Mesir mengakhiri impian Kamerun untuk merengkuh Piala Afrika di rumah sendiri. Menang dalam adu penalti, Mesir akan menjalani laga final Piala Afrika untuk kesepuluh kalinya.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
OLEMBE, JUMAT – Tim nasional Mesir menjadi tim pertama yang melaju ke partai puncak Piala Afrika sebanyak 10 kali. Hasil itu didapatkan usai melibas tuan rumah Kamerun melalui adu penalti, 3-1. Kemenangan pada laga yang berlangsung di Stadion Paul Biya, Kota Olembe, Jumat (4/2/2022) dini hari WIB, itu juga menghadirkan balas dendam sempurna skuad “Firaun” yang pernah ditundukkan Kamerun pada duel final edisi 2017.
Sebelum edisi 2021, Mesir adalah salah satu dari dua tim yang mencatatkan penampilan terbanyak di laga final Piala Afrika bersama Ghana. Kedua negara itu telah sembilan kali mampu melaju ke pertandingan penentu juara.
Hanya saja, Mesir jauh lebih superior dibandingkan Ghana. “Firaun”, julukan Mesir, telah tujuh kali mengangkat trofi Piala Afrika, sedangkan Ghana baru empat kali. Bahkan, koleksi Ghana kalah dari Kamerun yang memiliki lima trofi meski baru tujuh kali bertanding di laga final.
Dengan kondisi itu, Mesir berpeluang kian mengukuhkan diri sebagai "raja" Afrika apabila meraih gelar kedelapan di Piala Afrika 2021 di Kamerun. Dari sembilan final sebelumnya, Mesir hanya kalah dua kali, yaitu ketika tumbang adu penalti dari Ethiopia pada edisi 1962, kemudian dibekap Kamerun, 1-2, pada Piala Afrika 2017 di Gabon.
Alhasil, kemenangan atas Kamerun melalui adu penalti setelah kedua tim bermain imbang tanpa gol selama 120 menit dirayakan seluruh anggota tim Mesir. Mereka sekali lagi mampu mengatasi lawan-lawan tangguh di fase gugur Piala Afrika 2021, seperti Pantai Gading di babak 16 besar serta Maroko pada perempat final.
“Kami merayakan kemenangan ini pada malam ini, tetapi setelah itu kami harus kembali fokus mempersiapkan laga final. Kami belum memenangkan apapun,” kata Diaa el-Sayed, asisten pelatih Mesir, seusai laga itu.
Keunggulan di semifinal itu juga kian mengukuhkan dominasi Firaun atas Kamerun. Dalam 11 duel, Mesir meraih enam kemenangan, yang dua di antaranya melalui adu penalti, lalu empat kali bermain seri dan tiga kali menderita kekalahan.
Kemenangan adu penalti pertama dikemas Mesir atas “Singa yang Gigih”, sebutan Kamerun, pada final Piala Afrika 1986. Ketika itu, Mesir unggul 5-4 setelah bermain imbang 0-0 selama 120 menit. Itu adalah ketiga kalinya Mesir menjadi penguasa Afrika.
Strategi tepat
Tampil di hadapan 24.371 pendukung tuan rumah yang hadir langsung di stadion tidak menyurutkan mental Mohamed Salah dan kawan-kawan. Pelatih Mesir Carlos Queiroz menampilkan strategi yang tepat untuk meredam penampilan penuh semangat skuad Kamerun.
Mesir telah mempersiapkan diri dengan baik untuk tampil lebih banyak menunggu serangan Kamerun. Catatan 53 persen dan sembilan tendangan menjadi bukti dominasi Kamerun atas lawannya dari bagian utara Benua Afrika itu. Adapun Mesir hanya menghasilkan tujuh peluang dan mencatatkan 47 persen penguasaan bola.
Terlihat Kamerun tidak menyiapkan diri untuk menghadapi adu penalti. Ketika satu penendang gagal, maka tekanan kepada pemain selanjutnya meningkat. Hal itu terlihat pada para eksekutor Kamerun. (Yaya Toure)
Meski begitu, Mesir lebih siap menghadapi berbagai situasi di dalam pertandingan. Hal itu terlihat kala pertandingan harus ditentukan melalui sepakan adu penalti.
Kamerun memulai adu penalti dengan sempurna melalui sepakan penyerang sekaligus kaptennya, Vincent Aboubakar, yang berbuah gol. Akan tetapi, eksekusi dua penendang selanjutnya tim Singa yang Gigih, yaitu Harold Mouloudi dan James Lea Siliki, mampu diantisipasi oleh kiper Mesir, Mohamed Abou Gabal.
Penendang kedua dan ketiga Kamerun mengarahkan bola ke arah kiri Abou Gabal. Sementara itu, penendang keempat Kamerun, Clinton Njie, menyepak bola jauh dari sasaran gawang.
Adapun tiga penendang Mesir sukses menunaikan tugas mereka dari titik putih. Ahmed Sayed, Mohamed Abdelmonem, dan Mohanad Lasheen, melengkapi penampilan heroik Abou Gabal.
Kapten dan penyerang Mesir, Mohamed Salah, hanya berdoa menyaksikan teman-temannya dari tengah lapangan. Sang bintang Liverpool, yang ditunjuk sebagai eksekutor kelima, tidak perlu menjalankan tugasnya berkat performa empat rekannya itu.
“Kehadiran Salah adalah penting bagi kami. Ia adalah pemimpin tim ini yang memberikan kami energi positif,” ucap el-Sayed yang menggantikan Queiroz memimpin tim dari sisi lapangan setelah juru taktik asal Portugal itu dijatuhi hukuman kartu merah di akhir babak kedua.
Minta dimundurkan
Untuk melaju ke final, Mesir menjalani tiga laga fase gugur selama 120 menit. Mereka unggul dalam adu penalti atas Pantai Gading dan Kamerun, kemudian melibas Maroko berkat sebuah gol di masa perpanjangan waktu sehingga menang 2-1.
Kondisi itu membuat Mesir berharap Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) memundurkan sehari laga final kontra Senegal. Duel final itu dijadwalkan, Senin (7/2), pukul 02.00 WIB, di Stadion Paul Biya.
“Kami adalah satu-satunya tim yang bermain 120 menit dalam tiga laga beruntun. Saya berharap CAF memindahkan final ke hari Senin (Selasa dini hari WIB) untuk asas keadilan karena Senegal memiliki waktu lebih banyak satu hari untuk beristirahat dan berlatih dibandingkan kami,” kata el-Sayed.
Sementara itu, Pelatih Kamerun Toni Conceicao kecewa dengan kegagalan anak asuhannya melaju ke final. Menurut dia, skuad Singa yang Gigih telah melakukan segalanya dengan tampil menyerang dan mengkreasikan lebih banyak peluang, tetapi hal itu tidak cukup untuk membawa timnya tampil di partai puncak.
Peluang terbaik Kamerun tercipta ketika laga baru berusia 18 menit. Sundulan bek tengah, Michael Ngadeu-Ngadjui, membentur mistar gawang Mesir. “Kami merasa sedih, begitu pula 27 juta warga Kamerun. Tetapi, inilah sepak bola,” kata Conceicao.
Kekecewaan publik Kamerun terwakili oleh raut sedih di wajah Presiden Federasi Sepak Bola Kamerun (Fecafoot) Samuel Eto’o yang menyaksikan laga itu dari tribune naratama. Eto'o yang mengenakan kaos berwarna putih menundukkan kepalanya ketika menyaksikan bola sepakan Njie justru mengarah ke tribune penonton.
Kekalahan dari Mesir itu mempertegas duka yang terjadi di Paul Biya pada gelaran Piala Afrika 2021. Sepuluh hari sebelum laga semifinal, stadion itu menjadi saksi bisu tewasnya delapan orang dan 38 orang cedera ketika hendak masuk ke dalam stadion untuk menyaksikan laga babak 16 besar antara Kamerun kontra Komoro.
Yaya Toure, mantan gelandang Pantai Gading, menganggap Mesir pantas lolos ke babak final. Permainan bertahan Mesir, lanjutnya, menghadirkan rasa frustrasi kepada pemain depan Kamerun, salah satunya Aboubakar yang gagal menghasilkan satu pun tembakan mengarah ke gawang.
“Terlihat Kamerun tidak menyiapkan diri untuk menghadapi adu penalti. Ketika satu penendang gagal, maka tekanan kepada pemain selanjutnya meningkat. Hal itu terlihat pada para eksekutor Kamerun,” kata Toure yang mengantarkan Pantai Gading juara Piala Afrika 2015 setelah mengalahkan Ghana melalui adu penalti. (AFP)