Bakar Batu, Lambang Keterbukaan Papua di Tengah PON
Sering kali karena tidak kenal, orang luar Papua berprasangka negatif mengenai masyarakat Papua. Padahal, di Papua, begitu banyak tradisi adat yang menggambarkan keterbukaan dan keramahtamahan orang Papua.
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa itu cocok disematkan kepada masyarakat Papua. Sering kali karena tidak kenal, orang luar Papua berprasangka negatif mengenai masyarakat yang berasal dari provinsi paling timur Indonesia ini. Padahal, di Papua, begitu banyak tradisi adat yang menggambarkan keterbukaan dan keramahtamahan masyarakat provinsi berjuluk ”Bumi Cendrawasih” itu, termasuk kepada pendatang.
”Amole,” ujar gembala Gereja Kingmi Petrosea, Timika, Kabupaten Mimika, Yunus Beanal (49), kepada Kompas seusai memimpin doa sesudah upacara bakar batu menyambut HUT Ke-25 Mimika di lapangan bekas pasar sentral Timika, Jumat (8/10/2021).
Amole dalam bahasa suku Amungme, suku pegunungan Mimika, berarti sapaan salam untuk orang tunggal. Itu cara orang Amungme menyambut seseorang. Setelah memberi salam, mereka mengajak orang bersangkutan melakukan gerakan kuriyuwo, yakni jabat tangan khas Amungme.
Baca juga : Buah Merah Papua Penangkal Malaria
Jabat tangan itu dilakukan dua orang yang saling berbalas menjepit jari telunjuk yang ditekuk hingga berbunyi ”plak”. ”Kalau bertemu orang di mana-mana, kita selalu salam amole kuriyuwo. Ini salam budaya suku Amungme, Moni, Damal (suku-suku pegunungan Papua), untuk kasih berkat. Kalau sudah melakukan kuriyuwo, kita sudah teman, bukan musuh,” kata Yunus yang merupakan orang asli suku Amungme.
Itulah kehangatan yang ditunjukkan orang Amungme kepada pendatang yang ingin mengenal lebih jauh mengenai ritual bakar batu atau dalam bahasa Amungme disebut jelabugobin. Salam itu menegaskan bahwa orang Amungme secara khusus dan Papua secara umum begitu terbuka dan bersahabat.
Bakar batu
Bakar batu pun tak lepas dari sifat keramahtamahan mereka. Ritual itu diawali oleh kaum lelaki yang membuat lubang di tanah dengan diameter 1-2 meter dan kedalaman sekitar 1 meter. Kemudian, mereka memanah babi dan membersihkannya, dilanjutkan dengan mengumpulkan dan membakar batu selama 1-2 jam atau hingga batu panas dengan tanda terdengar suara seperti batu pecah.
Sembari laki-laki menyiapkan semua itu, kaum perempuan membersihkan sayur-mayur dan umbi-umbian. Setelah semua bahan siap, tokoh agama berdoa untuk memberkati kegiatan dan makanan yang ada serta mengucapkan syukur.
Selanjutnya, laki-laki dan perempuan gotong royong untuk mengalasi lubang dengan daun pisang. Secara bertahap, mereka memasukkan sayur-mayur, diikuti umbi-umbian dilapisi daun pisang, terus ditimpa batu panas yang dibungkus daun. Lalu masukkan babi, ditimpa lagi batu panas berbungkus daun, masukkan ayam, ditimpa kembali dengan batu panas berbungkus daun, dan terakhir ditutup daun pisang.
Baca juga : Dua Wajah Penerapan Protokol Kesehatan di Timika
Setelah semua makanan masak dalam waktu sekitar dua jam, satu per satu bahan makanan itu dibongkar. Terakhir, semuanya dibagikan merata kepada setiap pengunjung dan mereka makan bersama-sama sembari duduk di sekitar lubang bakar batu tersebut.
Ini kita punya budaya dari nenek moyang sampai anak-anak kita. Ini biasa untuk kita mengucapkan syukur. Kita makan, kita bersyukur kepada Tuhan, kita sebagai hamba-Nya. Kita punya budaya, ini sudah biasa, aturan.
”Ini kita punya budaya dari nenek moyang sampai anak-anak kita. Ini biasa untuk kita mengucapkan syukur. Kita makan, kita bersyukur kepada Tuhan, kita sebagai hamba-Nya. Kita punya budaya, ini sudah biasa, aturan. Kita datang ke sini, kita semua rata, kita semua makan rata. Semua bagi menyeluruh kepada masyarakat, hamba-hamba Tuhan, kita semua ceria,” tutur Yunus.
Transformasi bakar batu
Janias Biagoni, Ketua Panitia Bakar Batu HUT Ke-25 Mimika sekaligus orang asli Amungme, mengatakan, dahulu bakar batu merupakan kegiatan bersyukur orang-orang yang telah diberikan kekuatan untuk menanam keladi. ”Sehabis panen, orang-orang tua harus berkumpul, berdoa, dan bakar batu. Semuanya makan bersama. Kalau ada yang tidak kebagian, mereka akan cerita. Makanya, kita makan sama rata,” ujarnya.
Dewasa ini, lanjut Janias, bakar batu bukan hanya ritual adat. Bakar batu juga dilakukan dalam seremoni yang dilakukan pemerintah, seperti sekarang untuk peringatan HUT Ke-25 Mimika dan memeriahkan Pekan Olahraga Nasional Papua 2021 di Mimika yang menjadi salah satu dari empat kluster penyelenggara.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Mimika sekaligus Koordinator Bidang Pemasaran PON Papua Kluster Mimika, Ida Wahyuni, menuturkan, mereka menyelenggarakan bakar batu dalam rangka HUT Ke-25 Mimika untuk menunjukkan kepada tamu-tamu PON betapa terbuka dan ramahnya orang Papua. Ida membuktikan sendiri fakta tersebut. Walau lahir dan besar di Merauke, Ida bukan orang asli Papua.
Baca juga : Papua Jauh di Mata, Pun Mahal di Biaya
Ida keturunan ayah dari Padang, Sumatera Barat, dan ibu dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, selama 41 tahun hidup di Papua, termasuk 18 tahun merantau di Timika, dia merasa nyaman dan bisa hidup berdampingan dengan warga asli secara damai.
”Selama ini, salah satu hambatan pengembangan Papua, terutama di bidang ekonomi dan pariwisata, karena adanya stigma negatif mengenai Papua. Tapi, seharusnya dengan keterbukaan informasi saat ini, tidak ada lagi stigma seperti itu. Saya lahir dari ayah Padang dan ibu Yogyakarta, tapi tidak pernah merasakan pengalaman negatif selama hidup di Papua,” ungkap perempuan kelahiran 20 Agustus 1980 tersebut.
Perbedaan cara pandang
Menurut warga Timika asli Ambon, Maluku, sekaligus pemerhati kebudayaan Mimika, Misba (38), sering kali orang luar Papua memakai cara pandang kelompoknya dalam menilai Papua. Hal ini yang bisa menimbulkan disinformasi atau kesalahpahaman.
Situasi itu sempat dialami Misba tatkala menyaksikan upacara bakar batu untuk mendamaikan perang suku di Distrik Kwamki Narama, Mimika, lebih kurang 10 tahun lalu. Ketika itu, Misba diberikan hidangan babi yang dimasak dalam bakar batu. Dalam pandangan Misba yang Muslim, pemberian itu tidak bisa diterima karena babi haram dalam Islam.
Sebaliknya, dalam pandangan orang Amungme, babi yang diberikan ialah lambang penghargaan tertinggi untuk orang bersangkutan. Sebab, babi menjadi benda paling berharga dalam kebudayaan masyarakat tersebut.
Baca juga : Pesta Masyarakat ”Bumi Cenderawasih”
Kalau pakai cara pandang pribadi, saya tidak bisa menerima pemberian itu. Tapi, kalau memakai cara pandang orang Amungme, itu menjadi lambang pemberian dan penghargaan terbaik. Hal semacam ini yang perlu dipahami agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
”Kalau pakai cara pandang pribadi, saya tidak bisa menerima pemberian itu. Tapi, kalau memakai cara pandang orang Amungme, itu menjadi lambang pemberian dan penghargaan terbaik. Hal semacam ini yang perlu dipahami agar tidak menimbulkan kesalahpahaman,” ujar Misba yang sudah belasan tahun merantau di Timika.
Kompas juga sempat khawatir berangkat ke Papua untuk pertama kalinya ini. Nyatanya, selama 15 hari berada di Papua, penulis mendapatkan banyak pengalaman berkesan mengenai keramahan orang Papua. Suatu kali, saat mencari lokasi tes antigen di Kabupaten Jayapura, Kompas ditawari tumpangan menggunakan sepeda motor oleh warga asli Papua. Warga itu mau membantu karena kondisi sedang panas terik. Padahal, Kompas dan warga itu tidak pernah saling kenal.
Momen lain, Kompas yang berjalan mundur tidak sengaja menabrak warga lokal asli Papua di arena judo PON Papua di Timika. Kompas lekas meminta maaf karena kejadian itu. Akan tetapi, warga itu justru balik meminta maaf dan menyatakan dirinya yang salah.
Baca juga : Infrastruktur PON Mengubah Wajah Papua
Hampir semua kontingen peserta PON pun mengungkapkan tidak mengalami pengalaman buruk selama di Papua. Sebaliknya, mereka terkesan dengan keramahtamahan orang Papua yang berbeda dengan info-info negatif mengenai Papua selama ini.
Mungkin sekuens peristiwa itu tidak bisa digeneralisasi untuk menilai masyarakat Papua secara umum. Namun, itu menunjukkan, sebagaimana manusia pada umumnya, orang Papua juga lembut, ramah, dan terbuka kepada siapa pun. Ini menyadarkan bahwa orang luar Papua jangan memakai cara pandang ”aku” atau ”kami” untuk mengenal Papua, tetapi jadilah ”kita” yang berati aku, kamu, dan semuanya. Amole!