Lakon muram mantan atlet yang pernah mengharumkan nama daerah dan negara tidak kunjung usai. Pernah berjaya di gelanggang dan bergelimang prestasi, mereka kini jatuh bangun meniti kehidupan suram setelah pensiun.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga dan ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Mantan pesenam nasional, Amin Ikhsan (48), lebih sering duduk saat melatih anak-anak didiknya di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (12/9/2021) pagi. Sakit ginjal yang diderita sejak tujuh tahun lalu memaksanya mengurangi aktivitas fisik berat. Kaki kanannya bengkak. Maka, instruksinya lebih banyak disampaikan lisan dengan contoh koreografi simpel.
Ia divonis gagal ginjal pada 2014. Saat itu, ia dibawa ke rumah sakit setelah pingsan usai mengikuti Pekan Olahraga Daerah Jabar di Bekasi. Ia memutuskan pensiun dari atlet.
Sejumlah prestasi internasional mewarnai kariernya, antara lain finis ke-7 di World Cup International Aerobic Championship 2004 di Jepang dan peringkat ke-5 Asian Indoor Games 2005 di Thailand. Berbagai medali di Pekan Olahraga Nasional dan Kejuaraan Nasional juga pernah diraihnya saat mewakili Jabar.
Dia pernah diguyur bonus dari deretan prestasi tersebut. Uangnya dipakai membangun rumah, studio musik, dan tiga unit kontrakan di kawasan Kiaracondong, Batununggal, Kota Bandung. Aset itu menjadi pegangan hidupnya setelah pensiun. Pendapatan dari sewa kontrakan dan studio musik Rp 10 juta per bulan, cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan pengobatannya.
Akan tetapi, kisahnya menjadi pilu pada Agustus 2015. Pemerintah Kota Bandung menggusur sejumlah bangunan, termasuk miliknya itu, karena berdiri di atas lahan negara. Pemkot Bandung menawarkan Amin tinggal di rumah susun. Tawaran itu ditolaknya. Ia sempat bertahan, mendirikan tenda di lokasi penggusuran. Puing-puing bangunan yang dibongkar lantas dijualnya guna menyambung hidup.
Saya sakit akibat dulu terlalu capek saat jadi atlet. Ketika berprestasi, diperlakukan seperti raja. Semua dipenuhi. Kini, segala hal harus usaha sendiri. (Amin Ikhsan)
Tidak kunjung mendapat kepastian ganti rugi bangunan, Amin membawa keluarganya ke rumah di Cimenyan, Kabupaten Bandung. Semula rumah itu dibangun untuk mertuanya. Kini, mereka tinggal bersama di sana. ”Waktu kami pindah, rumah itu masih dibangun. Atapnya belum selesai dipasang. Jadi, saat hujan, sering kebanjiran,” kenangnya.
Ia tak punya lagi penghasilan tetap. Tabungannya tergerus biaya pengobatan. Perekonomian keluarganya kini bertumpu ke istrinya, Puput Finalista (47), yang jadi karyawan pabrik garmen. Padahal, Amin wajib cuci darah tiga kali sepekan.
[embed]https://youtu.be/RcpLJw2x_cg[/embed]
Biaya cuci darah itu memang ditanggung BPJS Kesehatan. Namun, kebutuhan gizi dan obat harus ditanggung sendiri. Ia juga harus mengeluarkan biaya transportasi Rp 720.000 per bulan. Selain itu, ada lagi kebutuhan oksigen sekitar Rp 120.000 per pekan. Ia mengaku tidak bisa tidur tanpa suplai oksigen untuk membantu pernapasan.
”Biaya gizi, akomodasi, dan lainnya sekitar Rp 3 juta. Jika rumah, studio, dan kontrakan tidak digusur, pendapatan saya masih bisa menutupinya. Namun, kini situasinya sangat sulit,” ungkapnya.
Amin menyadari dirinya bukan satu-satunya atlet nasional yang merasakan pahit kehidupan setelah pensiun. Hal nyaris serupa dialami Karni (53), mantan atlet dayung asal Blora, Jawa Tengah, yang meraih tiga medali emas di Kejuaraan Dunia Perahu Naga 1996 dan SEA Games 1997. Di usia senja, ia masih susah payah melakukan sejumlah pekerjaan kasar, seperti buruh tani dan menjaga kolam renang sebagai tenaga honorer Pemerintah Kabupaten Blora.
"Buat tambah pemasukan. Sebab, sekarang ya gali lubang tutup lubang karena ada utang di bank, juga saudara,” ujar Karni seusai merapikan tanaman tetangganya, Jumat (10/9).
Ia kini tidak tenang karena lima tahun lagi pensiun dari karyawan honorer, tanpa uang pensiun. Honornya Rp 1,3 juta per bulan nyaris habis untuk membayar utang bank. Ia berharap itu segera lunas agar bisa mewujudkan cita-citanya yang sederhana, yaitu membeli sapi untuk bekal hari tua.
”Saya sakit akibat dulu terlalu capek saat jadi atlet. Ketika berprestasi, diperlakukan seperti raja. Semua dipenuhi. Kini, segala hal harus usaha sendiri,” ujar Amin getir.