Kesejahteraan Atlet dan Mantan Atlet Tanggung Jawab Siapa?
Belum semua atlet dan mantan atlet di Tanah Air hidup sejahtera. Sebenarnya, siapakah yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan mereka?

Kontingen Indonesia melintas di Stadion Olimpiade Tokyo, Jepang, saat defile atlet di pembukaan Paralimpiade Tokyo 2020 (24/8/2021). Di Paralimpiade Tokyo 2020, kontingen Indonesia mengirim 60 orang, terdiri dari atlet, ofisial, tim pendukung, dan logistik.
Belum sejahteranya atlet dan mantan atlet di Tanah Air menuntut harapan kesejahteraan berupa tunjangan pensiun, pemberian gaji, serta pendanaan pembinaan. Perlu terobosan besar dari penanggung jawab kesejahteraan atlet untuk mendukung prestasi olahraga nasional.
Tidak semua atlet memiliki kesempatan dan keberhasilan meraih medali emas di kejuaraan olahraga dunia seperti Olimpiade. Perjuangan mulai dari latihan, seleksi, mengikuti pelatnas, uji coba, bertanding, hingga meraih juara di Olimpiade merupakan puncak prestasi atlet yang patut dibanggakan.
Buah perjuangan panjang ini dialami Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang meraih medali emas ganda puteri di Olimpiade Tokyo 2020. Bukan hanya medali emas yang diidamkan banyak atlet, sederet bonus dan hadiah juga mengalir ke keduanya. Namun, tidak semua atlet mengalami keberuntungan seperti Greysia dan Apriyani yang mendapat kesempatan mengecap puncak kesejahteraan sebagai atlet.
Ada atlet dan juga mantan atlet lain di Tanah Air yang masih harus berjuang mewujudkan hidup sejahtera. Arsip Kompas memberitakan, tidak sedikit dari mantan atlet yang berprestasi atau juara dunia kemudian hidup berkekurangan dengan menjadi buruh cuci, pengemudi ojek daring, petugas keamanan, hingga membuka usaha warung nasi kaki lima.
Mereka adalah bagian dari populasi atlet dan mantan atlet yang mendambakan jaminan atau tunjangan kesejahteraan bagi atlet yang pensiun. Hasil survei Kompas yang dilakukan secara daring terhadap 330 atlet dan mantan atlet menemukan ada empat dari 10 responden yang menyatakan belum hidup sejahtera.

Karni (53), mantan atlet dayung nasional, menunjukkan medali-medali di rumahnya di Desa Purwosari, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah (10/9/2021). Karni, yang pernah menyumbang emas bersama tim dayung perahu naga Indonesia, bekerja sebagai tenaga honorer Pemkab Blora. Sehari-hari ia menjaga kolam renang.
Survei ini dilakukan kepada komunitas atlet dan mantan atlet (purposive sampling) yang tersebar di 34 provinsi pada 1-10 September 2021. Populasi atlet yang mengisi kuesioner daring tersebut berasal dari 37 cabang olahraga dengan proporsi jenis kelamin laki-laki (59,7 persen) dan perempuan (40,3 persen). Dari aspek usia, populasi atlet dan mantan atlet ini paling banyak (46 persen) berasal dari generasi milenial yang berusia antara 24-39 tahun.
Jika mengacu pada konsep kesejahteraan sosial yang disusun BPS, terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial menjadi syarat seseorang untuk dapat hidup layak serta mampu mengembangkan diri. Sejumlah indikator yang dapat dilihat untuk mengukur tingkat kesejahteraan itu, antara lain, kemampuan memenuhi kualitas kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf konsumsi, dan perumahan.
Hal serupa juga diungkapkan responden atlet dan mantan atlet yang melihat indikator kesejahteraan dari aspek memiliki pekerjaan atau usaha, memiliki tabungan atau dana pensiun, punya tempat tinggal sendiri, bisa menempuh pendidikan, punya kendaraan, serta memiliki penghasilan untuk bisa makan layak dan hidup berkecukupan.
Sayangnya, kondisi ideal itu belum dinikmati oleh atlet dan mantan atlet. Masih banyak dari mereka yang belum memiliki penghasilan yang layak, memiliki tabungan pensiun, maupun asuransi kesehatan. Dalam aspek penghasilan, misalnya, bagian terbesar atlet (55,4 persen) mengungkapkan belum menerima uang saku atau honor yang memadai dari pemerintah.
Masih adanya atlet dan mantan atlet yang hidup belum layak memberi gambaran sisi lain kesejahteraan atlet di luar euforia bonus dan hadiah yang diterima sejumlah atlet berprestasi akhir-akhir ini. Kondisi ini sekaligus memberikan gugatan, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan atlet dan mantan atlet setelah mereka pensiun nanti?

Jaminan bagi atlet
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan, atlet atau olahragawan adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi. Atlet yang dimaksud meliputi olahragawan amatir, olahragawan profesional, serta olahragawan disabilitas.
Secara khusus disebutkan, pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui APBN dan APBD. Pendanaan yang dimaksud adalah penyediaan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan keolahragaan.
Secara khusus, aturan pendanaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007. Alokasi pendanaan tersebut digunakan untuk penyelenggaraan olahraga prestasi, pembinaan dan pengembangan olahraga, kejuaraan olahraga, peningkatan kualitas prasarana olahraga, pengembangan teknologi keolahragaan, serta pengembangan industri olahraga.
Dari regulasi di atas, terlihat posisi atlet atau olahragawan sudah mendapat jaminan dalam sistem perundangan negara. Namun, melihat aturan mengenai pendanaan olahraga, keberadaan atlet ini sepenuhnya belum mendapat jaminan dari aspek kesejahteraan.

Atlet paralimpiade catur asal Jambi, Abdul Halim (30), tengah berlatih tanding di sebuah pondokan dalam Stadion Mini Telanaipura, Kota Jambi (4/9/2021). Halim akan mewakili kontingen Jambi pada Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas), di Papua, November 2021.
Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua aspek penyebab. Pertama, sisi regulasi yang menyebutkan porsi alokasi dana olahraga yang belum menjangkau aspek kesejahteraan atlet dan mantan atlet. Baik UU Sistem Keolahragaan Nasional maupun PP Pendanaan Keolahragaan belum mengatur secara khusus aspek kesejahteraan atlet dan mantan atlet.
Faktor kedua adalah porsi anggaran olahraga dalam anggaran negara. APBN 2020 memberikan alokasi dana untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga sebesar Rp 1,18 triliun. Proporsi anggaran tersebut tidak sampai 1 persen dari total anggaran negara. Di samping itu, nilai peruntukannya bukan semata digunakan bagi peningkatan prestasi olahraga, melainkan juga pos-pos anggaran lain, seperti pengembangan pemuda dan biaya sekretariat kementerian.
Belum lagi, anggaran-anggaran yang dialokasikan khusus untuk kepentingan olahraga, seperti proyek pembangunan sarana prasarana justru dijadikan lahan korupsi bagi para pejabat. Setidaknya ada empat kasus korupsi besar di pusaran lembaga olahraga sejak 2011 silam, yakni korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games, korupsi proyek Pusat Pelatihan Olahraga Hambalang, korupsi PON Riau, dan korupsi Dana Hibah KONI.
Lingkaran korupsi di lembaga olahraga menjadi parasit bagi tumbuh kembangnya atlet. Selain itu, hak para atlet dan mantan atlet secara tidak langsung telah direnggut. Selama korupsi masih menjangkit di tubuh lembaga yang menaungi para atlet, jangan harapkan Indonesia mampu mencetak lebih banyak atlet berprestasi, apalagi menyejahterakannya.

I Gusti Made Adi Swandana (kanan) sedang melatih atlet tinju di sasananya, Kamis (16/8/2012). Petinju kelahiran Denpasar, Bali, 1960, kini aktif menjadi pelatih atlet tinju amatir melalui sasananya, Adi Swandana Boxing Camp (ASBC) di Panjer, Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
Hanya temporer
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai penangung jawab pendanaan olahraga memegang peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan atlet. Melihat regulasi PP Pendanaan Keolahragaan, ada dua cara yang dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan atlet, yaitu klausul pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga serta pemberian penghargaan.
Namun, kedua hal tersebut memiliki dimensi temporer atau tidak rutin. Kebijakan pembinaan dilakukan dengan mengalokasikan honor atau uang saku bagi atlet yang sedang menjalani pemusatan latihan atau saat mengikuti kejuaraan olahraga.
Ini artinya, hanya atlet yang terpilih ke pusat pelatihan yang memiliki kesempatan mendapat honor. Bagi atlet yang sudah terpilih, juga tidak akan selamanya mendapatkan honor. Jika ia sudah selesai menjalani pemusatan latihan atau kejuaraan, honor itu juga akan berhenti seiring selesainya proyek pelatihan.
Cara lain adalah dengan memberikan penghargaan. Pada 2019, pemerintah mengangkat 137 atlet berprestasi menjadi pegawai negeri sipil. Pemerintah juga pernah memberikan dana pensiun bagi 37 olimpian dan paraolimpian pada 2016.

Anak-anak yang menjadi peserta Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2015 melihat sejumlah foto mantan pemain bulu tangkis yang telah mengukir sejarah prestasi di GOR Djarum, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (31/8/2015).
Sayangnya, kebijakan ini tidak berlangsung rutin. Pengangkatan atlet dan mantan atlet sebagai PNS belum tentu terjadi setiap tahun. Demikian pula dengan pemberian dana pensiun yang terbentur aturan hanya dapat diterima oleh aparatur sipil negara.
Dari kebijakan yang dijalankan, terlihat bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan bagi para atlet dan mantan atlet masih bersifat jangka pendek. Tidak heran, jika di mata atlet dan mantan atlet, langkah pemerintah dalam memberikan kesejahteraan bagi olahragawan di Indonesia saat ini dinilai belum memuaskan.
Baca juga : Dulu Bak Raja, Kini Hidup Merana
Minimnya kesejahteraan atlet berpotensi menurunkan prestasi olahraga nasional. Tanpa dukungan kelayakan standar hidup, munculnya atlet-atlet muda dan berprestasi juga akan terhambat.
Baru-baru ini Kementerian Pemuda dan Olahraga meluncurkan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Desain ini memiliki tujuan pembinaan atlet secara berjenjang dan tidak terputus.

Di sela-sela peninjauan ke Pelatnas Berkuda, mantan atlet renang Richard Sambera mewawancarai Presiden Joko Widodo mengenai Asian Games 2018 di Jakarta (7/5/2018).
Harapannya akan muncul regenerasi atlet sebagai pelapis prestasi yang selama ini sudah dapat diraih. Namun, Desain Besar ini belum memasukkan unsur kesejahteraan atlet dan mantan atlet sebagai bagian dari rangkaian pembinaan olahraga.
Padahal, selain pendanaan di bidang pembinaan olahraga, suara atlet juga terdengar nyaring meneriakkan jaminan regulasi yang memastikan kesejahteraan mereka akan tercukupi di saat prestasi sudah mulai digantikan atlet-atlet muda.
Baca juga : Cetak Biru Pembinaan Olahraga
Hal utama yang diharapkan atlet dan mantan atlet untuk mewujudkan kesejahteraan hidupnya adalah tunjangan setelah pensiun, pendanaan pembinaan, serta pemberian gaji yang layak. Harapan ini tidak terlepas dari pentingnya atlet dan mantan atlet melihat manajemen olahraga secara utuh.
Keberhasilan dan prestasi yang dapat diraih oleh seorang atlet tidak dapat dilepaskan dari proses seleksi, pembinaan, hingga pascaprestasi atlet. Ketiga fase ini membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan atlet dan mantan atlet di Tanah Air.

Petinju Cornelis Kwangu Langu termotivasi menempuh untuk kuliah sebagai bekal di masa depan setelah pensiun menjadi atlet. Saat ini, komputer jinjing, buku, dan sarung tinju adalah ”makanan” sehari-hari Cornelis untuk bisa berprestasi sebagai petinju dan sukses di bangku kuliah. Cornelis saat di temui di Hotel Atlet Century Senayan, Jakarta, Rabu (18/11/2015).
Pemerintah dalam hal ini Kemenpora bersama-sama Komite Olahraga Nasional Indonesia, Komite Olimpiade Indonesia, serta pengurus besar cabang olahraga harus memperjuangkan bentuk kesejahteraan bagi atlet dan mantan atlet dalam rumusan perundangan.
Inisiatif pemerintah yang telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2014 tentang Pemberian Penghargaan Olahraga dapat menjadi pintu masuk perbaikan regulasi sistem keolahragaan nasional.
Masyarakat juga harus terlibat merumuskan konsep terbaik karena memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah dalam upaya menyejahterakan atlet. Tanpa jaminan kepastian hukum termasuk seperti apa bentuk kesejahteraan dan siapa yang bertanggung jawab, nasib kesejahteraan para pejuang olahraga ini akan tetap penuh ketidakpastian. (LITBANG KOMPAS)
Baca besok: Menggalang Dana Atlet, dari Porkas hingga APBN