola juga bisa jadi simbol perjuangan yang dampaknya bisa merasuki sanubari semua pihak yang melihatnya.