Rahmat Erwin Abdullah Mewujudkan Mimpi Ayah
Lifter Rahmat Erwin Abdullah menuntaskan langkah ayahnya, Erwin Abdullah. Di Olimpiade Athena 2004, Erwin batal tampil karena cedera. Kini, mimpi Erwin dibayar tunai anaknya yang dia didik sejak kecil untuk jadi lifter.
Kegelisahan lifter kelas 73 kilogram Rahmat Erwin Abdullah (20) terbayar. Cita-citanya merealisasikan mimpi sang ayah sekaligus mantan lifter nasional, Erwin Abdullah, tampil di Olimpiade tuntas. Bahkan, berlaga dari Grup B Olimpiade Tokyo di Tokyo International Forum, Rabu (28/7/2021), lifter kuda hitam itu bisa meraih perunggu.
”Motivasi utama saya ingin mewujudkan mimpi Bapak. Sejak kecil, saya sering mendengar cerita Bapak yang batal tampil di Olimpiade Athena 2004. Dari nada suaranya, saya sangat memahami kekecewaan Bapak, melebihi siapa pun. Dari itu, saya dendam dengan Olimpiade. Saya ingin tampil dan berprestasi di Olimpiade,” ujar lifter asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Rahmat mendapatkan perunggu setelah berhasil mencatat total angkatan 342 kilogram dari snatch 152 kg dan clean and jerk 190 kg. Lifter kelahiran 13 Oktober 2000 itu melampaui rekor terbaiknya dengan total angkatan 335 kg dari snatch 148 kg dan clean and jerk 187 kg dalam Kejuaraan Asia 2020 di Tashkent, Uzbekistan, 20 April lalu.
Emas direbut lifter unggulan pertama sekaligus pemegang rekor dunia asal China, Zhiyong Shi, dengan total angkatan 364 kg dari snatch 166 kg dan clean and jerk 198 kg. Lifter Venezuela, Julio Ruben Mayora Pernia, meraih perak dengan total angkatan 346 kg dari snatch 156 kg dan clean and jerk 190 kg.
Capaian Rahmat cukup luar biasa. Sebab, amat jarang lifter meraih medali dari Grup B. Di Olimpiade, praktis hanya lifter Korea Utara, Om Yun-chol, yang pernah mendapatkan medali meski tampil dari Grup B. Bahkan, Yun-chol membawa pulang emas 56 kg pada Olimpiade London 2012 tersebut.
Hasil itu membuat angkat besi Indonesia merebut satu perak dan dua perunggu di Olimpiade kali ini. Sebelumnya, lifter putri, Windy Cantika Aisah, meraih perunggu 49 kg pada Sabtu (24/7/2021) dan lifter kawakan, Eko Yuli Irawan, mendapatkan perak 61 kg pada Minggu (25/7/2021).
”Saya sangat bersyukur. Medali ini saya persembahkan untuk keluarga saya, Bapak dan Ibu. Tidak ada cara lain untuk membanggakan mereka selain dengan prestasi di angkat besi, terutama lewat medali Olimpiade ini. Inilah tujuan hidup saya,” kata Rahmat yang anak tunggal ini.
Dekat dengan orangtua
Kedekatan Rahmat dan orangtuanya sangat luar biasa. Tak pelak, sehabis tampil, orang pertama yang ditemuinya adalah ayah sekaligus pelatihnya yang setia menunggu dan mendoakannya di belakang panggung kejuaraan. Pelukan erat langsung dilayangkan kepada sang ayah.
Ayahnya bukan orang asing di dunia angkat besi Indonesia. Erwin Abdullah sempat menjadi lifter andalan nasional pada era 1990-2000an. Seusai merebut perak 62 kg Asian Games 2002 Busan, Korea Selatan, Erwin berpeluang tampil di Olimpiade 2004. Sayangnya, karena cedera pinggang, dia batal tampil di Olimpiade edisi ke-28 tersebut.
”Saya masih ingat terus kata-kata Bapak. ’Mat, kamu mau rasain yang belum pernah Bapak rasain di Olimpiade. Soalnya, Bapak belum sempat bertanding di sana’. Itu selalu diulang terus sama Bapak akhir-akhir ini. Maka itu, saya bilang begini, ’Saya mau rasain yang tidak pernah Bapak alami, yakni bertanding di Olimpiade’. Sekarang, saya tak cuma tampil di Olimpiade, tetapi bisa membawa pulang medali,” ungkapnya meluapkan kegembiraan sekaligus haru.
Bagi Rahmat, kedua orangtua menjadi sosok paling berjasa yang mengantarkannya menjadi lifter seperti saat ini. Apalagi, ibunya, Ami Asun Budiono, juga mantan lifter nasional yang pernah meraih medali pada SEA Games 1995 di Chiang Mai, Thailand, dan SEA Games 1997 di Jakarta, Indonesia.
Sejak kecil, Rahmat terbiasa melihat kedua orangtuanya berlatih dengan fasilitas seadanya di rumah. Lambat laun, hal itu menginspirasi dirinya untuk mengikuti jejak kedua orangtua. Niat itu tumbuh setidaknya sejak Rahmat masih sekolah taman kanak-kanak.
”Karena sering mendengar cerita dan melihat jejak prestasi kedua orangtua, dari umur TK, saya mulai ngigau seperti tidak mau berada di bawah orang lain, maunya menjadi nomor satu, dan takut kalau kalah dari orang lain. Dari situ, saya ingin mencoba menjadi seperti Bapak dan Ibu. Masuk kelas III SD, saya akhirnya mulai berlatih angkat besi,” kata Rahmat.
Melalui banyak tantangan
Untuk mendapatkan medali Olimpiade, Rahmat melalui sejumlah tantangan. Selain lingkungan sekolah yang tak semuanya mendukung, di awal kariernya, lifter bertinggi 165 sentimeter ini hanya berlatih dengan peralatan di bawah standar rata-rata. Namun, hal itu tidak membuatnya berkecil hati dan justru melipatgandakan motivasi. ”Bagi saya, bisa juara dari banyak kekurangan itu jauh lebih lengkap ketimbang juara dari fasilitas lengkap,” ujar Rahmat mengambarkan tekad bajanya.
Sehari-hari, Rahmat menjalani hidup disiplin dan berlatih keras. Dia pernah pingsan karena terlalu keras berlatih dan mengalami hilang ingatan sementara. Pemuda itu kerap cedera dan luka akibat tertimpa batang besi. Akan tetapi, panggilan menjadi atlet selalu menggerakkannya untuk berlatih. ”Kalau tidak latihan, seperti ada yang kurang,” ujarnya.
Mental dan fisiknya seolah terus membangkang dengan keterbatasan. Jelang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat, Rahmat yang masih berusia 15 tahun mengalami pecah bantalan pinggang dengan rasa sakit yang amat menyiksa. Hal itu sempat membuatnya berpikir ingin berhenti berlatih angkat besi. Karena tekad yang kuat, dia pulih ketika PON walau belum bisa membawa pulang medali dari kelas 69 kg.
Lewat potensi besar dan prestasi di beberapa kejuaraan level nasional kelompok usia ataupun terbuka, Rahmat dipanggil bergabung ke pelatnas angkat besi di Mes Marinir Kwini, Jakarta Pusat, untuk persiapan Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Awalnya, dia cuma diproyeksikan sebagai pelapis Triyatno. Namun, karena punya bakat luar biasa, Rahmat diberi kesempatan tampil di Asian Games 2018 kendati belum bisa menyumbangkan medali dari kelas 77 kg.
Pelan tetapi pasti, penampilan Rahmat terus meningkat. Akhirnya, dia bisa melewati Triyatno pada Kejuaraan Nasional PB PABSI (Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia) 2019 di Bandung, Jawa Barat. Dalam kejuaraan itu, dirinya tampil maksimal dan meraih tiga emas dari snatch 145 kg, clean and jerk 176 kg, dan total angkatan 321 kg.
Pencapaian itu membuat Rahmat unggul atas Triyatno yang merebut tiga perak. Hasil itu sekaligus mengantarkannya tampil di SEA Games 2019 Filipina. Siapa sangka, di SEA Games perdananya itu, Rahmat yang masih berusia 19 tahun langsung mendapatkan emas 73 kg.
Di Olimpiade Tokyo, Rahmat sekali lagi menunjukkan keteguhan tekad bajanya. Jelang angkatan clean and jerk, dia melakukan pemanasan berbeda yang justru memicu rasa nyeri di paha kanan belakang secara tiba-tiba. Namun, motivasi besar mengalahkan rasa sakit itu sehingga dia tetap tampil dan berhasil.
”Saya emosi dengan diri saya. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Emosi pun mengambil alih semuanya. Saya bertekad untuk tampil total, tidak mau setengah-setengah. Lagi pula, saya malu dengan Windy (Cantika Aisah) yang bisa dapat medali. Kalau dia bisa, kenapa saya tidak bisa,” ucapnya mengambarkan transformasi pola pikir yang membawanya berada di podium.
Rahmat sudah pernah tampil di banyak kejuaraan kelas dunia, tetapi tekanan Olimpiade jauh berbeda. Olimpiade bisa menciutkan nyali siapa pun yang tidak kuat mentalnya. ”Kata-kata saya yang sudah lama itu belakang diungkit-ungkit lagi oleh Bapak biar saya semangat,” ujar Rahmat.
Kegalauan Rahmat dibaca oleh ayahnya, tetapi lifter muda itu memilih tidak menceritakan keresahannya kepada Erwin. Dia menyimpan keresahannya, hingga dia menemukan ruang curhat di dalam kepalanya.
Baca juga : Kejutan Rahmat Erwin Abdullah di Panggung Angkat Besi
”Woah, sangat tertekan. Tiga hari sebelum pertandingan, saya panik sekali, nervous, takut gak bisa memberikan yang terbaik. Saya panik gara-gara Windy (Cantika Aisah meraih medali perunggu 49 kg), karena saya ingin medali juga,” ujar Rahmat.
”Saya enggak curhat sama ayah, tetapi simpen sendiri saja. Saya merasa aneh kalau ceritain itu, karena dalam pikiran saya ada tempat ngobrol, ada tempat curhat, tetapi dalam kepala sendiri, ngomong-ngomong sendiri,” ungkap Rahmat tentang caranya menyemangati diri sendiri.
Kini, Rahmat belum berpuas diri. Dia ingin merengkuh prestasi lebih besar di kemudian hari, terutama emas di Olimpiade. ”Yang utama, saya harus tetap menjadi Rahmat yang mengidolakan kedua orangtua. Tidak boleh sombong, terus rendah hati, displin, dan bekerja keras mengejar prestasi yang lebih baik. Semoga Allah selalu memberkati,” pungkas atlet yang ingin menjadi guru bahasa Inggris suatu hari kelak tersebut.
Rahmat Erwin Abdullah
Lahir: Makassar, 13 Oktober 2000
Ayah: Erwin Abdullah
Ibu: Ami Asun Budiono
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Negeri Unggulan Mongisidi 1 Makassar
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Makassar
- Sekolah Menengah Atas Nasional Makassar
Prestasi:
- Medali perunggu kelas 73 kg Olimpiade Tokyo 2020
- Medali emas 73 kg SEA Games 2019 Filipina
- Medali emas 73 kg Kejuaraan Asia Yunior 2020 di Tashkent, Uzbekistan
- Medali emas 73 kg Kejuaraan Asia Yunior 2019 di Pyongyang, Korea Utara