Pebulu tangkis disabilitas menaklukkan keterbatasan untuk mencapai kejayaan di Peparnas Papua. Semangat pahlawan mereka sangat menginspirasi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Tepat pada Hari Pahlawan, Rabu (10/11/2021), semangat heroik berkobar di GOR Cenderawasih, Kota Jayapura, tempat berlangsungnya ajang bulu tangkis Peparnas Papua 2021. Para pebulu tangkis disabilitas memanggungkan resistansi luar biasa untuk menaklukkan keterbatasan. Mereka menjadi pahlawan sebenarnya hari itu.
Keberanian dan pengorbanan besar itu diperlihatkan Hijrah Yanti (30), pebulu tangkis kursi roda (klasifikasi WH1). Atlet debutan asal Jabar ini bertarung tanpa kenal lelah untuk menyabet 2 emas dan 1 perak kelas nasional.
Hijrah menggapai mimpinya saat kecil untuk menjadi pebulu tangkis andal seperti yang sering ditonton di televisi. Dengan raihan sejumlah medali, dia sukses menaklukkan keterbatasan pada kakinya yang tidak bisa berjalan sejak usia 2 tahun akibat terserang penyakit polio.
Dengan bulu tangkis, saya menemukan jalan baru. Sebelumnya saya tidak tahu bisa melakukan ini. Setelah berusaha keras, ternyata bisa, kok. Ini mewujudkan mimpi kecil saya untuk berprestasi di bulu tangkis.
”Dengan bulu tangkis, saya menemukan jalan baru. Sebelumnya saya tidak tahu bisa melakukan ini. Setelah berusaha keras, ternyata bisa, kok. Ini mewujudkan mimpi kecil saya untuk berprestasi di bulu tangkis,” ucapnya.
Prestasi Hijrah terbilang mengejutkan. Dia baru serius berkarier di olahraga disabilitas pada 2019. Namun, di final, dia tampil perkasa mengalahkan pebulu tangkis veteran sekaligus unggulan pertama tunggal putri, Evi Nurahmawati, 21-9, 21-7. Lalu, dia yang berpasangan dengan Katarina kembali mengalahkan unggulan teratas Evi/Eti di ganda putri, 21-16, 21-17.
Menyadari kakinya tidak bisa dimanfaatkan bermain bulu tangkis, Hijrah berlatih keras untuk menyempurnakan kemampuan di atas kursi roda. Sejak awal berlatih, sudah tidak terhitung luka di kulit telapak tangannya. Kulitnya sering robek karena tergesek saat memutar roda.
Namun, pengorbanan itulah yang berbuah manis pada final Peparnas. Dia bisa maju dan mundur dengan cekatan bersama kursi roda tersebut. ”Awalnya pasti susah dan menyakitkan. Tetapi, kalau punya keinginan besar, pasti cepat bisa,” lanjutnya.
Semangat heroiknya tidak luntur meskipun dia harus bertarung dengan kursi roda sewaan. Dia menyewa ”senjata” bertarung itu seharga Rp 300.000 sebulan. Kursi roda standar internasional seharga Rp 60 juta masih belum terjangkau olehnya.
Jika pahlawan diartikan sebagai pejuang yang gagah berani, Hijrah seharusnya masuk ke dalamnya. Dia tidak hanya berjuang untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kerabat, keluarga, kontingen, hingga masyarakat luas. Dia memberi inspirasi banyak orang untuk keluar dari jerat keterbatasan.
Di sebelah lapangan Hijrah, semangat heroik juga menyala dari Bambang Usiyan Purwito (41), pebulu tangkis klasifikasi SL3 (disabilitas tubuh bagian bawah). Debutan wakil Jabar ini dengan gagah berani menyabet emas setelah menaklukkan atlet unggulan pertama yang sudah tampil di tiga Peparnas, Ali Sukri (47), 21-16, 21-17.
Demi emas pertamanya, Bambang sudah melewati berkali-kali keram di kaki hingga tidak sanggup berjalan setelah pertandingan. Namun, atlet yang juga menaklukkan unggulan kedua dan ketiga ini rela mempertaruhkan nyawanya di lapangan demi keluarga. Wajar saja jika dia sampai bersujud penuh haru ketika menang di final.
”Sebelum pemusatan latihan bersama tim Jabar, saya memutuskan mundur dari pekerjaan. Saya diminta perusahaan untuk memilih tetap kerja atau ikut latihan. Dengan tekad bulat, saya memilih jalan jadi atlet karena yakin ini jalan terbaik untuk keluarga saya nantinya,” ucap Bambang yang baru berkarier tiga tahun terakhir.
Bambang bermimpi untuk meneruskan prestasi seniornya di Jabar, sang olimpian Ukun Rukaendi. ”Semua pemain di sini pasti tujuannya ingin masuk pelatnas, untuk berjuang demi Merah Putih di ajang internasional,” ucap atlet yang juga akan tampil di kelas elite tersebut.
Dari klasifikasi SS6 (keterbatasan tinggi badan), tubuh ”kurcaci” atlet Jateng Subhan (27) sama sekali tidak menghalangi mimpinya yang setinggi langit. Dia meraih emas dari ganda campuran, bersama Kustanti, dan lolos ke final tunggal putra di Peparnas pertamanya.
Atlet setinggi 1,47 meter ini bagaikan menjalani mimpi terindah dalam hidupnya. Tujuh bulan lalu, aktivitas sehari-harinya hanya menjaga warung nasi padang. Setelah terjun ke dunia olahraga disabilitas, dalam rentang kurang dari setahun, dia bisa berada di podium tertinggi Peparnas Papua.
”Bangga sekali bisa menjadi seorang atlet berprestasi. Ini semua untuk orangtua saya yang selalu mendukung dan mendoakan. Dengan bulu tangkis, kami jadi semangat. Masyarakat bisa lebih tahu siapa kami (orang berperawakan pendek). Tubuh kami kecil, tetapi tekad kami tidak kalah dengan yang lain,” ujar Subhan.
Para penakluk keterbatasan ini juga akan menjadi calon pahlawan ”Merah Putih” pada masa depan. Mereka adalah calon penghuni baru pemusatan latihan nasional. Adapun klasifikasi Hijrah, Bambang, dan Subhan sedang kekurangan bakat terbaik saat ini.