Klub Miskin Uang Lantas Miskin Prestasi? Tidak Selalu!
Tim-tim kecil menyodok ke papan atas Bundesliga. Apa yang sedang terjadi?
Oleh
Timo Scheunemann
·4 menit baca
SC Freiburg dan Union Berlin mencuri perhatian fans Bundesliga. Begitu juga dengan Hoffenheim, Mainz, dan Vfl Bochum, yang mampu relatif berprestasi walau dengan anggaran superminim. Para starter Bochum bahkan tidak dibeli dengan sepeser euro pun alias semuanya bebas transfer. Bukti bahwa uang tidak selalu menentukan?
Demi kepentingan tim nasional, Die Mannschaft, idealnya klub-klub Bundesliga memiliki lebih banyak pemain asli Jerman ketimbang luar negeri. Nah, SC Freiburg dan Union Berlin adalah contoh terbaik dalam hal ini.
Freiburg diperkuat 26 pemain, dengan 18 di antaranya warga negara Jerman. Klub ini luar biasa. Terus-menerus diperkirakan turun kasta, tetapi di bawah pelatih legendaris mereka, Christian Streich, kini Freiburg sudah bertahan di Bundesliga selama tujuh musim beruntun. Dan hebatnya, hal ini berhasil diraih Freiburg tanpa sugar daddy, tanpa bos kaya raya. Musim transfer kali ini Freiburg lagi-lagi surplus, sekitar 9 juta euro. Not bad! Benar-benar sukses dari berbagai sisi.
Union Berlin juga demikian. Sudah musim ketiga Union Berlin mendapatkan hasil yang jauh lebih baik dari perkiraan banyak pihak. Mengusung pemain Jerman plus pemain asing dengan harga miring, efektivitas tim pencari bakat Union Berlin patut diacungi jempol.
Minim dana bukan berarti minim prestasi. Fakta ini telah sering dibuktikan.
Yang paling berkesan bagi saya pribadi adalah bagaimana pelatih Legendaris Jerman, Otto Rehhagel, berkali-kali berhasil meraih kesuksesan dengan tim kecil. Werder Bremen dibawanya naik dari Liga 2 untuk kemudian dua kali menjuarai Bundesliga (1988 dan 1993), dan bahkan juara Piala UEFA (1992). Pada 1998, Rehhagel, yang memegang rekor pelatih terlama dalam sejarah Bundesliga dengan 832 pertandingan, kembali membuktikan dana besar tidak selalu menentukan.
FCK Kaiserslautern yang baru saja ia bawa promosi langsung berhasil menjadi juara Bundesliga. Sensasional! Pernyataan Otto Rehhagel saat itu: ”Uang tidak mencetak gol” masih terngiang hingga kini. Tentu saja banyak yang tidak setuju. Pihak yang tidak sepaham menyindir dengan kalimat, ”Miskin uang juga tidak mencetak gol”.
Ada uang ada kualitas. Hukum ini juga berlaku di sepak bola. Tidak selalu, tapi pada umumnya.
Yang juga menarik, berhasilnya klub-klub kecil menyodok ke papan atas Bundesliga juga berhubungan dengan menurunnya beberapa prestasi klub-klub besar dengan biaya lumayan. Yang mencolok adalah banyaknya kesalahan individu yang terjadi di tengah pertandingan, bahkan oleh pemain-pemain mahal.
Banyaknya kesalahan individu sungguh mengkhawatirkan. Sepak bola memang hidup dari kesalahan lawan, namun kalau teralu banyak kesalahan individu terjadi, hal tersebut tentu tidak baik. Apakah benar kualitas Bundesliga sedang tidak baik? Di Liga Champions selain Bayern Muenchen, wakil Jerman tidak berkutik. Di Bundesliga sendiri bahkan tim-tim besar banyak sekali melakukan kesalahan. Not good. Ada apa, Bundesliga?
Mengapa banyaknya kesalahan merupakan hal yang serius? Karena kualitas sebuah liga bisa dilihat dari macam kesalahan, dan yang terutama, banyaknya kesalahan yang terjadi. Baik secara individu maupun secara taktik keseluruhan tim. Liga Turki, contohnya, dipandang sebelah mata di Eropa karena secara taktik sering kali bermain teralu terbuka. Cara bermain ”harakiri” secara tim, ditambah banyaknya kesalahan individu, membuat liga Turki tidak termasuk salah satu liga top Eropa.
Kualitas liga juga bisa dilihat dari teknik individu saat menyerang. Liga Polandia yang banyak mengandalkan fisik tidak termasuk liga top Eropa karena defisit dari segi kualitas teknik.
Kualitas fisik, taktis, dan teknis, tim-tim Bundesliga pada umumnya sebenarnya bagus. Lalu apa masalahnya?
Apakah bukan kualitas individu, tetapi daya konsentrasi yang menjadi biang keladi? Bisa jadi, setelah menang besar 5-0 atas Bayern Muenchen, contohnya, tentu manusiawi bagi pemain Borussia Muenchengladbach mulai meremehkan tim-tim kecil. Statistik Gladbach menunjukkan, pada laga berikutnya mereka berlari 5 km lebih sedikit dari Freiburg. Jumlah sprint oleh Gladbach saat ini juga salah satu yang terjelek di Bundesliga. Tidak heran mereka terseok-seok di urutan ke-12 klasemen.
Daya konsentrasi Borussia Dortmund juga naik-turun. Musim ini lagi-lagi fans Bundesliga yang menaruh harapan besar pada Dortmund untuk menjegal Bayern Muenchen dibuat kecewa. Lawan terberat Dortmund masih sama: diri mereka sendiri. Naik turunnya performa bek Mats Hummels paling banyak menjadi sorotan.
Legenda Jerman Uli Hoeness melihat Hummels sudah semakin pelan dan kemungkinan tidak akan menjadi pemain inti atau bahkan tidak dipanggil oleh timnas Jerman. Memang fakta menunjukan kecepatan berlari Hummels (top speed 30 km/h) kalah sekitar 3 sampai 5 km/h dengan kebanyakan pemain lainnya.
Saat bertahan di sekitar kotak penalti gawang sendiri ia masih sangat berkualitas. Namun, saat harus beradu kecepatan seperti saat gol pertama Bayern terjadi, ia terlihat kewalahan. Bisa dimaklumi mengingat Hummels sudah berumur 33 tahun. Menarik, statistik top speed Hummels 2 tahun lalu masih 32 km/h, lalu setahun 31 km/h, dan kini kembali drop ke 30 km/h. Cepat atau lambat umur memang tidak bisa dilawan.
Pemain Bundesliga yang terkenal perkasa dalam hal mentalitas saat ini harus memperbaiki daya konsentrasi, menghindari sifat meremehkan lawan. Tak ketinggalan, mereka juga harus mulai berlari dan bekerja keras, baik saat melawan tim besar maupun lemah, tim kaya maupun miskin.
Tidak ada kemenangan yang datang secara otomatis. Semua ”W” didapatkan melalui kerja keras, kerja sama, dan konsentrasi tingkat tinggi. Way to go Union Berlin, VFL Bochum, Freiburg, Hoffenheim, dan Mainz! Mereka memberi pelajaran bagi klub-klub besar Bundesliga untuk tetap rendah hati.