Kejadian tak terduga, rencana dadakan, dan keputusan menit terakhir menjadi warna yang harus selalu dihadapi dalam masa persiapan Festival Bulu Tangkis Indonesia.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Menjadi tuan rumah Festival Bulu Tangkis Indonesia pada masa pandemi Covid-19 penuh tantangan. Kejadian tak terduga, rencana dadakan, dan keputusan menit terakhir menjadi warna yang harus selalu dihadapi dalam masa persiapan.
Acara di Nusa Dua, Badung, Bali, 16 November-5 Desember, itu menjadi kejuaraan bulu tangkis internasional pertama di Indonesia saat pandemi Covid-19. Ajang terakhir yang digelar di Tanah Air, sebelum pandemi mengubah semua agenda olahraga pada Maret 2020 adalah Indonesia Masters di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Januari 2020.
Baru 22 bulan berselang, kejuaraan salah satu cabang favorit di Indonesia ini kembali, meski dengan suasana berbeda. Digelar ketika pandemi masih terjadi, acara yang terdiri atas tiga kejuaraan tersebut berlangsung di dalam “gelembung” di Westin Resort, Nusa Dua, Bali. Ketiga turnamen tersebut adalah Daihatsu Indonesia Masters BWF World Tour Super 750 (16-21 November), SimInvest Indonesia Terbuka Super 1000 (23-28 November), dan Final BWF (1-5 Desember).
Indonesia menerima tawaran untuk menggelar turnamen Indonesia Masters dan Indonesia Terbuka secara beruntun, dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), melalui Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP PBSI Bambang “Rudy” Roediyanto pada Mei 2021.
Tiga bulan kemudian, ketika Rudy bertemu Sekretaris Jenderal BWF Thomas Lund di Jepang—saat itu Rudy menjadi wakil manajer cabang bulu tangkis Olimpiade dan manajer bulu tangkis Paralimpiade Tokyo 2020—Indonesia mendapat tambahan agenda, yaitu menggelar Final BWF. Ini adalah turnamen yang hanya diikuti delapan wakil terbaik dari setiap nomor berdasarkan penampilan sepanjang 2021.
Dengan kasus harian Covid-19 yang terbilang tinggi ketika menerima tawaran tersebut, sistem “gelembung”, seperti yang diterapkan pada tiga kejuaraan di Thailand pada awal tahun, menjadi pilihan. Pada Mei, penambahan kasus Covid-19 harian mencapai 6000-an per hari dan mencapai puncaknya, sekitar 56.000 kasus per hari, pertengahan Juli. Kondisi ini membuat dag-dig-dug tim dari PP PBSI yang mulai menyiapkan diri.
Meski demikian, proses permintaan izin pada pemerintah dilakukan begitu menerima tawaran dari BWF. Dikatakan Wakil Ketua Pelaksana IBF Armand Darmadji, semua surat untuk mengurus izin dan proposal pada sponsor disebar sejak Mei. Ada tujuh kementerian yang dilibatkan, di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang bertanggung jawab pada penanggulangan Covid-19 di Jawa dan Bali, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perhubungan.
Bali dipilih sebagai tempat penyelenggaraan karena berbagai alasan, salah satunya untuk memajukan kembali pariwisata yang menjadi andalan pendapatan provinsi ini. Bali, juga, menjadi provinsi dengan persentase tinggi vaksinasi Covid-19 bagi warganya di Indonesia.
“Kami juga ingin menciptakan suasana rileks bagi peserta. Untuk itu, Bali pun dipilih,” kata Rudy.
Dari beberapa alternatif, Westin Resort Nusa Dua dipilih karena memiliki hotel dan tempat pertandingan, Bali International Convention Center, dalam satu kompleks. Dengan demikian, atlet, pelatih, tim ofisial, dan panitia tak memiliki interaksi dengan orang lain, kecuali dengan mereka yang berada dalam gelembung.
Prosedur lain yang dijalankan terkait protokol kesehatan adalah turnamen yang digelar tanpa penonton dan tes PCR yang dilakukan lima kali, yaitu pada 12, 15, 22, 30 November, serta sebelum kepulangan peserta.
Tidak terduga
Pandemi yang membuat situasi terus berubah membuat momen tak terduga dan keputusan yang keluar pada menit-menit akhir pun terjadi. Izin dari pemerintah untuk menggelar kejuaraan misalnya, baru keluar pada September.
“Saat kami mengajukan izin dan menyebar proposal, semua lembaga pemerintah memberi jawaban sama, yaitu harus menunggu perkembangan pandemi. Dampaknya, kami pun harus menunggu kepastikan kerjasama dari sponsor karena mereka menunggu izin pemerintah. Tetapi, saya memaklumi itu karena ajang ini melibatkan peserta internasional hingga jangan sampai menjadi kluster penyebaran virus,” tutur Armand.
Situasi lain yang kemudian memunculkan rencana dadakan adalah sistem sewa pesawat untuk mengangkut peserta internasional dari Jakarta menuju Bali. Ini karena belum banyak maskapai penerbangan yang membuka kembali jalur internasional langsung ke Bali, meski pemerintah Indonesia telah membuka pintu masuk ke daerah tersebut.
Panitia pun menjalankan rencana yang tidak ada dalam agenda sebelumnya, yaitu menyewa pesawat. Peserta, yang umumnya tiba setelah mengikuti rangkaian turnamen di Eropa, harus transit di Jakarta.
Mereka yang tansit sekitar 2-3 jam diberi akses ke ruang tunggu yang terpisah dengan penumpang umum. Sementara, peserta yang transit lebih lama diberi tempat menginap di hotel area bandara. Prosedur dadakan ini, bahkan, membuat penggunaan hotel transit baru dipastikan lima hari sebelum peserta tiba di Jakarta.
Salah satu pekerjaan yang cukup rumit dilakukan adalah mengkomodasi peserta yang datang ke Jakarta dengan banyak pesawat di hari yang sama.
“Salah satu pekerjaan yang cukup rumit dilakukan adalah mengkomodasi peserta yang datang ke Jakarta dengan banyak pesawat di hari yang sama. Kami harus mengurus satu per satu untuk menerbangkan mereka ke Bali dengan menggunakan tiga pesawat sewa pada 9 dan 10 November. Rencana itu tadinya tidak ada, tetapi berkat koordinasi banyak pihak, peserta akhirnya bisa datang di Bali,” kata Armand.
Meski dengan persiapan rumit, sistem “gelembung” dalam ajang olahraga internasional pertama di Indonesia akhirnya akan berjalan. Jika acara berjalan lancar hingga akhir, ini bisa menjadi contoh untuk penyelenggaraan kegiatan sejenis.