Xavi Hernandez, pelatih baru Barcelona, bertekad menghidupkan kembali pakem ”tiki-taka” yang diwariskan Johan Cruyff. Xavi ingin timnya tampil lebih menekan lawan dan menguasai bola.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
BARCELONA, SELASA — Johan Cruyff, maestro sepak bola Belanda dan Barcelona, pernah berkata, bermain sepak bola sebenarnya sangat sederhana. Akan tetapi, memainkannya dengan sederhana adalah kesulitan tersendiri. Filosofi bermain yang melandasi total football dan lantas dimodifikasi menjadi gaya tiki-taka ala Spanyol itu ingin dihidupkan Xavi Hernandez di Barcelona.
Xavi, yang resmi menjabat pelatih baru Barca pada Senin (8/11/2021) waktu Spanyol, adalah generasi ketiga penganut total football setelah Cruyff dan Pep Guardiola. Adapun Xavi adalah murid sekaligus virtuoso Guardiola saat di Barca.
Xavi diperkenalkan sebagai pelatih baru Barca di hadapan 10.000 pendukung yang hadir di Stadion Camp Nou, Barcelona.
Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan tiga hal yang akan menjadi prinsipnya selama menangani ”Blaugrana”. Tiga prinsip itu adalah kerja keras, disiplin, dan ”DNA” Barca.
Dari ketiga prinsip itu, yang pertama-tama akan dilakukannya adalah menetapkan serangkaian aturan bagi para pemain untuk mengembalikan ketertiban tim. Xavi ingin memegang kontrol penuh atas tim yang disebutnya sedang dalam kondisi sulit itu.
Barca saat ini sedang dilanda krisis finansial. Performa mereka di atas lapangan pun merosot. Barca tidak pernah memetik poin penuh dalam empat laga terakhir mereka di Liga Spanyol bersama Ronald Koeman. Mereka pun tercecer di peringkat kesembilan klasemen sementara Liga Spanyol.
”Saya pikir, pada awalnya, penting bagi kami untuk menerapkan aturan dan lebih menuntut diri kami sendiri,” kata Xavi mengenai resepnya untuk membawa Blaugrana kembali ke jalur kemenangan.
Gaya atau DNA Barca juga menjadi perhatian Xavi ke depan. Barca tengah kehilangan identitas mereka saat ini. Saat diasuh Koeman, Barca lebih sering mengandalkan operan jarak jauh dan umpan-umpan silang dengan berporos ke striker jangkung Luuk de Jong.
Gaya bermain seperti itu dianggap meninggalkan tradisi di Barca. Lebih dari satu dekade lalu, ketika masih dilatih Pep Guardiola, Barca mengguncang dunia dengan gaya permainan tiki-taka yang bertumpu pada operan-operan pendek dan penguasaan bola tinggi. Berkat gaya bermain yang indah itu, Barca menguasai Spanyol, Eropa, bahkan dunia.
Gaya bermain yang juga sempat mengantarkan tim nasional Spanyol ke era keemasannya itu tidak terlepas dari gagasan Cruyff mengenai total football yang didapat dari gurunya, Rinus Michels. Filosofi itu kemudian diterjemahkan generasi kedua total football, Guardiola, menjadi tiki-taka.
Inti dari filosofi total football adalah kesederhanaan dalam bermain sepak bola. Teknik dasar yang harus dikuasai para pemain, yaitu mengoper, mengontrol, dan menggiring bola, menjadi fondasinya.
Tiga teknik dasar
Gaya bermain tiki-taka yang diterapkan Guardiola mengimplementasikan tiga teknik dasar tersebut. Para pemain dituntut mengoper bola sebanyak mungkin dan diimbangi kontrol bola sebaik mungkin dengan tujuan menguasai jalannya laga sembari mencari celah kelemahan lawan.
”Pada akhirnya, idenya sama dengan (Johan) Cruyff. Kami harus bekerja secara taktis, menekan tinggi, dan mendominasi bola,” ucap Xavi.
Sebagai penerus Guardiola, Xavi paham betul akan pakem tiki-taka. Ia bahkan telah menerapkan gaya bermain itu di Al Sadd, klub Liga Qatar yang diasuhnya sebelum pulang ke Barca, klub yang dicintainya.
Filosofi membangun serangan Al Sadd adalah berbasis pada penguasaan bola. Gaya itu mencerminkan sistem yang dilakukan Xavi saat masih aktif menjadi pemain Barca selama 17 tahun sejak 1998 hingga 2015. Al-Sadd, di bawah Xavi, telah berevolusi menjadi tim yang kerap mendominasi lawan lewat penguasaan bola.
Pemain bertahan paling depan adalah striker dan striker pertama kami adalah kiper. Kami harus menekan tinggi dan menguasai bola. (Xavi Hernandez)
Sepanjang Liga Primer Qatar 2019-2020, Al Sadd mencatatkan rata-rata 63,8 persen penguasaan bola. Angka itu jauh di atas rata-rata klub lainnya di liga itu. Para pemain Al Sadd cenderung memulai serangan dari lini pertahanan. Mereka memastikan setiap bagian lapangan terisi oleh pemainnya.
”Pemain bertahan paling depan adalah striker dan striker pertama kami adalah kiper. Kami harus menekan tinggi dan menguasai bola,” ujar Xavi menjelaskan gaya bermain menekan yang harus dianut kembali Barcelona.
Para pemain Al Sadd berusaha untuk menghindari bola direbut pemain lawan dan mereka kerap terlihat nyaman berlama-lama memainkan bola dengan operan-operan pendek. Formasi favorit Xavi selama di Al Sadd adalah 4-2-3-1.
Dengan didukung pemain yang bisa bermain di berbagai posisi, Xavi mampu memberikan fleksibilitas dan keseimbangan di timnya. Al Sadd dapat menerapkan formasi 4-3-3 dan 4-3-2-1, tergantung lawan yang mereka hadapi.
Hal yang mungkin bisa menjadi batu sandungan bagi Xavi di masa-masa awal menjabat sebagai pelatih Barca adalah faktor cedera pemain. Marca menulis, ada perpecahan di Barca yang melibatkan pemain dan fisioterapis klub. ”Banyak pemain mengklaim fisioterapis adalah salah satu alasan mengapa daftar cedera mereka begitu panjang musim ini,” ungkap Marca.
Kabar ini telah diketahui Xavi. Ia telah membicarakan masalah itu dengan Direktur Sepak Bola Barcelona Mateu Alemany. Xavi meminta petinggi Barcelona merekrut kembali Ricard Pruna yang sempat mengepalai tim medis Barca selama bertahun-tahun.
Andres Iniesta, mantan pemain Barca, menilai Xavi paham seluk beluk bekas klubnya itu. Maka, Iniesta yakin Xavi mampu menjalankan tugasnya dengan baik. ”Dia siap menghadapi tantangan (di Barca),” kata Iniesta. (AP/AFP)