Jasmine Camacho-Quinn Membalas Kegagalan Lima Tahun Silam
Lima tahun lalu di Olimpiade Rio, pelari gawang putri Puerto Riko, Jasmine Camacho-Quinn, gagal lolos dari semifinal lari gawang 100 meter putri. Di Olimpiade Tokyo, dia berhasil mengatasi trauma dan meraih emas.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
TOKYO, SENIN — Dengan bayang-bayang tersingkir dari semifinal Olimpiade Rio de Janeiro 2016, pelari gawang putri Puerto Riko, Jasmine Camacho-Quinn, berhasil meraih emas 100 meter gawang putri Olimpiade Tokyo 2020 di Stadion Olimpiade Tokyo, Jepang, Senin (2/8/2021). Pelari kelahiran South Carolina, Amerika Serikat, itu finis pertama dengan waktu 12,37 detik.
Camacho-Quinn unggul atas pemegang rekor dunia lari 100 meter gawang putri asal Amerika Serikat, Kendra Harrison, yang finis kedua dengan waktu 12,52 detik. Tempat ketiga direbut pelari Jamaika, Megan Tapper, dengan waktu 12,55 detik.
Saya menabrak rintangan, tetapi semuanya terjadi karena suatu alasan. Saya lolos dengan emas. Saya berlatih sangat keras tahun ini untuk meraih emas pertama saya di Olimpiade.
”Di titik ini, saya benar-benar berusaha untuk memecahkan rekor dunia (milik Harrison dengan 12,20 detik yang dicetak di London Grand Prix 2016, 22 Juli 2016). Saya menabrak rintangan, tetapi semuanya terjadi karena suatu alasan. Saya lolos dengan emas. Saya berlatih sangat keras tahun ini untuk meraih emas pertama saya di Olimpiade,” ujar Camacho-Quinn penuh emosional sehabis perlombaan.
Pertemuan Camacho-Quinn dan Harrison di final menjadi pertemuan ideal karena keduanya tidak terkalahkan sebelum tampil di Olimpiade Tokyo. Dalam laga, Harrison yang berlari dari jalur keempat melalui penghalang pertama sedikit lebih baik. Namun, Camacho-Quinn dari jalur kelima segera menemukan ritme dan mulai unggul setelah 50 meter pertama. Memasuki 25 meter terakhir, Camacho-Quinn memperlebar jarak keunggulan dan finis terdepan.
”Keberhasilan ini akan memberikan harapan kepada anak-anak Puerto Riko sebagai sebuah negara kecil. Tahun ini penuh dengan pasang surut. Namun, ini sudah menjadi rollercoaster sejak saya menjadi profesional. Sejujurnya, karena ini tahun yang sangat sulit, kita semua di sini patut mendapatkan penghargaan,” terangnya menggambarkan betapa sulit prestasi itu dicapai karena banyak dinamika yang dilalui, terutama pandemi Covid-19, seperti dilansir laman World Athletics.
Capaian itu memperpanjang tren positif pelari berusia 24 tahun tersebut. Sebelumnya di babak semifinal heat tiga, pelari kelahiran 21 Agustus 1996 itu membuat rekor baru Olimpiade dengan 12,26 detik. Dia memecahkan rekor sebelumnya, 12,35 detik, yang dicatat pelari legendaris Australia, Sally Pearson, di Olimpiade London 2012, 7 Agustus 2012.
”Sejujurnya, hal utama adalah untuk melewatinya (semifinal). Sebab, lima tahun lalu, saya tidak lolos dari semifinal. Jadi, saya hanya berusaha berlari lebih cepat untuk mencapai final. Saya mengambil langkah demi langkah. Terus fokus, tidak panik, dan semuanya terjadi. Itulah yang saya lakukan,” kata Camacho-Quinn dikutip Athleticsweekly.com.
Mengatasi trauma
Salah satu kunci kesuksesan Camacho-Quinn ialah bisa mengatasi trauma amat membekas dari Olimpiade 2016. Lima tahun silam, pelari bertinggi 173 sentimeter ini gagal lolos ke final karena jatuh setelah menabrak rintangan terakhir pada semifinal. Seusai perlombaan, dia keluar trek sambil menangis.
Camacho-Quinn mengungkapkan, insiden itu tidak pernah terlupakan hingga terus menghantui pikirannya dalam lima tahun terakhir. Jelang semifinal Olimpiade Tokyo, Minggu (1/8/2021), dia takut peristiwa memilukan itu terulang kembali.
”Memori buruk itu terus bersama saya sepanjang waktu. Kemarin sebelum semifinal, pengalaman buruk itu cukup mengganggu saya. Namun, saya berkata kepada diri saya bahwa saya tidak ingin hal yang sama terjadi lagi. Saya tahu, kalau saya balapan seperti yang saya lakukan sepanjang musim ini, saya bakal baik-baik saja,” tutur pengoleksi emas Kejuaraan NACAC U-23 2016 di San Salvador, El Salvador, tersebut.
Sebaliknya, bagi Harrison, perak itu menjadi penebusan kegagalan lolos ke Olimpiade 2016. Lima tahun lalu, pelari berusia 28 tahun itu menderita kekalahan mengejutkan dalam tes menjelang Olimpiade edisi ke-31 tersebut di Eugene, Oregon, Amerika Serikat, 8 Juli 2016. Waktu itu, dia cuma membukukan waktu 12,62 detik dan finis keenam. Padahal, selang 14 hari kemudian, pelari asal Tennessee, Amerika Serikat, ini justru memecahkan rekor dunia.
”Ini perasaan yang luar biasa. Saya melewati Olimpiade Rio, tetapi bisa mendapatkan perak di Olimpiade pertama saya ini. Saya tidak bisa lebih bahagia dari ini. Tentu saja, semua orang menginginkan emas, tetapi saya baru kali ini berada di panggung ini. Lagi pula, saya cukup sesak tidak bisa berpartisipasi di Olimpiade Rio. Saya perlu bangkit dan membangun kepercayaan diri untuk tampil di Olimpiade Tokyo serta membawa pulang medali,” tutur pelari kelahiran 18 September 1992 tersebut. (AFP/REUTERS)